HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Lakon Wayang Golek Carangan; Semar Ngamuk, Dewa Takluk

May 3, 2025 09:48
IMG-20250501-WA0039

Oleh: Wahyu Iryana *)

HATIPENA.COM – Lakon Semar Ngamuk Dewa Takluk bukan sekadar cerita pewayangan. Ia adalah cermin retak yang memperlihatkan wajah kekuasaan kita hari ini. Bayangkan, seorang punakawan tua renta, yang biasanya jenaka, rendah hati, dan sabar luar biasa, tiba-tiba naik pitam. Semar, tokoh rakyat jelata dengan kekuatan ilahiah, murka. Lalu para dewa di kahyangan yang selama ini pongah dan merasa paling tahu arah takdir jagat takluk.

Sebuah lakon yang digelar oleh dalang-dalang Sunda dalam tradisi Wayang Golek, diturunkan dari kisah tutur rakyat dan dilewati generasi. Tapi lakon ini kini terasa lebih aktual dibanding siaran politik malam hari. Dalam lakon itu, Semar marah bukan karena harga cabai naik. Ia ngamuk karena dunia sudah kebalik. Para ksatria kehilangan welas asih. Para dewa sibuk mengatur jagat tanpa mendengar suara rakyat. Para penguasa terjebak pada kekuasaan yang hanya memelihara kepentingan sendiri.

Di titik itulah, Semar, sang abdi sejati, mengamuk. Ia keluar dari pakem. Ia menjadi representasi suara rakyat yang tak lagi tertampung di ruang-ruang demokrasi yang dipenuhi formalitas belaka. Kemarahannya bukan sekadar emosional, tetapi kosmis. Ia adalah simbol perlawanan batin rakyat terhadap tatanan dunia yang timpang.

Lakon Sebagai Kritik Sosial

Wayang, khususnya Wayang Golek di Tanah Sunda, bukan hanya seni pertunjukan. Ia adalah media dakwah, kritik sosial, pendidikan, dan spiritualitas. Di tangan dalang-dalang cerdas seperti Asep Sunandar Sunarya (almarhum), wayang menjadi panggung protes yang santun tapi menghujam. Dalang bukan hanya pencerita, tapi juga pemikir. Ia bisa membuat Semar tertawa di satu waktu dan memukul meja dengan pecut kosmisnya di waktu lain.

Dalam lakon Semar Ngamuk, biasanya dikisahkan bahwa kahyangan sedang gaduh. Para dewa memerintah tanpa keadilan. Prabu Batara Guru kehilangan arah. Para resi ditelikung oleh politik langit. Maka Semar yang biasanya anteng, dipanggil untuk memberikan wejangan. Tapi Semar tidak lagi menasehati dengan suara lirih. Ia marah. Ia mendobrak pintu kahyangan. Ia membuka kedok para dewa. Ia memperlihatkan bahwa spiritualitas yang hanya jadi hiasan tanpa etika adalah kebohongan besar.

Bukankah ini metafora dari dunia kita hari ini? Di mana banyak “dewa” di bumi para pemimpin, elite, teknokrat, dan oligark sibuk memainkan peran ilahi tanpa mendengar jerit rakyat. Di mana kebijakan publik ditulis dengan tinta investasi, bukan air mata petani.

Semar: Simbol Keadilan Rakyat

Dalam tradisi pewayangan, Semar adalah sosok yang rumit tapi lengkap. Ia dewa yang menjelma menjadi rakyat jelata. Wajahnya lucu, bentuk tubuhnya nyeleneh berperut buncit, berhidung pesek, bermata sayu tapi ucapannya selalu menohok. Ia tak hanya mendampingi Pandawa, tapi menjaga keseimbangan dunia. Bila Semar sudah marah, maka itu berarti jagat sudah miring. Keseimbangan semesta terguncang.

Di zaman sekarang, Semar bisa disandingkan dengan nurani rakyat. Nurani yang sabar, tapi punya batas. Ketika hukum tak lagi tegak. Ketika kekuasaan dijalankan dengan gaya dewa-dewaan. Ketika orang-orang kecil dikerangkeng oleh sistem yang tak memihak. Maka suara Semar muncul, menantang langit.

Ia bukan pemberontak anarkis. Tapi jika dunia sudah kelewat batas, ia tak ragu menantang siapa pun. Ia adalah bentuk kritik yang berakar dari kesadaran moral, bukan sekadar oposisi politik. Ia tidak gila kekuasaan. Ia hanya ingin jagat kembali pada titahnya: adil, tertib, beradab.

