Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Pada alam paradoksia, yang baik sering kali dipertanyakan, yang jujur dianggap sedang bermain peran, dan yang tulus dituduh pencitraan.
Bila seseorang—apalagi seorang pejabat—mengajak baik, menuju pada kebaikan, menyeru bersih, mengatur demi kebaikan bersama, membuat aturan agar tertib dan adil, justru muncul pertanyaan sinis: “Apa ento?”
Padahal, tidak dirugikan, justru diuntungkan. Bersih memberi sehat untuk semua, teratur membuat semua aman dan nyaman, toh ada juga yang menyoal.
Apalagi pejabat turun langsung ke lapangan, melihat gunungan sampah, terjun ke saluran, menembus medan yang kerap dihindari, mengulurkan tangan mencari jalan keluar, menyulam solusi, menghadirkan empati bukan hanya di bibir, tapi langsung memberi tindakan nyata. Bukankah itu esensi jabatan? Bukankah itu tugas dan fungsinya? Lalu, di mana salahnya? Kok ada juga yang nyinyir?
Tega juga demikian. Mengapa dipersoalkan? Mengapa dibully? Mengapa suara sumbang lebih nyaring daripada apresiasi?
Ironisnya, mereka yang paling keras bersuara sering kali bukan siapa-siapa—bukan politisi, bukan akademisi, bukan jurnalis, bahkan bukan warga yang terdampak.
Hanya pelintas sunyi di linimasa yang menjadikan media sosial sebagai altar kemarahan dan altar kepalsuan.
Inikah yang disebut kaliyuga? Koar-koar tak mutu, penuh dendam tanpa data? Tak ada malu, tak punya empati, yang disuarakan ngelekeh; itu-itu saja.
Sementara ada yang menyebut diri senator, malah diam. Padahal jelas salah, tak ada senator di negeri ini, itu membodohi, merusak sistem, tak paham tugas pokok dan fungsi, apalagi selap-selep menjulurkan lidah di depan kamera, kok tak disoal, tak dipedulikan?
Membangun melanggar sepadan, bergaya di tempat terjadinya pelanggaran, justru tak disentuh kritik, malah ada yang kasi jempol. Ini fenomena apa?
Saya suka kritik. Kritik yang baik, tentu saja. Dikritik untuk diri sendiri, dan untuk siapa pun. Kritik yang membangun, yang keras bila perlu, yang tajam lebih bagus, yang menggugah bukan hanya pikiran tapi kesadaran.
Kritik kerap kali dianggap menjerumuskan, padahal sejatinya sedang mengangkat. Karena tujuannya bukan menjatuhkan, melainkan menegakkan. Bukan menyakiti, melainkan menyadarkan.
Kritik berbeda dengan nyinyir. Kritik menembus substansi, nyinyir hanya menggores permukaan. Kritik punya alasan dan harapan, nyinyir hanya punya kebisingan.
Bahkan kritik pun bisa berubah menjadi nyinyir jika kehilangan empati dan arah.
Kita harus jernih membedakan: kritik bukan dendam yang disamarkan, bukan amarah yang dibungkus kata-kata cerdas.
Kritik adalah keberanian berkata benar demi kebaikan bersama—bukan kebaikan pribadi, bukan demi pengakuan, apalagi duit.
Sayangnya, pada alam paradoksia, nyinyir kadang lebih laku daripada nalar, dan gaduh lebih laris daripada gagasan.
Mereka yang paham yang semestinya menjadi penjaga ruang dialog yang sehat, namun seringkali justru membiarkan perdebatan menjelma serangan personal, membiarkan kelompok berubah jadi ladang saling menjatuhkan.
Di dunia seperti ini, barangkali kita sedang menghadapi disrupsi yang paling menakutkan: disrupsi akal sehat. Dan barangkali, kita semua—tanpa sadar—adalah bagian darinya. (*)
Denpasar, 30 Mai 2025