Renungan Hari Kemerdekaan
Oleh Denny JA
HATIPENA.COM – IMF pada 2024 menempatkan Indonesia sebagai ekonomi terbesar ke‑16 dunia. Sebuah posisi yang menandai potensi—tetapi bukan tujuan akhir.
Goldman Sachs, lembaga internasional yang kredibel, menjanjikan horizon baru. Pada tahun 2045, Indonesia diproyeksikan menapak urutan ke‑4 ekonomi terbesar dunia, hanya di bawah Cina, India dan Amerika serikat.
Saat itu terjadi pergeseran poros peradaban. Tiga dari empat negara terbesar dunia secara ekonomi berada di Asia. Pusat dunia berpindah dari dunia barat ke timur: Asia.
Bukan sekadar angan, ini adalah panggilan untuk bergerak: berani dan visioner.
Akankah proyeksi ini terjadi? Indonesia negara keempat terbesar dunia secara ekonomi di tahun 2045, dua puluh tahun lagi, ketika kita merayakan kemerdekaan ke-100?
Berhasilkah Prabowo meletakkan fondasi yang kokoh, jembatan emas ke arah sana?
-000-
Kisah inovasi dari desa terpencial ini haruslah menjadi virus inspirasi yang meluas ke aneka pelosok tanah air, agar proyeksi di atas tercapai.
Di kaki pegunungan Semarang, berdiri unit tenaga mikrohidro yang menyala malam dan menerangi mimpi.
Mikrohidro adalah pembangkit listrik tenaga air skala kecil. Ia memanfaatkan aliran sungai atau saluran irigasi berdebit rendah untuk menghasilkan listrik.
Kapasitasnya biasanya di bawah 100 kW, cocok untuk desa terpencil. Teknologi ini ramah lingkungan, berbiaya rendah, dan memberdayakan masyarakat lokal secara mandiri serta berkelanjutan.
Inovator di baliknya adalah Tri Mumpuni, peneliti dan wirausahawan sosial. Ia sudah membangun lebih dari 60 pembangkit mikrohidro, menerangi lebih dari 65 desa di Indonesia.
Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award 2011 atas karya “menciptakan listrik dari arus kecil sungai untuk rakyat kecil” .
Tri Mumpuni bukan sekadar inspirator. Ia adalah bukti hidup bahwa inovasi tak selalu lahir di kota besar.
Ia mewujudkan esensi hilirisasi: menciptakan nilai dan dampak nyata dari sumber lokal.
Kisahnya menjadi bayangan ideal bagaimana generasi muda dan pemimpin masa depan dapat mengubah peluang menjadi kekuatan konkret.
-000-
Mengapa Indonesia mungkin melompat menjadi negara keempat terbesar dunia secara ekonomi di tahun 2045?
Ini tiga variabel yang memungkinkan prediksi itu.
Pertama: Bonus Demografi: “Tulang Punggung Raksasa”
Dari sekarang hingga pada 2045, hampir 70 % penduduk Indonesia akan berada di usia produktif. Angka ini berarti ratusan juta jiwa yang bisa menjadi mesin penggerak ekonomi, sains, dan budaya.
Namun, potensi ini tidak otomatis menghasilkan kemajuan. Ada tiga penyebab utama mengapa bonus demografi bisa menjadi berkah atau justru bencana.
a) Pendidikan sebagai Jalan Penentu
Tanpa pendidikan bermutu, bonus demografi hanya menghasilkan tenaga kerja murah, bukan pencipta inovasi.
Negara yang berhasil memanfaatkan demografi, seperti Korea Selatan, berinvestasi besar-besaran pada pendidikan vokasi dan universitas riset.
Indonesia harus menyiapkan sekolah unggul di seluruh provinsi, akses beasiswa luas, dan kurikulum yang relevan dengan era digital.
Tanpa itu, mayoritas generasi muda akan terjebak dalam lingkaran pengangguran.
b) Kesehatan dan Gizi sebagai Modal Dasar
Generasi produktif membutuhkan tubuh sehat dan pikiran jernih. Namun, prevalensi stunting di Indonesia sekitar 18%- 20 %.
