HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Literasi, dan Tantangan di Era Digital: Potret Gen-Z Lampung

September 11, 2025 12:51
IMG-20250911-WA0005

Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung

HATIPENA.COM – Diksi Gen-Z, sepertinya sudah tak asing lagi di telinga kita. Mereka adalah kelompok manusia yang lahir, tumbuh, dan berkembang di tengah derasnya arus digital. Berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi ini terbiasa mencari informasi melalui Google. Bahkan, sebagian dari mereka, Google dipersonifikasikan sebagai makhluk super dengan menyebutnya “Mbah Google”.

Ciri khas generasi yang lahir pada sekitar tahun 1997 sampai 2012 ini – ada juga yang bilang 1995–2010 – ada di jarinya: jempolnya begitu lincah menari di layar gadget. Mulai dari membuat PR matematika sampai mencari terjemahan “i love you” ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin mereka berpikir, “Buat apa nyari halaman 251 di buku tebal, kalau jawabannya bisa nongol di handphone dalam lima detik?”

Dengan gadget, semua lebih praktis, instan, tinggal salin tempel. Literasi pun jadi semudah membuat mie seduh, cuma bedanya gizinya nol besar. Termasuk juga untuk mendapatkan informasi alamat seseorang di google maps, dijamin tak seperti lagu Ayu Ting Ting yang alamat palsu.

Bahkan kini, mereka makin dimanjakan dengan kehadiran artificial intelligence atau kecerdasan buatan. Kemudahan ini diakui memang mempercepat akses informasi, namun di lain sisi, dapat menimbulkan gejala kemunduran kemampuan dalam literasi.

Masalahnya, kemampuan literasi mereka sering setipis pembungkus gorengan. Daya tahan mereka lemah. Lihat buku tebal sedikit sudah langsung mual, tapi giliran menulis pesan di whatsapp bisa betah berjam-jam. Baru lihat kutipan motivasi langsung bikin status, “Ternyata asik juga jadi kutu buku.” Padahal baru baca lima alinea.

Fenomena salin tempel atau copy paste pun kini kian lazim, yang membuat keterampilan menulis mereka melemah. Menulis tidak lagi menjadi sebuah proses untuk berpikir dan mengolah ide atau gagasan, tetapi sekadar menyalin yang sudah tersedia. Akibatnya, banyak pelajar yang kehilangan kesempatan untuk berlatih menata kalimat, merangkai argumen, dan mengasah kreativitas bahasa, apa lagi mempertajam nalar.

Padahal, kalau mau sedikit serius, ruang baca di perpustakaan bisa jadi tempat paling hits. Tinggal ditambah colokan listrik, ada hotspot gratis, AC ruangan sejuk – dijamin Gen-Z betah. Minimal mereka pura-pura baca buku sambil ngecas handphone.

Potret Literasi di Lampung
Berdasarkan data BPS, hasil Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) pada 2024 di Lampung menunjukkan kondisi yang beragam. Dari 15 kabupaten/kota, Kabupaten Lampung Timur berada di posisi yang sangat menyedihkan dengan skor 45,11. Namun kondisi ini dapat terhibur oleh Kota Metro yang menempati posisi tertinggi dengan skor 94,41. Angka ini sekaligus menjadikannya teladan dalam pengembangan literasi.

Tapi jika dihitung dengan penduduk Lampung yang jumlahnya sekitar 9,3 juta jiwa dan civitas sekolah yang mencapai 1,8 juta lembaga, maka seharusnya provinsi ini memiliki potensi besar untuk dapat mengembangkan budaya literasi. Namun faktanya, Tingkat Kegemaran Membaca (TKM) di kalangan siswa masih rendah, hanya mendapat skor 67,67. Sebuah angka yang nyaris berada di zona merah.

Lalu apa kegiatan harian mereka? Ternyata para pelajar ini lebih sering membawa handphone buat push rank Mobile Legend ketimbang menjinjing buku ke perpustakaan. Sangat jarang kita lihat ada anak Gen-Z jalan sambil ngepit buku di ketiak – yang ada malah ngepit powerbank biar tidak kehabisan baterai.

Perubahan pola bermain pun nampak nyata. Jika dulu anak-anak berisik dengan mulutnya yang saling bertengkar sesama mereka, namun kini mereka lebih sering duduk, diam di pojok ruangan dengan wajah bersinar oleh layar handphone. Bahkan, kerap sekali kita melihat anak-anak itu tertawa sendiri di depan gadget, seolah-olah dunia nyata tak ada daya tarik sama sekali.

