Oleh ReO Fiksiwan
“Kutukan Firaun bukan apa -apa
dibandingkan dengan kutukan kebodohan. Dalam arkeologi, keheningan seringkali lebih bernas dari kata -kata.“ — Elizabeth Peters (1927-2013), The Curse of the Pharaohs (1981).
HATIPENA.COM – Lembah para raja, Valley of the Kings, pada 1999, tampak kering dan berselimut serpihan artefak-artefak warisan Firaun alias Ramses, Akhenaten, Khufu, julukan lainnya.
Dari lembah ini, dua egyptologist asal Inggris, Amelia Peabody dan Radcliffe Emerson, mengawali thriller petualangan mereka mencari rahasia harta dan misteri makna keagungan lembah para raja, Wadi Al-Mulk.
Sementara, Emersons sendiri, sedang berusaha menciptakan kehidupan bahasa Inggris yang normal untuk putra mereka, Ramses, agar petualangan bukan piknik kuriositas.
Meski dengan resiko, mereka akan kehilangan perjalanan musiman mereka untuk digali di Mesir nanti.
Tanpa diduga, sebuah peluang muncul bagi mereka untuk kembali ke Mesir ketika janda Sir Henry Baskerville meminta Emerson untuk mengambil alih misi penggalian situs-situs arkeologi penuh misteri.
Emerson dan Amelia tiba di lembah para raja dan segera terlibat dalam mencoba menemukan siapa yang melakukan pembunuhan dan serangan terhadap sebuah kelompok yang pernah melakukan hal serupa: menggali situs arkeologi sarat rahasia dan misteri itu.
Amelia sendiri, mencurigai masing -masing karakter tokoh untuk melakukan atau membantu dalam melakukan kejahatan konspiratif yang tersembunyi.
Satunya, dia percaya Lord Baskerville dibunuh oleh Alan Armadale, arkeolog tulen atau Lady Baskerville, istri Lord Baskerville sendiri.
Serangan terhadap Emerson dianggap oleh Amelia yang dilakukan oleh Madame Berengeria, salah satu penduduk setempat, Armadale, atau reporter, Kevin O’Connell, juga jadi petunjuk lainnya.
Masing -masing anggota kelompok, Miss Mary, Karl, Arthur, dan Cyrus Vandergelt dicurigai dengan sangat hati -hati oleh Amelia dalam pencariannya untuk menguak kebenaran pembunuhan dan mitos-mitos di sekitar situs arkeologi tersebut.
Setelah Lord Baskerville dibunuh, seorang pelayan pun dibunuh secara brutal, dan kelompok itu mulai melihat seorang wanita misterius dengan warna putih di sekitar lokasi rumah tinggal.
Tiba-tiba, Emerson menerima pukulan di kepala dari sebuah proyektil saat berada di rumah itu, dan Arthur diserang dalam keadaan tidur hingga koma.
Sementara, Madame Berengeria membingungkan semua orang dengan tuduhannya bak orang teler. Dan pada suatu malam yang makin dekat dengan kebenaran identitas misterius seseorang yang terduga, dia ditemukan mati pada hari berikutnya.
Alan Armadale, yang hilang sejak awal, ditemukan pula tewas di sebuah gua.
Emerson mencoba memaksa si pembunuh ke tempat terbuka dengan mengisyaratkan si pembunuh misterius itu mendengar dari kurir soal pesan rahasia tentang si pembunuh.
Ini berhasil, ketika Lady Baskerville datang ke makam yang berpakaian seperti wanita berkulit putih, dengan maksud membunuh Emerson.
Amelia menangkapnya dan Lady Baskerville diserahkan kepada pihak berwenang.
Untuk mendapatkan kekayaan Baskerville, Lady Baskerville membunuh Lord Baskerville dan Alan Armadale menggunakan pin topi yang mematikan.
Emersons bersantai setelah si pembunuh akhirnya dipenjara, dan merencanakan petualangan mereka berikutnya.
Dikutip dari ringkasan novel, The Curse of the Pharaohs, karya Elizabeth Peters hendak mengantar pembaca dalam petualangan misteri dengan memadukan sejarah Mesir kuno dan intrik modern.
Di balik cerita yang menarik, novel ini mengeksplorasi tema tentang kutukan Ramses terkait isu yang dibikin semisteri mungkin dengan tujuan agar penggunaan ijazah palsu akan dianggap kejahatan yang lazim.
Sebagai bagian dari cerita rakyat dan legenda seputar penemuan makam-makam Mesir kuno, penuh tabir rahasia dan misteri, kutukan Ramses menjadi plot cerita yang menambah ketegangan dan misteri.
Meskipun banyak yang menganggap kutukan ini sebagai mitos, namun efeknya terhadap psikologi manusia tidak dapat diabaikan, terutama untuk meneguhkan adagium: kebohongan itu mitos yang dimistifikasi!
Dalam novel ini, kutukan Ramses menjadi pemicu ketakutan dan kecurigaan di antara karakter lain, yang akhirnya mendorong mereka pada petualangan berikut untuk mengungkap kebenaran di balik kematian misterius.
Karakter-karakter dalam novel ini sering kali menyembunyikan identitas mereka yang sebenarnya atau menggunakan gelar yang tidak mereka miliki untuk mencapai tujuan tertentu.
