HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Lisa Mariana Belum Nyerah, Siapkan Jurus Baru Jerat RK

August 21, 2025 04:35
IMG-20250821-WA0004

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Banyak berpendapat, dengan keluarnya hasil test DNA, Lisa Mariana tak berkutik. Ridwan Kamil menang banyak. Ternyata, tidak. Lisa ngotot siapkan sequel atau jurus baru agar Kang Emil mengakui CA sebagai anak biologisnya. Siapkan lagi kopi tanpa gulanya, wak!

Lisa Mariana belum menyerah. Ia berdiri di tengah panggung sejarah Indonesia, menggenggam mikrofon virtual bernama Instagram, lalu berteriak dengan suara yang lebih nyaring dari halilintar di siang bolong. “Alah bongkar tuntas lah!” dan seluruh netizen pun tercengang, antara mau ketawa atau mau beli bakso pentul.

Tes DNA sudah keluar, hasilnya jelas, Ridwan Kamil bukan ayah biologis CA. Tapi Lisa, dia tidak sekadar manusia biasa, menolak tunduk pada satu hasil laboratorium. Dalam dunia Lisa, kebenaran itu mirip Wi-Fi. Kadang nyambung, kadang lemot, dan kalau kurang puas ya pindah provider. Maka lahirlah gagasan agung, second opinion!

Wahai penikmat kopi, jangan salah paham. Second opinion di sini bukan sekadar periksa lagi ke dokter lain. Tidak. Ini levelnya epik, seperti Socrates ngotot cari jawaban meski semua orang bilang sudah jelas. Lisa percaya, mungkin saja DNA itu salah cetak, salah kirim, atau bahkan salah ketik, kayak SIM C yang sering nyasar jadi SIM D.

Ridwan Kamil? Tenang saja, beliau sudah pasang tim hukum dengan harga Rp105 miliar, angka yang bikin mahasiswa UMR langsung merinding membayangkan cicilan KPR. Sementara Lisa? Dia justru berdiri tegak, bak pahlawan Marvel yang ditolak audisi, dengan senjata andalan, status sindiran dan keyakinan bahwa kebenaran sejati tidak bisa diputuskan hanya oleh tabung reaksi.

Publik pun terbelah. Ada mendukung Kang Emil dengan tagar #KebenaranTerungkap. Ada mendukung Lisa dengan teori konspirasi ala Iran vs Israel. Katanya ada manipulasi, katanya ada suap, katanya ada bayangan kasus Sambo. Ya ampun, seolah tes DNA ini digarap sutradara Netflix dengan genre true crime meets sinetron Indosiar.

Lalu kita masuk ke bagian paling absurd. Lisa mencari second opinion. Pertanyaannya, second opinion di mana? Apakah di laboratorium alternatif, di dukun beranak, atau di pos hansip? Bayangkan bila hasilnya nanti keluar, “Menurut kami, anak ini tidak punya ayah biologis, melainkan hasil campuran antara algoritma TikTok dan debu kosmik.” Wah, bisa-bisa trending lagi seminggu penuh.

Tetapi justru di sinilah filsafat kebenaran itu lahir. Lisa mengajarkan pada kita bahwa kebenaran itu relatif. Bahkan, lebih relatif dari jam karet orang Indonesia. DNA boleh bilang A, polisi boleh bilang B, netizen boleh bikin meme Z. Tapi Lisa tetap mencari C, certainty alias kepastian versi dirinya sendiri. Bukankah itu esensi hidup? Kita semua, dengan caranya masing-masing, selalu mencari second opinion atas kenyataan yang pahit.

Kalau dipikir-pikir, mungkin Lisa ini bukan sekadar tokoh kasus. Dia adalah simbol. Simbol dari rakyat yang tidak percaya begitu saja pada institusi, simbol dari jiwa-jiwa yang selalu curiga, simbol dari netizen yang lebih percaya pada ulasan Bangros dari jurnal ilmiah. Kalau benar begitu, maka kisah Lisa ini bukan sekadar soal siapa ayah biologis si anak, tapi soal siapa sebenarnya ayah biologis kebenaran.

Apakah Lisa akan menemukan second opinion? Apakah hasilnya akan sama, berbeda, atau justru membuka pintu dimensi lain? Kita tidak tahu. Tapi yang jelas, satu hal pasti, selama Lisa masih punya kuota, selama netizen masih punya jempol, dan selama filsafat kebenaran masih bisa dijual di warung kopi, maka opera DNA ini akan terus berlanjut.

Lalu, kita? Kita akan tetap menonton, tertawa, nyinyir, lalu bertanya dalam hati, sebenarnya, kebenaran itu ada di laboratorium… atau di perasaan kita sendiri?

“Lalu, siapa sebenarnya ayah CA itu, Bang?”
“Bisa saja salah satu anggota di grup WA ente, wak.” Ups (*)

#camanewak