HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Kritik Program MBG dalam Konstruk Masyarakat Postradisional

September 30, 2025 21:54
IMG-20250930-WA0015

Oleh ReO Fiksiwan

The !Kung mock the meat not because they are ungrateful, but because they resist the social power embedded in the act of giving.“

HATIPENA.COM – Alihbasa: “Orang !Kung mencemooh daging bukan karena mereka tidak tahu berterima kasih, tetapi karena mereka menolak kekuatan sosial yang tertanam dalam tindakan memberi.“ — Anthony Giddens (87), Living in a Post-Traditional Society dalam Reflexive Modernization: Politics, Tradition and Aesthetics in the Modern Social Order (1994).

Dalam lanskap politik Indonesia kontemporer, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tampil sebagai simbol ambisi negara dalam mengintervensi tubuh warganya melalui kebijakan pangan.

Program ini, meski berangkat dari niat mulia, justru memperlihatkan bagaimana negara modern sering kali gagal memahami dinamika masyarakat postradisional yang tidak tunduk begitu saja pada logika teknokratis.

Dalam perspektif pemikiran Anthony Giddens, khususnya pada subbab “Mencemooh Daging” (Mocking the Meat) di bab Living in a Post-Traditional Society (2003), kita diajak untuk melihat bagaimana masyarakat yang telah melewati fase tradisional tidak serta-merta menjadi modern, melainkan membentuk pola hidup yang reflektif, kritis, dan sering kali mencemooh intervensi negara yang bersifat paternalistik.

Giddens mengangkat contoh masyarakat !Kung di Afrika Selatan yang menolak daging sebagai simbol dominasi dan kekuasaan, bukan karena mereka tidak membutuhkan makanan, tetapi karena mereka menolak logika pemberian yang menyiratkan ketundukan.

Dalam konteks Indonesia, masyarakat postradisional tidak lagi tunduk pada narasi pembangunan yang seragam.

Mereka mencemooh MBG bukan karena menolak gizi, tetapi karena menolak cara negara menyajikan gizi sebagai alat kontrol, sebagai performa kekuasaan yang dibungkus dalam retorika kesejahteraan.

Kritik terhadap MBG muncul bukan hanya dari buruknya kualitas menu yang basi dan tidak layak konsumsi, tetapi juga dari cara komunikasi publik yang dilakukan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) dan humas kepresidenan yang lebih sibuk memoles citra daripada memperbaiki substansi.

Ketika komunikasi publik lebih buruk dari gizi itu sendiri, kita sedang menyaksikan kegagalan negara dalam memahami bahwa masyarakat hari ini tidak bisa lagi diperlakukan sebagai objek pasif.

Program MBG, dalam ambisinya, bahkan melampaui proyek Ibu Kota Negara (IKN) era Jokowi yang sudah lebih dulu dikritik sebagai simbol ekosida.

Kini, MBG menghadirkan ancaman genosida kultural, ketika tubuh anak-anak dijadikan ladang eksperimen kebijakan tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat.

Jared Diamond (88) dalam Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005; 2014) mencatat bahwa peradaban runtuh bukan hanya karena bencana alam, tetapi karena ketidakmampuan elite memahami batas-batas ekologis dan sosial dari ambisi mereka.

MBG dan IKN adalah dua wajah dari kebudayaan destruktif yang lahir dari logika pembangunan yang tidak reflektif.

Ketika makanan menjadi alat kekuasaan, dan aroma gizi menjadi propaganda, masyarakat postradisional justru menunjukkan daya hidupnya dengan mencemooh, dengan menolak, dengan mempertanyakan.

Giddens memberi kita lensa untuk melihat bahwa masyarakat postradisional bukanlah masyarakat yang kehilangan arah, melainkan masyarakat yang telah belajar dari sejarah, yang tahu bahwa daging bisa menjadi simbol dominasi, dan bahwa gizi bisa menjadi alat penjinakan.

Dalam konteks ini, kritik terhadap MBG bukanlah bentuk sinisme, melainkan ekspresi dari rasionalitas baru yang lahir dari pengalaman panjang hidup dalam bayang-bayang pembangunan.

Masyarakat Indonesia hari ini tidak lagi tunduk pada aroma kekuasaan, mereka mencium bau basi dari menu yang disajikan, dan mereka tahu bahwa tubuh mereka bukan milik negara.

Mereka mencemooh bukan karena tidak tahu, tetapi karena mereka tahu terlalu banyak. (*)

#coversongs: “Mockingbirds” oleh Grant Lee Buffalo rilis pada 1994 dalam Mighty Joe Moon dengan genre Alternative rock/folk rock.

Mockingbirds” adalah lagu yang penuh metafora dan nuansa melankolis. Burung mockingbird dalam tradisi Amerika sering melambangkan peniruan suara dan kebebasan.

Tapi dalam lagu ini, ia justru menjadi simbol kehilangan suara, keterasingan, dan pencarian makna dalam dunia yang penuh kepalsuan.

Liriknya menyiratkan rasa frustrasi terhadap dunia yang tidak mendengarkan, di mana suara-suara yang dulunya merdu kini dibungkam atau diabaikan.