Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Limbah Makanan dan MBG

February 19, 2025 19:59
IMG-20250219-WA0141

Oleh ReO Fiksiwan *)

HATIPENA.COM – “Bersama-sama, kita dapat membalikkan tren yang tidak dapat diterima ini dan meningkatkan taraf hidup. Di kawasan industri, hampir setengah dari total makanan yang terbuang, sekitar 300 juta ton per tahun, terjadi karena produsen, pengecer, dan konsumen membuang makanan yang masih layak untuk dikonsumsi.” – José Graziano da Silva (75), Mantan Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian PBB.

“Di banyak tempat di negara maju, kita makan atau membuang kalori makanan dua kali lebih banyak dari yang sebenarnya kita butuhkan. Kita boros dalam hal makanan. Kita mengirim makanan ke seluruh dunia. Kita tidak menyadari bahwa menghasilkan energi untuk mengirim makanan ke seluruh dunia juga merusak iklim kita.” – Nina Federoff (82), Biolog Molekuler asal Amerika.

Limbah makanan food waste merupakan masalah yang signifikan di seluruh dunia dan sangat terkait sejumlah besar makanan dibuang sebagai sampah. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), sekitar sepertiga dari semua makanan yang diproduksi secara global hilang atau terbuang. Ini berarti sekitar 1,3 miliar ton sampah makanan per tahun, yang setara dengan sekitar 30 persen dari produksi pangan global.

Perincian limbah makanan menurut wilayah diuraikan sebagai berikut:

  • Asia: 44% dari total sampah makanan (sekitar 573 juta ton)
  • Eropa: 24% dari total sampah makanan (sekitar 314 juta ton)
  • Amerika Utara: 14% dari total sampah makanan (sekitar 185 juta ton)
  • Amerika Latin dan Karibia: 10% dari total sampah makanan (sekitar 133 juta ton)
  • Afrika: 8% dari total sampah makanan (sekitar 105 juta ton)

Penyebab utama limbah makanan bervariasi dan tergantung pada wilayah serta tahap rantai pasokan makanan (distribusi) yang dibarengi produsen dan industri makanan di di dunia.

Namun, beberapa faktor umum bisa jadi pertimbangan meliputi empat hal, masing-masing
produksi berlebih dan pasokan berlebih, praktek penyimpanan dan penanganan yang buruk, standar produk kosmetik dan kontrol kualitasnya serta perilaku konsumen dan selera maupun pilihan makanan.

Ihwal limbah makanan, dampak lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya sangatlah signifikan.Limbah makanan berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca, polusi air, dan masalah pengelolaan sampah. Sampah makanan juga mengakibatkan hilangnya sumber daya, termasuk lahan, air, dan energi, yang digunakan untuk memproduksi, memproses, dan mengangkut makanan.

Untuk mengatasi masalah limbah atau sampah makanan, pemerintah, industri, aktivitas bisnis dan individu harus bekerja sama untuk menerapkan solusi yang efektif. Beberapa strategi dalam penangan limbah makanan, di antaranya: Mengurangi sampah makanan di tingkat produksi dan eceran, meningkatkan praktik penyimpanan dan penanganan makanan, mempromosikan edukasi dan kesadaran konsumen tentang sampah makanan, mendukung inisiatif pemulihan dan redistribusi makanan serta sistem dan praktik pangan yang berkelanjutan (sustainable)

Dengan demikian, sampah atau limbah makanan merupakan masalah yang signifikan di seluruh dunia dan ada sekitar 30% dari produksi pangan global dibuang sebagai sampah. Untuk mengatasi masalah ini, penting untuk memahami penyebab dan dampak limbah makanan dan menerapkan solusi yang efektif untuk mengurangi limbah dan dibarengi promosi sistem swasembada pangan atau dan pangan yang berkelanjutan.

Terkait limbah pangan (foodwaste) di atas, penting untuk menyoroti hal itu terkait sejarah ringkas program makan gratis (MBG) yang masih kontroversi belakangan ini dengan pertimbangan masalah limbah pangan sebagai kebijakan nasional yang terukur dan solid.

Menilik secara ringkas Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dari perspektif sejarah, berikut ini sedikit uraian sebagai refleksi bersama untuk solusi yang tepat.

Ide menyediakan makanan gratis bagi mereka yang membutuhkan telah menjadi landasan masyarakat manusia selama berabad-abad. Dari peradaban kuno hingga pemerintahan modern, konsep program makanan gratis telah berkembang seiring waktu, dibentuk oleh faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Esai ini akan membahas sejarah program makanan gratis, menyoroti tonggak penting, keberhasilan, dan tantangan.