Bayangkan, seperlima anak bangsa tumbuh dengan keterbatasan fisik dan kognitif. Tanpa intervensi kesehatan massal, bonus demografi bisa menjadi “bonus sakit,” melemahkan daya saing global.
Legacy besar akan lahir jika pemerintah mampu menurunkan stunting drastis, memperluas layanan kesehatan universal, dan menjadikan generasi muda sehat sebagai aset nasional.
Program Makan Bergizi Gratis, jika berhasil, menyasar segmen ini.
c) Lapangan Kerja dan Inovasi Ekonomi
Pendidikan dan kesehatan tak ada artinya tanpa lapangan kerja. Ratusan juta tenaga muda butuh ruang produktif.
Jika lapangan kerja tak tumbuh, yang muncul adalah frustrasi, kerawanan sosial, bahkan ledakan populisme. Inilah yang disebut paradox of plenty.
Maka pembangunan industri berbasis teknologi, digitalisasi UMKM, dan dukungan pada start-up menjadi mutlak.
Tri Mumpuni membuktikan, inovasi dari desa sekalipun bisa menciptakan pekerjaan dan mengubah wajah daerah.
Kesimpulan: Bonus demografi adalah pedang bermata dua. Dengan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, ia menjadi anugerah emas. Tanpa itu, ia bisa menjelma kutukan sosial.
-000-
Kedua: Hilirisasi dan Transformasi Ekonomi: Menjadi Maharaja Nilai Tambah
Indonesia selama ini hidup dari menjual bahan mentah. Itu seperti menjual padi tapi membeli nasi dengan harga berlipat.
Agar menjadi empat besar ekonomi dunia, kita perlu bertransformasi. Ada tiga penyebab utama mengapa hilirisasi menjadi penentu.
a) Kutukan Bahan Mentah dan Kerentanan Global
Ketergantungan pada ekspor mentah membuat ekonomi rapuh. Harga nikel, sawit, atau batu bara ditentukan pasar global, bukan kita. Begitu harga jatuh, APBN terguncang.
Inilah yang disebut resource curse. Negara yang gagal keluar dari jebakan ini, seperti Venezuela, meski kaya minyak justru terjerat krisis. Hilirisasi adalah jawaban untuk memutus ketergantungan.
b) Nilai Tambah dan Lompatan Teknologi
Nikel yang dijual mentah hanya memberi pemasukan puluhan dolar per ton. Tetapi jika diolah jadi baterai kendaraan listrik, nilainya bisa berlipat hingga ratusan kali.
Sawit yang diolah menjadi biofuel bukan hanya menghasilkan devisa, tapi juga menjawab krisis energi.
Hilirisasi membuka jalan bagi industrialisasi berbasis teknologi. Ia bukan sekadar strategi ekonomi, tetapi juga strategi kedaulatan: agar bangsa ini tidak selamanya jadi “buruh” bagi negara industri.
- Pemerataan dan Inovasi Lokal
Transformasi ekonomi tak boleh hanya berhenti di kota besar. Hilirisasi bisa membuka pusat industri di luar Jawa, mendekatkan kesejahteraan pada rakyat desa.
Tri Mumpuni membuktikan inovasi energi bisa lahir di pelosok dan memberi kehidupan. Bila pemerintah membuka jalan, desa-desa dapat menjadi pusat inovasi baru: dari industri rumahan hingga pabrik modern.
Dengan itu, hilirisasi tidak hanya menciptakan pertumbuhan, tapi juga pemerataan.
Kesimpulan: Hilirisasi adalah jalan dari pinggiran ke pusat, dari penonton ke pemain utama. Tanpa hilirisasi, Indonesia hanya akan terus menjual murah dan membeli mahal.
-000-
Ketiga: Tata Kelola Pemerintahan: Integritas sebagai Akar Kemajuan
Tak ada negara maju tanpa institusi kuat. Jerman, Jepang, Amerika, semua tumbuh di atas pondasi hukum, birokrasi efisien, dan budaya meritokrasi.
Indonesia pun harus belajar. Ada tiga penyebab utama mengapa tata kelola menentukan arah bangsa.
a) Korupsi sebagai Penyakit Struktural
Indonesia kehilangan ratusan triliun rupiah setiap tahun akibat korupsi. Tanpa integritas, pembangunan bocor, investasi kabur, rakyat kecewa.
