Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya *)
HATIPENA.COM – “Bali banyak libur,” begitu kata mereka yang memandang dari jauh tentang Bali dan masyarakatnya.
Ada libur nasional, kalender merah yang berlaku untuk semua. Ditambah libur fakultatif, hanya di Bali ada Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi, Siwalatri, dan izin tak masuk kerja pada hari-hari raya lainnya.
Tapi tahukah mereka jika libur bagi masyarakat Bali di Bali bukanlah liburan? Mereka tidak tamasya ke pantai walau banyak pantai indah yang menunggu, bukan menginap di hotel walau banyak hotel bagus yang menawarkan kenyamanan, bukan pula bermain di taman hiburan untuk melepas penat.
Libur bagi orang Bali adalah kesibukan tanpa akhir.
Galungan, misalnya. Perempuan sibuk menyiapkan banten, membuat sarana upacara hingga larut malam. Sementara pria turun tangan di dapur, membuat lawar, sate, dan hidangan lainnya. Tugas yang sehari-hari diurus perempuan, pada hari raya galungan berpindah ke tangan lelaki.
Remaja dan anak-anak tak kalah repot, mereka membuat penjor, simbol kemenangan dharma atas adharma, yang berdiri megah di depan rumah.
Libur bagi masyarakat Bali adalah kerja keras, lebih sibuk dari hari biasa. Bahkan, bila ada karya besar di desa adat, seperti Ngenteg Linggih atau Ngaben, warga Bali terjebak dalam dilema. Tak hadir, risiko dicatat sebagai “kurang berbakti” pada desa. Ini membuat kondite di desa tidak baik. Beh sing taen ngayah. Sebaliknya, datang, rajin ngayah, di kantor bisa diberi cap buruk, apalagi jika izin terlalu sering.
Paradoks ini begitu terasa. Jika adat dikesampingkan, budaya Bali terancam luntur. Jika tuntutan modernitas diabaikan, ekonomi bisa terancam runtuh.
Di sinilah orang Bali berdiri—
antara menjaga warisan leluhur atau mengejar masa depan. Harmoni yang sungguh-sungguh menjadikan orang Bali hidupnya makin tertantang.
Belum lagi soal finansial. Ketika Galungan, Kuningan, atau karya adat tiba, pengeluaran keluarga melonjak drastis. Bukan untuk foya-foya, tetapi untuk sarana upacara. Beli pisang, janur, dan perlengkapan lainnya menjadi keharusan.
Dulu, di masa agraris, semua bisa diambil dari kebun. Pisang tinggal dipetik, janur tinggal panjat pohon kelapa. Kini, kebun itu jauh di Thaikand, Vietnam, Sulawesi. Buah Apel datang dari Thailand, Salak dari Sibetan, jeruk diimpor dari Vietnam, bahkan janur pun dari Sulawesi.
Di zaman agraris, adat berjalan seiring dengan sumber daya yang melimpah. Namun kini, sawah dan ladang berganti beton dan aspal.
Budaya yang dilakoni tetap budaya agraris, sementara masyarakatnya hidup di era industri. Praktis, biaya hidup meningkat, sementara tradisi tidak pernah mengenal kompromi.
Jika dihitung dengan logika matematis, pekerja luar yang bekerja di Bali,
walau harus membayar kontrakan atau kos, bisa jadi memiliki sisa gaji lebih besar dibanding orang Bali walau tak membayar tempat tingga dalam setiap bulannya. Tak ada beban adat dan upacara yang tak ditanggung pekerja luar.
Maka bagi masyarakat Bali yang tak memiliki penghasilan pasif, beban hidupnya tampak lebih berat dari masyarakat pada umumnya.
Paradoks ini seakan tanpa akhir. Di satu sisi, adat adalah napas Bali. Tanpanya, Bali kehilangan rohnya. Bagaimana menjaga napas itu, ketika modernitas menghimpit dari segala sisi? Jalan tengah harus ditemukan. Negara harus hadir dalam kondisi ini.
Libur di Bali bukanlah kebebasan. Libur adalah kerja keras, pengorbanan, dan tanggung jawab.
Di tengah segala tantangan ini, orang Bali harus dan terus berjalan, di persimpangan tradisi dan zaman yang terus berubah. (*)
Denpasar, 24 Januari 2025
*) Penulis adalah kolumnis dan konsultan literasi Hatipena