Diawali dengan era peradaban (3000 SM – 500 M),
makanan sering kali dibagikan secara cuma-cuma kepada orang miskin, orang tua, dan penyandang cacat. Misalnya, di Yunani dan Roma kuno, pembagian biji-bijian umum merupakan hal yang umum, terutama selama masa kelangkaan atau kesulitan ekonomi. Demikian pula, di India kuno, konsep “anna danam”(amal makanan) sangat mengakar dalam agama Hindu, dengan kuil dan pusat komunitas yang menyediakan makanan gratis bagi yang membutuhkan.

Demikian, selama Abad Pertengahan (500-1500 M), gereja Katolik memainkan peran penting dalam menyediakan bantuan pangan bagi kaum miskin. Biara dan biarawati sering kali mengoperasikan dapur umum, dan gereja-gereja mendistribusikan roti dan makanan pokok lainnya kepada yang membutuhkan. Konsep “amal”(karitas) berakar kuat dalam teologi Kristen, dan menyediakan makanan bagi kaum miskin dipandang sebagai kewajiban moral.

Akan tetapi, di era modern (1500-2000 M), menyaksikan munculnya program bantuan pangan yang disponsori pemerintah. Di Inggris abad ke-18, sistem Undang-Undang Kemiskinan memberikan bantuan kepada kaum miskin, termasuk bantuan pangan. Di Amerika Serikat, program-program New Deal tahun 1930-an, seperti Federal Emergency Relief Administration (FERA), menyediakan bantuan pangan bagi jutaan warga Amerika yang terkena dampak Depresi Besar (Great Depresion).

Namun, dalam beberapa tahun terakhir (awal abad-21), konsep program pangan gratis telah berkembang untuk mengatasi kompleksitas sistem pangan modern. Organisasi seperti Food Not Bombs, yang didirikan pada tahun 1980, telah memelopori konsep “pemulihan pangan,” menyelamatkan kelebihan pangan dari tempat pembuangan sampah dan mendistribusikannya kembali kepada mereka yang membutuhkan. Pemerintah juga telah meluncurkan inisiatif, seperti Supplemental Nutrition Assistance Program (SNAP) di Amerika Serikat, untuk menyediakan bantuan pangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.

Melihat tantangan dan keberhasilan yang terus berkembang — meski program pangan gratis sudah lama ada — tantangan tetap ada. Kerawanan pangan tetap menjadi masalah yang mendesak secara global. Diperkirakan ads 820 juta orang menderita kelaparan pada tahun 2020. Selain itu, pandemi Covid-19 telah memperburuk kerawanan pangan demi menyoroti perlunya sistem pangan yang berkelanjutan dan adil.

Selain itu, ada pula keberhasilan yang penting. Program makan gratis bukan hanya mengurangi kelaparan. Tetapi, juga mendorong keterlibatan masyarakat, kohesi sosial, pemberdayaan ekonomi. dan melepas masyarakat dari ketergantungan pada Bandos. Misalnya, program Bolsa Família milik pemerintah Brasil yang diluncurkan pada tahun 2003. Kebijakan ini menyediakan bantuan tunai bersyarat bagi jutaan keluarga berpenghasilan rendah, meningkatkan ketahanan pangan dan manpu menekan kemiskinan.

Walhasil, program makan gratis memiliki sejarah yang kaya, yang mencakup berbagai abad dan benua. Dari peradaban kuno hingga pemerintahan modern, gagasan untuk menyediakan bantuan makanan bagi mereka yang membutuhkan telah berkembang seiring waktu.

Selain itu. dibentuk oleh faktor sosial, ekonomi dan budaya. Seiring dengan kemajuan kita, penting untuk membangun sejarah ini, di antaranya mengatasi kompleksitas sistem pangan modern, dan memastikan bahwa setiap orang memiliki akses terhadap pangan berkelanjutan.

Bila didekatkan sorotan ke Indonesia antara problem limbah pangan (food waste) serta MBG, perlu ulasan ringkas sebagai perspektif bersama untuk menilai dan menguji sejauh mana manfaat dan mudarat dari hubungan keduanya. Tentu, bukan sekedar menyoroti ada tidaknya masalah maupun solusinya.

Dewasa ini Indonesia — negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan Presiden baru terpilih — serang menghadapi tantangan paradoks. Sementara itu,, jutaan orang berjuang melawan kerawanan pangan dan sejumlah besar makanan terbuang sia-sia (food waste).

Riset kecil yang mencoba meneliti hubungan antara program makanan gratis dan pemborosan makanan di Indonesia, bisa menyoroti melalui kompleksitas ketahanan pangan dan keberlanjutan. Ada riset mengungkapkan bahwa meskipun program makanan gratis dapat mengurangi kelaparan, program tersebut sering kali melanggengkan pemborosan makanan. Untuk itu, perlu diusulkan pendekatan holistik untuk mengatasi kerawanan pangan, dengan menggabungkan pemulihan pangan, redistribusi, dan pendidikan.