Karakter para tokoh dalam peristiwa — entah fiksi kutukan Ramses maupun fakta ijazah palsu —menunjukkan bagaimana penipuan dan manipulasi berkedok citra kebaikan dan kesederhanaan dapat menjadi alat untuk mencapai kekuasaan atau keuntungan.
Dalam konteks ini, ijazah palsu bukan hanya sekadar kebohongan, tetapi juga simbol dari ketidakjujuran yang lebih dalam dan dikemas dalam mitos dan mistifikasi pulung penguasa.
Karakter-karakter dalam novel ini, seperti Amelia Peabody dan Radcliffe Emerson, digambarkan dengan detail yang kuat.
Amelia, dengan kecerdasannya dan keberaniannya, menjadi contoh karakter yang tidak terpengaruh oleh ketakutan akan kutukan.
Mutakhirnya: kutukan itu ibarat tekanan dan ancaman kekuasaan yang brutal dan keji.
Dalam kasus ijazah palsu Presiden Joko Widodo periode 2014-2024, identik dengan tokoh Ramses, berhadapan dengan trio tokoh otentik, Dokter Tifa, Dr. Rismon dan Dr. Roy, menggunakan kemampuan analitis mereka untuk mengungkap kebenaran yang dipicu oleh kutukan identik.
Sementara itu, karakter lain seperti Lord Baskerville dan beberapa penjelajah lainnya memiliki motivasi yang lebih kompleks, sering kali terkait dengan ambisi dan keinginan untuk menemukan harta karun.
Untuk geng para tokoh pendukung, pembela dan pemuja kutukan Ramses, anda pasti telak menebaknya!
Terkait kutukan Ramses dan ijazah palsu, menurut novel Elizabeth Peters, refleksi tentang kepercayaan dan penipuan dan merupakan fondasi untuk tidak mengaburkan batas fiksi dan fakta.
Tagarnya: Kebatilan pasti lenyap!
Dengan analisis yang mendalam tentang karakter dan motivasi, novel ini menawarkan pengalaman membaca yang kaya dan memuaskan.
Untuk itu, misteri sejarah dan petualangan dalam fiksi, The Curse of the Pharaoh dan fakta, ijazah palsu, bisa mengajukan lima pelajaran:
/1/Akurasi Historis:
Kutukan Firaun menekankan pentingnya akurasi historis agar tidak terperosok dalam penipuan dan pemutarbalikan fakta sebenarnya.
Elizabeth Peters, cermat mengurai kisah dengan menggabungkan detail yang akurat tentang Mesir kuno ihwal kebiasaan dan kebudayaan, dan penemuan arkeologisnya.
Ini membantu pembaca mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang periode waktu dan signifikansi historis dari peristiwa yang digambarkan dalam novel.
/2/ Misteri dan Intrik:
Novel misteri ini, berputar di sekitar kematian seorang ahli Mesir dan kutukan yang dituduhkan yang terkait dengan makam Firaun kuno.
Selain itu, kutukan Ramses mengajarkan tentang seni memecahkan misteri melalui pengamatan, pengurangan, dan perhatian terhadap detail yang cermat.
Trik ini membuat pembaca ikut terlibat dan menciptakan rasa ketegangan di seluruh cerita dan akhirnya akan berpihak pada kebenaran, meski diancam kutukan sekalipun.
Pedomannya: Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri dan kebohongan pasti terkuak!
/3/ Representasi Karakter Wonder Woman: Menghadirjan karakter wanita yang kuat, cerdas dan mandiri dalam menantang norma -norma gender atau patriarki dan memainkan peran penting dalam memecahkan misteri.
Protagonis, Amelia Peabody, seorang arkeolog protetipe yang berani dan cerdas yang menentang harapan masyarakat wanita di akhir abad ke -19 dan awal ke-20.
Lagi-lagi, novel ini menyoroti kemampuan dan ketahanan wanita di dunia profesional-institusi dan personal.
Wujud nyata: Dokter Tifa, personal. UGM, institusional.
/4/ Eksplorasi Mitologi dan Budaya Mesir:
Kutukan Firaun menggali mitologi yang kaya dan praktik budaya Mesir kuno.
Ini mengeksplorasi kepercayaan pada kutukan, ritual religius yang kompleks, dan penghormatan untuk para Firaun.
Pun, ditambahi dimensi perendaman budaya yang mendidik pembaca tentang keaslian — otentik dan vuksn identii — betapa pentingnya warisan peradaban Mesir.
/5/ Humor dan Kecerdasan:
Novel ini menggabungkan humor dan kecerdasan agar adrenalin dopamin hingga oksitosin penikmat bacaan “utile et dulce,“ kata Homerus.
Elizabeth Peters menggunakan dialog cerdas dan menghibur situasi agar suasana hati dan pembaca disuguhi lapisan nasgitel lain ke dalam cerita.
Kutukan Ramses atau para Firaun lainnya, mengajarkan betapa pentingnya literasi fiksi di balik fakta, dan atau sebaliknya, untuk mengatasi situasi yang menantang sekaligus memuakkan atas peristiwa yang terus hidup dalam peradaban ini. (*)