Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Lilin Peradaban Itu (kini) Terancam

May 2, 2025 08:49
IMG-20250502-WA0021

Renungan Kuningan; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Jelang Hari Raya Kuningan, aku pulang kampung karena di tempat kelahiranku dilaksanakan “Kuningan Rejang”, penyebutan sederhana untuk perayaan kuningan yang dibarengi dengan tarian rejang. Rejang renteng asli dari tetua dulu, entah sejak kapan, kemungkinan sudah ada sejak tahun 1670 – 1720.

Tapi kali ini aku tak menulis tentang rejang renteng itu, melainkan soal buku dan dunia cetak setelah temanku pagi-pagi wa menceritakan ratusan teman kita di Jakarta terancam PHK imbas dari digitalisasi.

Di tengah zaman yang melaju deras, dunia cetak seperti makhluk purba yang digiring ke ujung kepunahan. Koran ditinggal pembacanya, majalah jadi ornamen kafe lawas, tabloid mati pelan-pelan, jurnal akademik pun beringsut ke balik paywall digital.

Bahkan buku—yang dulu disanjung bak pustaka suci, yang disungsung di pelangkiran, kini dianggap barang tak penting. Semua sudah bisa dicari di internet. Tak perlu lagi halaman-halaman yang menguning, cukup tanya pada AI, semua jawaban tersedia dalam hitungan detik.

Sesungguhnya ini adalah dunia paradoks itu. Coba tengok uang. Meski dompet digital menjelma bak raja dalam transaksi masa kini, kita tetap merasa perlu membawa selembar dua lembar uang konvensional di saku.

Mungkin untuk membeli di warung pinggir jalan, untuk memberi pada pengamen, atau sekadar merasa aman karena ada yang bisa dipegang. Uang digital belum sepenuhnya menghapus kebutuhan akan uang kertas.

Begitu pula buku. Walau e-book merajalela dan PDF bertebaran, naskah dalam bentuk cetak masih memegang peran penting.

Buku bukan sekadar kumpulan huruf yang bisa disalin-tempel. Ia adalah dokumen hidup—yang menyusun alur pikir, menata temuan, membungkus ide dan kegelisahan zamannya. Ia saksi sejarah intelektual.

Dalam bentuknya yang kasat mata dan berat di tangan, buku menghadirkan kesadaran bahwa pengetahuan butuh ruang dan waktu untuk dicerna, bukan sekadar diklik dan dilupakan.

Buku adalah lontar masa kini. Ia kitab zaman baru. Seperti halnya lontar yang diwariskan untuk anak cucu, buku menjadi suluh yang menyalakan api pengetahuan lintas generasi.

Namun mari kita ajukan satu pertanyaan sederhana yang kerap luput dari renungan kita: ke mana perginya semua data digital itu disimpan?

Semua jawaban yang kita terima dalam sekejap, semua buku yang kita baca dalam bentuk digital, seluruh informasi yang kita konsumsi lewat layar—tak lain dan tak bukan, semuanya tersimpan dalam sesuatu yang disebut server. Mesin-mesin besar, berjejer di ruangan dingin yang dijaga ketat, bekerja tanpa henti demi menopang dunia maya yang kita puja hari ini.

Tapi pernahkah kita berpikir: Apa yang terjadi jika server itu penuh? Jika rusak? Jika diserang? Jika mati listrik melanda dan jaringan terputus, masihkah kita bisa mengakses semua itu?

Dalam kegelapan mendadak, kita akan tersadar bahwa kita butuh lilin. Sesuatu yang sederhana, kuno, tapi menyelamatkan. Buku adalah lilin itu.

Ia tak butuh baterai, tak menunggu sinyal, tak bergantung pada koneksi. Ia diam dan sabar, tapi selalu siap memberi terang saat dunia mendadak gelap.

Buku tidak hilang karena sistem crash, tidak bisa dihapus dengan satu klik, dan tak perlu login untuk dibaca. Buku adalah cadangan pengetahuan, penopang peradaban.

Saya suka menulis, mencetak, dan menyimpan buku. Berusaha mencari buku-buku yang tercecer. Belum banyak yang tersimpan, tapi mungkin nanti akan banyak, bukan karena anti-teknologi, tapi karena sadar:
peradaban besar selalu dibangun di atas fondasi yang kuat—dan buku adalah salah satu fondasi itu.

Rahajeng kuningan, selamat hari pendidikan nasional. Hari bersejarah karena pertamakali tercatat sebagai wartawan di Bali Post 34 tahun silam. (*)

Mataram, 2 Mei 2025