Sebagai negara dengan populasi lebih dari 273 juta, Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi terpadat di dunia. Meskipun pertumbuhan ekonominya pesat, Indonesia masih berjuang melawan kerawanan pangan, khususnya di kalangan penduduk miskin dan rentan. Menurut Kementerian Kesehatan Indonesia, sekitar 30% penduduk mengalami kerawanan pangan (Kemenkes, 2020).

Sementara itu, sampah makanan menjadi masalah yang cukup serius di Indonesia. Sebuah studi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan bahwa sekitar 23% dari makanan yang diproduksi di Indonesia terbuang sia-sia (LIPI, 2019). Ini berarti sekitar 13 juta ton sampah makanan per tahun, dengan implikasi ekonomi, lingkungan dan sosial yang signifikan.

Berikut data Limbah atau Sampah Makanan di
Indonesia (2019) dengan kategori limbah makanan(ton):
Buah dan Sayuran ………….3.412.111
Daging dan Unggas………..1.823.111
Ikan dan Makanan Laut……1.234.567
Serealia dan Gandum………2.456.789
Total………………………………13.000.000

Untuk mencermati hal itu, menggunakan pendekatan metode campuran, yang menggabungkan pengumpulan dan analisis data kuantitatif dan kualitatif, telah dilakukan survei dan wawancara dengan para pemangku kepentingan yang terlibat dalam program makanan gratis, termasuk pejabat pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan tokoh masyarakat. Hasil sementara analisis data dari riset ini membuahkan laporan yang ada tentang sampah makanan di Indonesia.

Laporan ini menemukan bahwa program makanan gratis di Indonesia sering kali dilaksanakan sebagai respons terhadap kerawanan pangan, terutama selama masa krisis atau perayaan. Namun, program-program ini sering kali melanggengkan limbah makanan karena beberapa faktor, seperti produksi berlebih.

Program makan gratis sering kali bergantung pada sumbangan atau subsidi pemerintah, yang menyebabkan produksi berlebih dan surplus makanan. Selain itu, program MBG, meski baru aeal bahkan coba-coba, muncul kurangnya koordinasi pada program tersebut.

Koordinasi yang tidak memadai berlangsung antara para pemangku kepentingan, termasuk lembaga pemerintah, LSM, dan kelompok masyarakat, dapat mengakibatkan upaya yang terduplikasi dan pemborosan sumber daya. Yang tak kalah urgensinya, belun tersedia fasilitas yang tidak memadai. Di antara fasilitas penyimpanan (gudang atau dapur umum), transportasi dan penanganan yang tidak memadai dan dapat menyebabkan pembusukan dan pemborosan makanan.

Sebagai analisis sederhana dengan pendekatan holistik untuk mengatasi kerawanan pangan dan pemborosan makanan di Indonesia, dapat diajukan penangan strategis di bawah ini:

  1. Pemulihan dan pendistribusian kembali pangan:
    Menerapkan program pemulihan dan pendistribusian kembali pangan dapat membantu mengurangi pemborosan pangan dan menyediakan makanan bergizi bagi mereka yang membutuhkan.
  2. Pendidikan dan kesadaran pangan:
    Mendidik konsumen, produsen pangan, dan distributor tentang pemborosan pangan dan dampaknya dapat mendorong perubahan perilaku dan mengurangi pemborosan.
  3. Peningkatan koordinasi dan infrastruktur:
    Meningkatkan koordinasi antara para pemangku kepentingan dan berinvestasi dalam infrastruktur yang memadai dapat membantu mengurangi pemborosan pangan dan meningkatkan efisiensi program pangan gratis.

Akhirnya, program makan gratis bergizi (MBG) dan limbah makanan merupakan isu yang kompleks di Indonesia, yang memerlukan pendekatan l beragam untuk mengatasinya.

Dengan menerapkan program pemulihan dan redistribusi makanan, mempromosikan edukasi dan kesadaran pangan, serta meningkatkan koordinasi dan infrastruktur, kita dapat mengurangi limbah ataupun sampah makanan dan menyediakan makanan bergizi bagi mereka yang membutuhkan.

Pada akhirnya, mengatasi kerawanan pangan dan sampah makanan di Indonesia memerlukan upaya kolaboratif dari lembaga pemerintah, LSM, kelompok masyarakat, relawan dan individu yang berkompeten. (*)

Rujukan:

FAO (2011). Global Food Losses and Food
Waste.

FAO (2013). Food Wastage Footprint:
Impacts on Natural Resources.

United Nations (2015). Sustainable
Development Goals.

Kemenkes (2020). Laporan Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

LIPI (2019). Analisis Kebijakan Pengelolaan Sampah Pangan di Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

*) Diulas dari sejumlah referensi dan lukisan dibantu AI.

Berita Terkait

Berita Terbaru