Profesor Dr. Djuli Djatiprambudi, M.Sn
HATIPENA.COM – Siapa pun yang memiliki gen-budaya Jawa, maka manusia tersebut akan mendapat sebutan kultural sebagai ‘Wong Jawa’ (WJ). Menyandang sebutan ‘Wong Jawa’ (W besar dan J besar) memang terasa wingit, beraura atau bermaqom adhiluhung.
Meskipun, manusia modern atau sok-sokan modern, ada kecenderungan menanggalkan nilai-nilai kultural Jawa yang wingit – seolah-olah berbau asap kemenyan dan semerbak kembang kenanga. Manusia modern terlalu percaya pada mitos kemodernan yang berporos pada rasionalitas dan sains modern.
Maka, bagi manusia modern, sekali lagi, sangat percaya bahwa sains modern adalah satu-satunya worldview yang berisi metode dan paradigma untuk memahami realitas.
Sebutan ‘Jawa’ hakekatnya bukan semata-mata menunjuk kepada suku Jawa. Akan tetapi, di balik makna ‘Jawa’ adalah paradigma atau worldview yang didasarkan pada trivium dasar, yaitu theosentris (berporos pada rasa dan laku ruhaniah), antroposentris (berporos pada rasa dan laku humanitas-theologis) dan kosmosentris (berporos pada rasa dan laku yang menyatu dalam siklus alam semesta dan hukum kausalitasnya). Trivium dasar ini bukan terpisah satu dengan lainnya, tetapi menyatu secara holistik (total-metafisik).
Maka, ketika menyebutkan kata ‘Jawa’ sesungguhnya ia adalah konsep, metode, dan nilai-nilai yang menjadi arah dalam memaknai ‘urip’. ‘urip sejati’, dan ‘sejatine urip’.
Konsep ‘urip’ menunjuk pada aktivitas organik-biologis (berorientasi pada kebutuhan fisik). Konsep ‘urip sejati’ bermakna nglokoni urip dengan rasa dan laku luhur (berorientasi pada laku batin).
Dan konsep ‘sejatine urip’ adalah menyatunya rasa dan laku dengan semesta nilai dalam trivium tersebut. Dalam tahapan ini muncul kesadaran batin yang ‘nyawiji’ dengan ‘Gusti Allah ingkang murbeng dumadi.’ Ada sikap batin yang secara total pasrah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa (urip mung saderma nglakoni).
Dengan demikian, kata ‘Jawa’ bukan sembarang kata yang sekadar menunjuk sebuah entitas suku (suku Jawa), tetapi jauh dari itu ia berelasi dengan kualitas par excellence suatu peradaban tertentu. Inilah yang menjadi kekuatan sejati (ruhani dan jasmani) yang tertanam jauh di bumi (gebyare urip) di alam fisik dan ‘kaendahane urip’ di alam kelanggengan. Konsep ‘kaendahan’ ini menunjuk pada konsep ‘sejatine rasa’ (kemenyatuan rasa-batin dalam mikro dan makrokosmos). Mikrokosmos
adalah ‘jagat alit’ yang terbatas, terukur, dan indrawi. Sedangkan makrokosmos adalah ‘jagat ageng’ yang tak terbatas, tak terukur, dan metafisik.
Karena itu, manusia dan kebudayaan Jawa adalah konfigurasi holistik kualitas peradaban adhiluhung yang lintas ruang dan waktu. Menggambarkan kualitas rasa dan laku yang selalu menyatu dengan trivium di atas. Maka jangan heran, jika ‘Jawa’ menjadi tempat persilangan peradaban dan penyatuan
secara harmoni berbagai nilai/ajaran yang berinduk dari Hindu, Budha, Islam, Kristiani, Konghucu, dan kepercayaan politiesme yang hidup di berbagai suku dengan sikap dasar trivium tersebut di atas. Fakta ini menegaskan bahwa manusia dan kebudayaan Jawa adalah suatu unikum dan sekaligus universum peradaban. Unikum menunjukkan kekhasan dan kualitas yang
membedakan dengan unikum lainnya.
Sementara universum menunjukkan keluasan horizon jangkauanmaknanya dalam ruang dan waktu.
Terkait dengan itu, buku yang sedang kita baca ini membahas tentang konsep ‘mulat sarira’ yang dijadikan semacam paradigma dalam memahami tingkah-polah manusia hari ini, yang mungkin diasumsikan ‘wis ilang Jawane’ – manusia yang rasa dan lakunya sudah masuk stadium ‘ora Jawa’. Ini menggelisahkan memang!
‘Mulat sarira’ sesungguhnya menggambarkan capaian tertinggi kualitas rasa dan laku manusia. Sebelum memasuki stadium paripurna tersebut, manusia secara acak dan kondisional sering menampilkan kualitas rasa dan laku terendah, yaitu ‘nanding sarira’. Stadium ini manusia masih mengumbar hawa nafsunya dengan cara membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Dengan cara ini pada akhirnya menganggap dirinya yang terbaik. Manusia semacam ini dalam kehidupan di sekitar kita terlalu banyak untuk disebutkan.
