Abustan
Praktisi hukum dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta
HATIPENA.COM – Tantangan yang menarik dan menjadi perhatian Presiden Prabowo Subianto adalah komitmen dan keseriusannya melakukan pemberantasan korupsi.
Perhatian itu menjadi harapan masyarakat untuk mewujudkan keadilan agar kekayaan sumber daya alam benar-benar dimanfaatkan untuk pembangunan bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Karena itu, gagasan Presiden untuk memenjarakan para koruptor dengan menyiapkan pulau penjara adalah sebagai penegasan komitmen untuk membungkam para koruptor Keseriusan itu ditandai dengan terungkapnya berbagai kasus, seperti perkara timah, mafia minyak goreng, mafia pupuk subsidi, mafia migas (Pertamina), PIK 2, dan lain-lain.
Memang, bentangan empiris yang selama kurang lebih 26 tahun pasca reformasi, malah menunjukkan potret suram pemberantasan korupsi. Tak supremasinya hukum dan tumbuh suburnya praktik korup turut tampil maksimal dalam gambar tersebut. Inilah sirine darurat bahwa pemberantasan korupsi dalam konteks memajukan bangsa dari keterpurukan, harus menjadi pilihan Presiden ke-8 RI bahwa “langkah pemberantasan korupsi” tak dapat di tawar-tawar lagi.
Tentu saja, sebagai ajang pembuktian maka langkah mendesak yang harus dilakukan yaitu mengusut dugaan korupsi tersebut sampai tuntas keakar-akarnya. Dengan demikian, kekayaan negara dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat, sehingga ke depan pemerintahan yang baru berjalan ini benar-benar memperjuangkan nasib rakyat melalui sikap konsistensi terhadap pemberantasan korupsi.
Dengan sikap tegas dan keteladan itu, akan menandai hadirnya nilai-nilai etika, moral, serta karakter yang kuat. Sehingga pada gilirannya setiap orang merasa punya beban (rasa bersalah, dan berdosa) untuk tidak berbuat menyimpang. Bahkan, sikap keserakahan dengan cara menumpuk harta melalui tindakan korupsi sudah tidak mendapat tempat lagi melalui aturan UU perampasan aset dan pembuktian terbalik.
Kedua aturan hukum inilah yang akan mengikis habis prilaku permisif. Sebab, kondisi permisif tergantikan dengan etos kerja dan kepatuhan hukum terhadap penyelenggara negara. Termasuk politik oligarki yang selama ini menikmati keuntungan yang banyak merugikan/ menyengsarakan rakyat.
Maka, dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di mana mengurus negara benar-benar dapat menjadi tugas suci dan ideologis.
Intinya, komitmen dan integritas pemerintahan baru yang secara konsisten haruslah ditunjukkan impecnya diharapkan akan terus menjadi “momok” yang ditakuti. Sementara prilaku koruptif yang senang “mengeruk keuntungan” akan sirna. Pada titik inilah, dalam negara kita akan menyaksikan bahwa mental negarawan lebih menonjol daripada mental pedagang.l
Lebih dari itu, negara telah dipahami sebagai institusi yang bernilai “sakral” dan penuh amanat rakyat. Bukan sebagaimana lazimnya perusahaan yang bisa dieksploitasi demi keuntungan pribadi dan gerombolannya. Dalam banyak hal, kita menemukan kebenaran digantikan pembenaran untuk menjustifikasi sesuatu. Selalu ada dalil untuk menandingi opini-opini dalam menyelundupkan penyimpangan di dalamnya.
Walaupun diketahui, korupsi hanya dilakukan aktor-aktor kekuasaan. Mereka berada di dalam sistem, mengelola kekuasaan dan punya ilmu kemahiran yang canggih untuk melakukan manipulasi. Jadi dapat disimpulkan, cara yang efektif untuk membuat mereka jera dalam melakukan tindakan korupsi adalah dengan jalan “memiskinkan” koruptornya.
Agenda Mendesak
Tak dapat dipungkiri, pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) perampasan aset menjadi undang-undang adalah salah satu agenda paling mendesak adalah pengesahan RUU Perampasan Aset Karena itu, rancangan undang-undang ini merupakan keniscayaan sebagai langkah konkrit Presiden Prabowo yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Begitu pula, aparat penegak hukum membutuhkan aturan ini untuk memudahkan pengambilan kembali aset hasil tindak pidana. Oleh sebab itu, urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset kembali bergaung lagi untuk menguji keseriusan pemerintahan yang baru berjalan 100 hari lebih ini.
Langkah pemerintahan baru ini dalam “menggenjot” pemberantasan korupsi haruslah dimaknai untuk memperjuangkan nasib rakyat yang lebih konkrit yaitu melalui pemberantasan korupsi. Presiden harus tampil ke depan dengan kesatria memberikan contoh bahwa sudah waktunya pemberantasan korupsi menjadi panglima dengan aksi nyata. Bukan dengan lips service atau retorika belaka.
Maka dari itulah, UU Perampasan Aset diperlukan untuk memperkuat landasan bagi penegak hukum dalam mengambil kembali aset-aset hasil tindak pidana.
Seperti kita ketahui, selama ini penegak hukum hanya bisa menyita aset hasil tindak pidana jika ada putusan pengadilan. UU Perampasan aset diharapkan bisa menciptakan sistem perampasan aset yang dilakukan tanpa harus didahului putusan pengadilan.
Tegasnya, RUU Perampasan Aset juga harus menjaga keseimbangan dengan memperhatikan unsur hak warga negara Karena itu, penegak hukum membutuhkan payung hukum untuk tidak hanya mengejar para koruptor, tetapi juga mengambil kembali aset hasil korupsi. Untuk itu, sekali lagi pemerintahan Prabowo haruslah mempercepat RUU Perampasan Aset.
Kesatria Sama Rakyat
Masyarakat sudah capek, lelah, dan putus asa menghadapi korupsi yang terus merugikan negara. Bahkan, membuat rakyat makin jauh dari kesejahteraan.
Masalah negara dan problematik berbangsa adalah sudah jelas bertolak dari keseriusan pemberantasan korupsi. Nah, revolusi memberantas korupsi bisa diawali dari langkah-langkah awal yang dilakukan oleh presiden dengan menunjukkan komitmen kesatria anti korupsi sebagai penjelmaan kecintaan kepada rakyat Indonesia.
Nafas dan semangat kesatria itulah yang harus di jaga dalam political will pemberantasan korupsi, sehingga kehidupan masyarakat Indonesia bebas dari korupsi, bukan lagi sebuah utopia. Dengan demikian, pemimpin berkuasa atas dukungan rakyat dan membahagiakan rakyat, bukan mencari kesempatan untuk korupsi. (*)
Jakarta, 21 Maret 2025