Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
HATIPENA.COM – Setiap hari dunia membicarakan Donald Amerika dengan America First-nya. Sesekali kita nge-ghibahin tetangga sendiri, Thailand. Negeri Gajah Putih ini baru saja mengesahkan UU Kesetaraan Pernikahan. Singkatnya, LGBT dibolehkan nikah. “Batangan sama batangan, boleh dong nikah, Bang?” Hush ente sekate-kate, ini di Siam sana. Yok kita bahas negeri Jerayut ini kenapa sampai mensahkan sesama jenis menikah. Kopi liberika, jangan lupa, wak!
Thailand, negeri yang katanya tidak pernah dijajah, justru berhasil menjajah perhatian kita dengan undang-undang yang bikin gempar Asia Tenggara. Bayangkan, di kala negara lain masih sibuk berdebat soal “mana yang benar” dalam kehidupan pribadi orang lain, Thailand justru santai saja. Mereka baru saja mengesahkan UU Kesetaraan Pernikahan, lengkap dengan label, “ini sah, ini hak semua orang.” Luar biasa. Sebuah tepuk tangan untuk negeri Gajah Putih ini, meski mungkin ada yang mendengar kabar ini sambil melotot.
Kini istilahnya adalah “pasangan hidup.” Sebuah inovasi linguistik yang membuat kita bertanya-tanya, mengapa negara-negara lain belum terpikirkan hal ini? Thailand seakan berkata, “Kami tidak hanya memberikan hak, tetapi juga mengemasnya dengan kosa kata baru yang lebih demokratis.” Hebatnya, undang-undang ini baru akan berlaku efektif 120 hari lagi, karena ya tentu, memberi waktu bagi semua untuk beradaptasi dan berhenti panik.
Siapa yang sangka bahwa perjuangan panjang ini bisa terbayar? Ann “Waaddao” Chumaporn, salah satu pegiat hak LGBT, menggambarkannya dengan sederhana, air mata. Kalau ada yang bertanya apa artinya tekad, ya ini jawabannya. Tidak ada yang instan, bahkan di Thailand, negeri yang terkenal dengan makanan siap sajinya.
Ratusan pasangan menikah di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Bangkok. Kalau ada yang berkata, “Itu terlalu pragmatis,” mereka mungkin lupa bahwa Thailand adalah negeri serba mungkin. Mall adalah tempat segala hal terjadi, belanja, makan, dan sekarang, menikah.
Siapa sangka Pride March pertama di Thailand 25 tahun lalu begitu sulit diadakan? Pawai yang kacau, izin yang seperti mencari jarum di tumpukan jerami, dan ancaman kekerasan menjadi bagian dari sejarah. Tetapi lihat sekarang, Bangkok Pride March adalah acara yang ditunggu-tunggu. Dari kacau menjadi kemeriahan. Mungkin itu juga simbol bagaimana perjuangan hak LGBT di Thailand.
Ada tiga alasan utama mengapa penikahan sejenis dilegalkan di sana. Jawabannya: agama, sejarah, dan tidak adanya penjajahan Barat. Agama Buddha yang dianut mayoritas masyarakat Thailand memiliki prinsip sederhana, “Kalau tidak mengganggu orang lain, ya tidak masalah.” Begitu pula dengan sejarah. Tidak dijajah oleh negara Barat berarti Thailand bebas dari aturan hukum yang terlalu sibuk mengatur urusan kamar tidur orang lain.
Tentu saja, fleksibilitas adalah kunci. Filosofi “Mai pen rai” atau “bukan masalah besar” seolah menjadi mantra nasional. Hidup ini pendek, katanya. Jadi, kenapa harus pusing mengurusi pilihan hidup orang lain?
Di sisi lain, banyak negara Asia masih berkutat dengan diskriminasi. Brunei bahkan memiliki hukuman mati untuk hubungan homoseksual. Sementara di Indonesia, LGBT dianggap sebagai isu yang cukup panas untuk dijadikan modal politik. Filipina dan Vietnam mulai terbuka, tetapi jalannya masih panjang.
Di Jepang dan Korea Selatan? Jangan harap. Selama partai politik konservatif masih didominasi pria tua yang takut akan “pengambilalihan komunis kiri,” kesetaraan pernikahan mungkin hanya mimpi. Oh, betapa menyedihkannya.
Dengan disahkannya undang-undang ini, Thailand kini menjadi surga baru bagi pasangan LGBT dari seluruh Asia. Bukan hanya untuk berwisata, tetapi juga untuk hidup dengan hak yang diakui. Sebuah langkah yang tidak hanya progresif, tetapi juga menguntungkan secara ekonomi. Pariwisata LGBT, anyone?
Kita hanya bisa bilang, “Lain padang, lain belalangnya. Lain lubuk lain ikan gabusnya.” (*)
#camanewak