Legacy besar lahir bila Prabowo berani mengikis korupsi sampai ke akar: memperkuat KPK, Kejaksaan, Kepolisian, mempercepat transparansi digital, dan memastikan pejabat hanya melayani bangsa, bukan diri sendiri.
b) Birokrasi sebagai Mesin, Bukan Hambatan
Hari ini, birokrasi sering dipandang sebagai “hutan belantara” izin dan regulasi. Investor mundur karena keruwetan administrasi.
Padahal birokrasi seharusnya mesin efisiensi. Jika pemerintahan mampu menerapkan digitalisasi birokrasi, memotong jalur izin, dan mengandalkan data real-time, maka kecepatan Indonesia akan sebanding dengan negara maju.
c) Meritokrasi vs Oligarki
Bangsa besar hanya bisa dibangun oleh orang-orang terbaik. Namun selama ini politik Indonesia kerap dikuasai oligarki, di mana jabatan diberikan karena kedekatan, bukan kompetensi.
Meritokrasi—memberi jabatan pada yang pantas—adalah syarat mutlak. Legacy Prabowo akan diukur dari keberaniannya menegakkan meritokrasi, bukan hanya dalam kata, tapi dalam praktik nyata.
Kesimpulan: Pemerintahan bersih, birokrasi efisien, dan meritokrasi akan menjadi fondasi yang memastikan bonus demografi dan hilirisasi berbuah. Tanpa itu, dua potensi besar hanya akan berakhir jadi ilusi.
-000-
Generasi digital kita punya kisah sukses:
• William Tanuwijaya, dengan semangat anak internet kafe, mendirikan Tokopedia—e‑commerce unicorn yang mengubah peta UMKM Indonesia .
• Achmad Zaky, co-founder Bukalapak, melesat dari startup kampus menjadi perusahaan raksasa yang merangkul digitalisasi di semua batas wilayah .
Dua tokoh ini membuktikan: anak Indonesia mampu menciptakan lompatan global dari ruangan sederhana yang penuh mimpi.
-000-
Empat Pilar Fondasi Visioner Menuju 2045
1. Revolusi Pendidikan & SDM – Sekolah unggul di tiap provinsi, universitas riset, beasiswa besar.
2. Transformasi Industri & Digitalisasi – Hilirisasi sumber daya, ekonomi digital inklusif, inovasi hijau.
3. Reformasi Institusi & Tata Kelola – Birokrasi bersih, hukum adil, meritokrasi sejati.
4. Infrastruktur & Konektivitas Terpadu – Internet merata, kota cerdas, tol industri sehorizonnal.
-000-
IMF menunjukkan kita di “urutan ke-16 dunia”; Goldman Sachs mengajak kita bermimpi di “urutan ke-4 dunia”. Jarak itu bukan utopis—itu panggilan.
Legacy seorang pemimpin bukan apa yang ia capai saat ini, tetapi apa yang ditinggalkannya untuk generasi esok.
Bila anak-anak desa, mahasiswa, atau pemuda desa bisa menjadi inovator seperti Tri Mumpuni, Tanuwijaya, Zaky, maka lompatan jauh ke muka di tahun 2045, bukanlah prediksi kosong.
Namun, mimpi besar hanya dapat tercapai bila kritik dan pengawasan publik berjalan sehat. Partisipasi masyarakat sipil, media independen, serta transparansi data menjadi pagar agar visi 2045 tidak menyimpang.
Tanpa itu, proyeksi tinggal retorika, bukan kenyataan.
Kita berharap sejarah akan menulis: di masa Prabowo, fondasi itu diletakkan. Masa depan bukan lagi angan—melainkan rumah besar yang ia wariskan, menjadi cahaya. (*)
Jakarta, 17 Agustus 2025
Referensi
1. Anne Booth, Economic Change in Modern Indonesia: Colonial and Post-colonial Comparisons, Cambridge University Press, 2016
2. David van Reybrouck, Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World, The Bodley Head, terjemahan Inggris 2024
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World