Ketika Dewa Takluk

Dalam lakon itu, dewa-dewa di kahyangan tak mampu melawan Semar. Mereka justru takluk. Bukan karena Semar lebih sakti. Tapi karena Semar punya moral yang tinggi. Ia tidak membawa senjata, tapi membawa kebenaran. Ia tidak memakai pasukan, tapi membawa kekuatan batin yang jernih. Ia menang bukan dengan kekuatan fisik, tapi dengan ketulusan dan keikhlasan.

Ini adalah pelajaran penting bagi dunia yang kini dipenuhi oleh pertarungan kekuasaan dan pencitraan. Bahwa kekuatan sejati bukanlah pada jabatan atau senjata, tetapi pada kemurnian niat dan keberpihakan pada keadilan.

Dewa yang takluk bukan berarti kalah dalam perang. Mereka kalah dalam debat moral. Ketika mereka sudah tidak mampu lagi menjelaskan keadilan pada rakyat, maka mereka kehilangan legitimasi. Dan di titik itu, Semar sang punakawan menjadi pemimpin moral.

Bayangan Indonesia dalam Lakon Semar

Mari kita lihat kenyataan di republik ini. Apakah tidak banyak “dewa” yang tak layak duduk di kahyangan? Apakah tidak banyak para elite yang lebih sibuk mengatur warisan kekuasaan ketimbang memikirkan nasib rakyat? Apakah tidak banyak hukum yang ditulis bukan untuk keadilan, tapi untuk melanggengkan takhta?

Lakon Semar Ngamuk seolah menyindir seluruh kemapanan politik hari ini. Ketika rakyat dibungkam dengan bansos, ketika mahasiswa dikucilkan dengan label radikal, ketika tokoh agama dibungkam dengan UU ITE, dan ketika kampus dijadikan ladang proxy kekuasaan. Maka wajar bila Semar ngamuk. Dan bila rakyat pun mulai mengikuti suara Semar.

Semar mengamuk bukan karena ia benci. Ia marah karena cinta. Cinta kepada tanah air, kepada keadilan, kepada harapan. Tapi cinta yang terus dilukai akan melahirkan perlawanan. Dan jangan salah, perlawanan dari Semar bukan perlawanan yang main pukul. Ia adalah perlawanan moral yang bisa menjungkirbalikkan legitimasi siapa pun yang pongah.

Kita Semua Semar

Barangkali inilah esensi dari lakon tersebut. Bahwa kita semua bisa menjadi Semar. Di tengah dunia yang penuh tipu daya, kita harus menjaga moralitas. Kita harus berani berkata tidak pada ketidakadilan. Kita harus sanggup menatap wajah dewa dan berkata: “Maaf, Yang Mulia, tapi Anda sudah keterlaluan.”

Menjadi Semar berarti bersahaja, rendah hati, dan jujur. Tapi juga berarti siap membela kebenaran kapan pun diperlukan. Menjadi Semar bukan soal kostum. Tapi soal keberanian moral untuk membela yang lemah dan menegur yang zalim.

Wayang, dalam hal ini, mengajarkan bahwa perubahan tidak selalu datang dari atas. Kadang ia lahir dari bawah dari suara rakyat, dari amarah yang terpendam, dari nurani yang sudah tak tahan. Dan ketika Semar sudah turun tangan, para dewa pun tak berkutik.

Wayang Golek, Demokrasi, dan Rakyat yang Terlupakan

Lakon Semar Ngamuk Dewa Takluk adalah pengingat keras bahwa kekuasaan tanpa keadilan hanya akan melahirkan kemarahan. Bahwa demokrasi yang hanya diisi oleh prosedur tanpa partisipasi rakyat, hanyalah pesta formal belaka. Bahwa suara nurani jauh lebih nyaring daripada toa kampanye.

Wayang adalah suara rakyat yang tidak bisa dibeli. Ia lahir dari kearifan lokal, tapi mengandung hikmah global. Ia bukan sekadar hiburan malam minggu. Ia adalah kuliah filsafat, pengajian kebangsaan, sekaligus cermin batin bangsa. Maka, saat kita menonton Semar mengamuk, kita sedang diajak untuk bercermin: apakah kita sedang di pihak yang ditertawakan, ditertindas, atau sedang menertawakan yang tertindas?

Kalau semua pemimpin negeri ini pernah menonton lakon Semar Ngamuk, dan masih juga tega membiarkan rakyat menderita, maka mungkin sudah waktunya rakyat yang menggelar pertunjukan. Bukan dengan boneka kayu, tapi dengan tindakan nyata.

Karena, seperti kata Semar:
“Dewa boleh bicara soal surga, tapi yang tahu rasanya neraka adalah rakyat.” (*)

*) Sejarawan UIN Raden Intan Lampung, dari Jawa Barat