Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Kuliah Puluhan Juta, Demi Gaji Tiga Juta

March 9, 2025 19:20
IMG-20250309-WA0144

Penulis: Ririe Aiko

HATIPENA.COM – Di negeri yang katanya menghargai ilmu, ada ironi yang tak habis-habis. Anak muda berbondong-bondong masuk perguruan tinggi, membayar puluhan juta demi selembar ijazah. Tugas menumpuk, skripsi memburu, tesis mengintai. Empat tahun, lima tahun, enam tahun, akhirnya wisuda. Tapi kemudian realitas menyambut: gaji tiga juta, itupun kalau beruntung.

Lebih apes lagi nasib guru honorer. Mengabdi, mendidik anak bangsa, tapi gajinya tak lebih dari dua juta. Di desa? Jauh lebih menyedihkan. Bayarannya 150-300 ribu sebulan, setara dengan biaya sekali iftar di hotel berbintang lima.

Sementara itu, tukang parkir minimarket tidak perlu pusing dengan teori ekonomi atau metodologi penelitian. Ia cukup berdiri, melambaikan tangan, dan mengantongi uang receh. Satu motor dua ribu, satu mobil lima ribu, kali dua puluh kendaraan per jam, kali delapan jam kerja. Dalam sebulan? Bisa liburan ke Bali.
Sementara para Sarjana yang berilmu, masih menghitung cicilan kos-kosan, bertanya-tanya kapan bisa beli rumah.

Guru honorer yang bangun pagi demi mengajar mulai melihat peluang lain, haruskah ia hijrah ke Korea? Konon guru SD disana mendapat gaji 400 juta sebulan, tapi hatinya dilanda dilema antara mencerdaskan anak bangsa sendiri atau anak bangsa lain? Bukankah ia akan dicap sebagai pengkhianat karena tak mau mengabdikan diri di negeri tercinta ini?

Tapi setidaknya pengabdian itu butuh apresiasi, karena ternyata tagihan listrik tidak bisa dibayar dengan ucapan terima kasih, atau sekadar plakat pahlawan tanpa tanda jasa.

Ya tapi kembali lagi pada sistem, kita harus bisa sadar diri, bahwa di negeri tercinta ini, ilmu bukan soal kecerdasan, tapi tentang siapa yang bisa mengakali keadaan.(*)