Tak dapat dipungkiri, teknologi jelas membawa manfaat. Tetapi jika tidak diimbangi dengan kecakapan literasi, maka sama halnya dengan menciptakan ketergantungan terhadap benda yang bernama gawai. Gen-Z tumbuh dalam lingkungan yang sungguh berbeda dengan generasi pendahulunya. Mereka ingin serba cepat, praktis, instan, namun rentan dan dangkal dalam hal kemampuan literasi.

Menatap ke Depan
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Para pemangku kebijakan dituntut agar memiliki strategi yang lebih serius. Literasi tidak bisa sekadar dimaknai sebagai keterampilan membaca, tetapi juga kemampuan memahami, mengkritisi, dan menulis. Orang tua, guru, dan pemerintah harus bersinergi menciptakan suasana atau membangun ekosistem literasi yang menarik bagi generasi digital.

Perpustakaan pun perlu berbenah menyambut generasi yang jauh dari “kutu buku” ini. Perpustakaan jangan dijadikan sebagai tempat pajangan apa lagi sebagai gudang buku. Sudah saatnya bertransformasi agar minat baca dapat meningkat. Ruang baca perlu dipoles sedemikian rupa dengan meubelair yang lebih nyaman, agar Gen-Z betah membaca buku di ruang kreatif yang interaktif.

Perpustakaan modern tidak boleh lagi gelap seperti gudang horor. Rak-raknya berdebu, isinya buku kumal, pengunjung masuk cuma buat ketemu mantan. Perpustakaan kekinian harus ada ruang diskusi, ruang nonton film edukasi, sampai ruang ngopi. Mereka pasti akan mikir, “Eh…ternyata baca buku bisa sekeren nongkrong di kafe.”

Kalau dikelola dengan baik, perpustakaan bisa menjadi markas intelektual muda. Tetapi kalau tidak, ya cuma jadi pusara skripsi mahasiswa abadi. Isinya pun seperti karya tulis para pegawai untuk syarat kenaikan pangkat, yang akhirnya jadi fosil akademis.

Selain itu, keberadaan komunitas literasi dapat membantu mencari jalan keluar agar para Gen-Z menjadi generasi yang literat. Komunitas ini, biasanya lahir dari inisiatif masyarakat (buttom up), bukan dari atas (top down). Mereka ini sifatnya organik, dekat dengan masyarakat, dan lebih mudah diterima.

Beberapa event yang bersifat kompetisi maupun workshop kerap dilakukan oleh komunitas literasi, seperti Satupena, Penyala Literasi, Lamban Sastra, dan lain-lain. Dengan begitu, komunitas ini dapat menghidupkan budaya baca dari akar rumput.

Komunitas literasi juga bisa menjadi wahana belajar di luar sekolah bagi anak-anak – termasuk para Gen-Z – dan belajar dengan cara yang lebih santai. Misalnya, bedah buku di warung kopi, kelas menulis di masjid, atau belajar dongeng di pojok baca.

Keberadaan komunitas literasi sebenarnya juga dapat mengurangi gap antarwilayah. Hal ini ekses dari kesenjangan pembangunan – termasuk perpustakaan formal – yang sering terkonsentrasi di kota. Dalam situasi seperti ini, komunitas literasi bisa bergerak sampai ke pelosok kampung. Mereka menjembatani desa-desa yang jauh dari akses bacaan.

Karena basis komunitas literasi ini adalah gotong-royong, justru ini dapat meringankan beban pemerintah dalam meningkatkan IPLM. Mereka bisa beroperasi dengan swadaya, donasi buku hasil karya anggota komunitas, atau kerja sama dengan civitas sekolah dan perpustakaan daerah. Dengan begitu, para Gen-Z tidak cuma konsumtif – baca lalu lupa – tetapi juga produktif karena mereka bisa menulis, berkarya, dan membangun wacana.

Anak-anak Gen-Z sebenarnya cukup kreatif, tetapi perlu diarahkan. Kalau tidak, maka kreativitasnya tumpah di TikTok tujuh detik, yang isinya cuma joget-joget. Tetapi kalau diarahkan, boleh jadi mereka bisa menulis puisi, cerpen. Siapa tahu nanti lahir Pramoedya generasi Z, minimal versi reels.

Jadi, pada dasarnya para Gen-Z bukanlah generasi yang anti-literasi. Mereka hanya membutuhkan pendekatan baru agar literasi tidak kalah menariknya dari layar gawai. Karena pada akhirnya, masa depan Lampung dan tentu saja Indonesia, sangat bergantung pada seberapa kuat generasi mudanya mampu membaca dunia, menulis pokok pikiran, dan berpikir kritis. (*)