Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Lebaran dan Keadilan Sosial

March 17, 2025 15:35
IMG_20250317_153300

Dr. Wendy Melfa
Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem)


HATIPENA.COM – Indonesia tercatat sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, meskipun the founding father kita dahulu sudah menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara yang menjadikan Islam sebagai idiologinya atau bukan sebagai negara agama (Islam).

Penduduk beragama Islam sesuai dengan syariat ajarannya menjadikan hari raya Idul Fitri atau kebanyakan masyarakat menyebutnya dengan diksi “Lebaran”, merupakan hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.

Dimensi Demokrasi Ekonomi dan Sosial

Lebaran di Indonesia adalah merayakan hari raya (inti) yang diikuti dengan tradisi ala Indonesia (pelengkap) yang melekat, terkadang menurut sudut pandang orang awam, tradisi-tradisi yang melekat pada syariat hari raya Idul Fitri yang sudah berlangsung turun temurun dari kebanyakan orang-orang tua dahulu seakan “terlembaga” bahwa lebaran itu adalah melaksanakan tradisi-tradisi yang menyertai hari raya.

Bahkan ada yang sampai berkesan tidak melaksanakan hari raya Idul Fitri manakala tidak disertai dengan tradisi-tradisi yang sudah melembaga dan menjadi budaya lebaran ala Indonesia, yang sudah menyatu dalam satu kesatuan antara inti dan pelengkapnya yang disebut dengan “Lebaran Idul Fitri” (lebaran).

Persiapan dan pelaksanaan yang kemudian menjadi “kebutuhan” lebaran tersebut dari kebutuhan primer, sekunder, bahkan bagi yang berkecukupan sampai dengan kebutuhan tersier; mulai dari memasak ketupat, rendang dan opor ayam, kue-kue, pakaian baru, penampilan rumah baru (bersih dan dicat ulang), accessories dan perhiasan yang good looking.

Bagi yang berkecukupan alat transportasi baru atau setidaknya diperbaiki untuk lebih laik dikendarai, dan mungkin masih ada yang lainnya.

Pergerakan pemenuhan kebutuhan lebaran yang relatif hampir dipenuhi dalam satu waktu itulah yang menyebabkan seakan semua “energi” tersedot pada berjalannya mekanisme pasar yang melibatkan hampir semua sektor kehidupan, dari individual sampai kepada lembaga, Pemerintah, dan Negara, perputaran uang yang meningkat, sektor riil yang bergerak, usaha mikro dan makro ekonomi bergeliat, itulah fenomena lebaran beserta dampak dan impak yang menyertainya.

Mengikuti fenomena masyarakat dalam merayakan lebaran, Negara pun berusaha untuk hadir melalui pemerintahnya dengan menjalankan fungsi pelayanan, mulai dari menjamin ketersediaan bahan pangan dan kebutuhan pokok di pasar-pasar atau tempat lain yang bisa diakses oleh penduduknya.

Selain itu, membayar tunjangan hari raya (THR) pada instansi pemerintah serta mengawasi pembayaran pada sektor swasta, memberikan kemudahan pada pelayanan transportasi umum mulai dari menambah armada angkutan.

Lalu, memberikan diskon tarif tol dan angkutan, mengerahkan aparat keamanan untuk lebih menjamin keamanan, memperbaiki sarana transportasi massal, menambal jalan-jalan berlubang, menyiapkan dan mengamankan jalur-jalur mudik yang akan digunakan penduduk, termasuk fasilitas pendukung lainnya, memfasilitasi waktu libur dan memberikan fasilitas work from anywhere (WFA), dan lain-lainnya yang dipersembahkan oleh Negara melalui Pemerintah kepada penduduknya.

Fenomena lebaran ini mengkonstruksikan bahwa rakyat dengan kedaulatannya telah “berkuasa” untuk meminta perhatian dan pelayanan (extra) dari Pemerintah guna memenuhi kebutuhan rakyatnya (lebaran), inilah dimensi demokrasi ekonomi dan sosial yang dihadirkan pada saat lebaran tiba, yang bertujuan terpenuhinya kebutuhan penduduk dalam merayakan lebaran (kesejahteraan).

Waspada “Arus Balik”
Teori ekonomi pada hukum permintaan menyebutkan; “permintaan akan turun jika harga naik, dan permintaan akan naik jika harga turun”, demikian juga hukum penawaran menyebutkan; “penawaran akan naik jika harga naik, dan penawaran akan turun jika harga turun”, kombinasi antara hukum permintaan dan penawaran menciptakan titik keseimbangan di pasar (John Adam Smith; menjelaskan konsep penawaran dan permintaan sebagai “tangan tak terlihat” (invisible hand) yang secara alamiah memandu perekonomian/ The Wealth of Nations: 1776).