Stadium berikutnya adalah ‘ngukur sarira’. Hal ini menggambarkan kualitas rasa dan laku yang menempatkan dirinya sebagai tolok ukur bagi orang lain. Artinya, manusia dipahami hanya berdasarkan tolok ukur atau kriteria yang dianggap benar menurut dirinya. Ada yang diposisikan sebagai subjek yang menghegemoni kebenaran, sementara lainnya sekadar objek kebenaran. Manusia jenis ini juga banyak bersliweran di sekitar kehidupan kita.
‘Tepa sarira’ adalah rasa dan laku yang kualitasnya semakin tinggi. Pada stadium ini manusia mampu berbagai rasa dan laku dengan manusia lain dalam kehidupan bersama.
Dalam konteks ini, manusia dituntut merasakan apa yang dirasakan orang lain, sehingga muncul rasa empati dan simpati pada sesama ‘jalma limprah’ (manusia biasa). Tahap ini selanjutnya mengantarkan kualitas rasa dan laku ‘mawas diri’ yang ditandai sikap mau melihat ke dalam dirinya sendiri secara jujur.
Kualitas diri ini akan menjadi ‘rem’ agar tidak mudah menilai manusia lain, sebelum berkaca pada diri sendiri. Ingat, ada ungkapan ‘ngiloa githokmu’ – bercerminlah dirimu! Manusia semacam ini untungnya masih ada, meskipun mulai semakin langka keberadaannya.
Nah, kualitas diri yang berderajat tertinggi adalah ‘mulat sarira’. Konsep ini menggambarkan rasa dan laku yang didasarkan pada ‘mawas diri’, tetapi dalam tahapan ini manusia sudah mampu menemukan dirinya sebagai debu (entitas ‘jalma limprah’) di ‘jagat ageng’ dan ‘jagat alit’. Di dalam proses penghayatan kemenyatuan dua jagat ini, manusia memasuki suatu pengamalan batin yang tak tergambarkan.
Momentum ini merupakan puncak rasa dan laku yang terbimbing dan yang tercerahkan oleh cahaya kebenaran dari Gusti Allah Sang Maha Surya. Di sinilah manusia yang memasuki tahap ‘mulat sarira’ menemukan kualitas rasa dan laku dalam titik persilangan ‘yang horizontal’ dan ‘yang vertikal’. Di titik inilah ‘suwung’ dapat dirasakan hakekatnya di dalam ruang batin terdalam.
Tentu, manusia yang mampu mencapai pada skala tertinggi dalam kualitas rasa dan laku ini, sungguh semakin langka, jika tidak bisa disebut sudah tiada.
‘Mulat sarira’ pada akhirnya semacam utopia bagi manusia modern yang rasa dan lakunya semakin menjauh dari trivium (theosentris-antroposentris-kosmosentris) yang telah menyejarah dalam rasa dan laku manusia Jawa dalam dimensi ruang
dan waktu serta makna yang luas. ‘Mulat sarira’ sesungguhnya sebentuk ajaran moral dan spiritualitas Jawa yang sang dalam. ‘Mulat sarira’ adalah ‘warisan ajaran spiritualitas Jawa’ untuk manusia secara luas, yang masih merasa sebagai manusia (‘jalma limprah’) yang bertransformasi menjadi ‘jalma lumrah’ – manusia yang hadir sebagai manusia seutuhnya, jiwa dan raganya sebagai ‘Wong Jawa’. Bila ‘kawruh luhur’ ini dinegasikan sedemikian rupa hanya dengan mengatasnamakan kemodernan, ingatlah; kita akan ‘kualat pada leluhur’ yang nilai-nilainya berpancar kuat dari trivium tersebut. (*)
*) Profesor Dr. Djuli Djatiprambudi, M.Sn. dosen pascasarjana Unesa, narasumber berbagai seminar nasional, peneliti pendidkan, penulis sejumlah buku tentang sosiologi seni rupa, direktur pemilik Omah Mikir Prambudi. Buku Karya Tunggal sudah mencapai 100 Judul. Kontributor BUKU MULAT SARRO OTO KRITIK MANUSIA.
MULAT SARIRA OTOKRITIK MANUSIA Penulis : Dr. Slamet Hendro Kusumo SH., MM.
xl+510 halaman; 15,5 x 23 cm
ISBN : 978-623-0891-40-9
Cetakan Pertama: Mei 2023
Penerbit : BILDUNG Yogyakarta Anggota IKAPI Bekerja sama dengan Omah Budaya Slamet -OBS-, Omah Mikir.ID, Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA JAWA TIMUR dan Perkumpulan Keluarga Besar Taman Siswa PKBTS Cabang Kota Batu.
PITUTUR LUHUR LEGENDA SASTRA VISUAL’ SATUPENA JAWA TIMUR 24 Mei sampai 6 Juni 2025 di Galeri Raos Kota Batu Wisata Sastra Budaya SATUPENA JAWA TIMUR Gerakan Kembali Ke Buku GKKB BUKUKITA SATUPENA JAWA TIMUR BERGERAK PESAT Melejit.