Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Lagu “Bayar Polisi” Siapa Luka Dia Perih

February 23, 2025 10:50
IMG-20250223-WA0069

Ilustrasi : AI/ Wak Rojam
Penulis : Rosadi Jamani *)

HATIPENA.COM – Banyak follower saya mengulas fenomena lagu “Bayar Polisi” yang viral itu. Bukan ikan lele ya. Ini soal lagu lee.. karya seni yang menusuk hati polisi. Agar aman, oknum polisi. “Tapi, oknum kok ramai bangat, Bang!” Udah kita ngopi saja sambil bahas lagunya.

Ini liriknya:

Mau bikin SIM bayar polisi Ketilang di jalan bayar polisi Touring motor gede bayar polisi Angkot mau ngetem bayar polisi

Sebuah lagu. Sebuah kritik. Sebuah sindiran tajam yang merobek gendang telinga aparat. “Bayar Polisi,” nyanyian dari band Sukatani, menggema di jagat maya. Liriknya seperti mantera sakti yang memanggil ribuan netizen untuk mengetik dengan jari penuh amarah, “Akhirnya, ada yang berani bicara!”

Polisi, yang katanya abdi utama bagi nusa bangsa, tentu merasa tersinggung. Wajar. Tak ada yang suka bercermin kalau wajahnya penuh noda. Tapi mereka mencoba tampak elegan. Kapolri berkata, “Kami tidak anti kritik.” Polda Jateng mengangguk, “Kami menghargai ekspresi seni.” Para netizen tersenyum sinis, sambil membayangkan betapa beratnya tugas PR institusi ini, menjawab segala kritik sambil tetap terlihat bijaksana.

Tapi, mari bicara jujur. “Bayar Polisi” bukan dongeng. Ia lahir dari kenyataan yang terlalu sering terjadi. Setiap pengendara motor yang pernah ditilang tahu betul bahwa pilihan hidupnya bukan sekadar “bayar denda” atau “sidang di pengadilan.” Ada pilihan ketiga. Sebuah jalur ekspres, tanpa antre, tanpa ribet. kSejumlah lembaran biru yang berpindah tangan dalam kedipan mata. “Jangan lupa pakai helm, ya,” ujar petugas dengan senyum tipis, seolah barusan memberikan diskon parkir, bukan menerima sesuatu yang haram.

Belum lagi urusan SIM. Ah, kisah klasik. Konon, ujian teori dan praktik dibuat demi keselamatan di jalan raya. Tapi, di dunia paralel bernama realita, ada metode yang lebih efisien, bayar, tunggu, jadi. Lalu, ada kelakar di kalangan rakyat jelata, “Lebih mudah SIM dari ijazah.”

Di lain sisi, mereka yang mencoba jujur harus melewati rintangan tak masuk akal. Ujian teori dengan soal yang terasa lebih sulit dari SBMPTN. Ujian praktik dengan lintasan berliku, yang bahkan Valentino Rossi pun mungkin berpikir dua kali sebelum mencobanya. Yang gagal? Silakan coba lagi. Dan lagi. Sampai bosan. Atau… ya, kita semua tahu alternatifnya.

Ketika Sukatani menyanyikan lagu ini, mereka hanya mewakili suara rakyat. Suara yang selama ini tertahan di tenggorokan. Suara yang tak bisa disalurkan dalam laporan resmi, karena, ah… siapa sih yang percaya laporan rakyat jelata melawan aparat?

Lalu, tibalah momen magis itu. Band Sukatani tiba-tiba meminta maaf. Klarifikasi muncul. Katanya, tak bermaksud menyinggung. Netizen garuk-garuk kepala. Oh, begitu. Berarti lagu itu semacam… candaan?

Tapi lucunya, lagu sudah terlanjur meresap ke hati masyarakat. Nada-nadanya telah menjadi nyanyian protes di sudut-sudut warung kopi. Kata-katanya menggantung di bibir setiap pengendara yang berhenti di lampu merah dan melihat sosok berbaju coklat melangkah mendekat.

Apa pelajaran dari semua ini? Bahwa kritik adalah obat pahit yang sering kali ditolak pasien. Bahwa kenyataan bisa lebih dramatis dari fiksi. Dalam negeri ini, kebenaran harus selalu dinyanyikan dengan hati-hati, sebelum akhirnya berubah menjadi permintaan maaf.(*)

#cemanewak

*) Ketua Satupena Kalbar