Hakekatnya teori yang dibangun dari pengamatan dan pengujian secara akademis, berlaku secara universal dan dari semua keadaan, namun universalitas teori penawaran dan permintaan Adam Smith tersebut seperti ter-exceptional-kan (terkecualikan) ketika penduduk Indonesia jelang dan memasuki lebaran, semua kebutuhan primer, sekunder, bahkan ada juga yang tersier mengalami lonjakan peningkatan, pada saat itu permintaan kebutuhan meningkat, ketersediaan barang juga tersedia.

Tetapi harga juga mengalami peningkatan, inilah teori ekonomi berkah lebaran, dan ini senyatanya terjadi di Indonesia (penulis belum mendapatkan data apakah fenomena yang sama juga terjadi di negara-negara lain yang banyak berpenduduk beragama Islam).

Energi ekonomi penduduk Indonesia yang mayoritas merayakan lebaran terserap pada sektor konsumsi, perputaran uang akan mengalami peningkatan, ekonomi sektor riil mengalami peningkatan, daya beli masyarakat meningkat, meskipun gejala ini hanya bersifat temporer, namun fenomena lebaran ini tentu dapat menyebabkan peningkatan ekonomi Indonesia pada saat kondisi ekonomi Indonesia sedang melambat atau menyusut.

Kondisi ini ditandai dengan penerimaan Negara anjlok pada awal 2025 mencapai 30,19 persen bila dibandingkan realisasi pajak tahun 2024 (year on year), yaitu hanya 8,6 persen dari target Rp. 2.189,3 T. (APBN KiTa edisi Februari 2025), secara keseluruhan terkonfirmasi pada tiga bulan pertama APBN kita mengalami defisit 0,13 persen, belanja Negara sudah mencapai Rp348,1 triliun, sedangkan pendapatan baru mencapai Rp316,9 triliun (per 28 Februari, CNN Indonesia).

Penyampaian data keuangan Negara dimaksudkan, bahwa fenomena lebaran satu sisi secara ekonomi Nasional dapat meningkatkan perekonomian meskipun hanya bersifat sementara, namun disisi lain patut untuk diwaspadai bagi ketahanan “ekonomi” individu dan keluarga untuk juga menyiapkan “cadangan” tabungannya untuk tidak digunakan secara berlebihan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi keluarga pasca hari lebaran, mengingat kondisi ekonomi Indonesia juga dunia saat ini pertumbuhannya sedang melambat, yang dapat berdampak pada daya beli masyarakat, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok konsumsinya.

Keadilan Sosial untuk Semua

Sıla kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” merupakan cıta-cita yang akan diwujudkan dan merupakan idiologi pembangunan Indonesia serta selaras dengan tujuan berdirinya Negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah: … memajukan kesejahteraan umum …, yang diwujudkan dalam bentuk Negara hadir dalam melayani dan memenuhi kebutuhan penduduknya.

Fenomena lebaran di mana Negara selalu hadir dalam mengantisipasi dan pemenuhan hajat kebutuhan orang banyak di mana mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi manfaat ekonomi dan sosialnya juga dapat dirasakan oleh penduduk Indonesia beragama lainnya merupakan deskripsi pemenuhan kebutuhan untuk mensejahterakan rakyatnya.

Fenomena lebaran yang dimulai dari bertambahnya pendapatan, ketersediaan bahan pokok di pasaran (tanpa kelangkaan), meningkatnya daya beli masyarakat, penyediaan dan perbaikan infrastruktur, meningkatnya jaminan pelayanan sosial dan keamanan, pengurangan beban biaya transportasi umum dan masih banyak lagi lainnya yang terdampak pada semua sektor kehidupan warganya, yang keseluruhannya dapat dirasakan sebagai “kesejahteraan dan kemakmuran” bagi penduduk, sehingga seolah-olah penduduk ingin merayakan lebaran setiap bulannya.

Atau seharusnya pelayanan dan kehadiran Negara dalam memenuhi kebutuhan penduduknya tidak hanya bersifat fenomenal ketika menghadapi atau melaksanakan lebaran, tetapi berlangsung setiap bulannya, sehingga hari-hari yang dirasakan oleh penduduknya adalah hari-hari yang menyejahterakan, memakmurkan, hari-hari yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kita berharap bahwa bahtera besar Indonesia, ibarat kapal besar cinta yang berlayar menuju ke sana, berlabuh pada kesejahteraan rakyatnya, semoga. Selamat berlebaran bangsa Indonesia, mohon dimaafkan jika kita masih berusaha menyejahterakan dan memakmurkan guna mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. (*)