Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
SAYA tahu banyak tidak suka Amerika Serikat. Namun, dalam hal ini, tak ada salahnya sedikit berempati. Los Angeles, kota para bintang sedang “ditelan” api.
Api. Merah menyala. Langit berubah muram, kelabu, penuh sesak oleh asap dan debu. Los Angeles, kota impian, kini lebih mirip adegan pembuka film apokaliptik. Sebuah neraka duniawi yang nyata, di mana bintang-bintang tidak bersinar, melainkan meleleh dalam panas yang menggila.
Rumah-rumah megah di Hollywood Hills, simbol kemewahan dan ambisi manusia, berubah jadi abu. Lantai marmer mahal itu? Sekarang hanya puing. Patung-patung artistik? Meleleh, seperti mimpi yang hancur. Tak peduli kau bintang layar lebar atau hanya figuran di dunia ini, api tak pilih kasih.
Lima nyawa hilang. Tidak ada tepuk tangan penutup. Tidak ada pengakuan. Hanya sepi yang membeku di antara reruntuhan. Lima jiwa yang mungkin punya harapan, cinta, atau sekadar ingin bertahan hidup di dunia yang keras. Tapi tidak, panas lebih dulu mengklaim mereka.
Seribu bangunan hilang. Ribuan orang mengungsi, meninggalkan kenangan, meninggalkan segalanya. Mereka membawa apa? Sekedar koper, sekedar harapan tipis bahwa di tempat lain mereka bisa bernapas tanpa mencium bau hangus.
54 mil persegi tanah, 13.985 hektar impian, berubah menjadi peringatan pahit tentang kerakusan manusia yang mengabaikan alam. Angin kencang dan kekeringan bukan sesuatu yang datang sendiri, bukan? Ada tangan-tangan tak terlihat yang mengundang bencana ini. “Kemajuan,” katanya. “Modernisasi,” katanya lagi. Tapi di mana modernisasi ketika semua ini terjadi?
Los Angeles. Kota film. Kota mimpi. Kini jadi panggung besar tragedi manusia. Api menyala-nyala di tempat di mana dulu lampu sorot dan gemerlap pesta mendominasi. Ironis? Tidak. Ini hanya babak baru dari skrip yang sudah ditulis sejak lama. Skrip keserakahan kita sendiri.
Kita? Penonton yang tak berdaya. Duduk di kursi nyaman, menonton layar, menghela napas, lalu berkata, “Kasihan, ya.”
#camanewak