Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah
HATIPENA.COM – Dalam percakapan tentang kemajuan bangsa, sering kali kita terjebak membahas sistem pendidikan formal, tanpa menyadari bahwa pilar pertama kecerdasan generasi sesungguhnya dibangun di dalam keluarga.
Literasi keluarga, sebagai bentuk kesadaran kolektif untuk membudayakan membaca, menulis, berdialog, dan berpikir kritis di rumah, menjadi fondasi kecil yang menentukan arah perubahan besar dalam masyarakat.
Di tengah era digital yang serba cepat, literasi keluarga tidak lagi sebatas mengajarkan anak-anak membaca buku, melainkan juga membekali mereka dengan kemampuan memilah informasi, memahami konteks, hingga mencipta gagasan.
Literasi keluarga mengajarkan anak-anak bahwa ilmu pengetahuan bukan sekadar data yang dikumpulkan, tetapi kunci untuk memahami hidup dan memperbaiki dunia.
Ironisnya, banyak keluarga modern yang terlalu sibuk mengejar standar hidup material, namun melupakan kualitas pembiasaan intelektual di rumah.
Anak-anak tumbuh dalam suasana sunyi dari diskusi, kering dari bacaan bermutu, dan miskin dari inspirasi berpikir.
Ketika keluarga kehilangan peran literasinya, maka sekolah pun menghadapi tantangan lebih berat untuk membentuk karakter generasi yang literat.
Membangun budaya literasi keluarga tidak membutuhkan biaya mahal, melainkan membutuhkan ketekunan dan keteladanan.
Orang tua yang secara konsisten membaca di hadapan anak-anaknya, berdiskusi tentang ide-ide baru, dan menghargai pencarian ilmu, sejatinya sedang menanam benih perubahan tanpa disadari.
Rumah yang dipenuhi percakapan bermakna, pertanyaan kritis, dan kegembiraan mencari tahu, akan melahirkan pribadi-pribadi tangguh yang kelak memimpin zaman.
Literasi keluarga juga melatih keterampilan emosional yang sangat berharga, seperti empati, kolaborasi, dan kemampuan mendengarkan.
Membaca cerita bersama, berdialog tentang perasaan tokoh dalam buku, atau mendiskusikan berita aktual, memperkaya kecerdasan emosional anak.
Dalam jangka panjang, inilah yang membedakan individu berkarakter kuat dari sekadar manusia cerdas.
Namun, literasi keluarga tidak bisa berjalan dengan sendirinya.
Ia perlu didukung kebijakan publik yang ramah keluarga, seperti kemudahan akses terhadap buku, ruang baca publik yang inklusif, serta kampanye literasi yang menginspirasi dan membumi.
Pemerintah, komunitas, dan dunia usaha harus bergandengan tangan mendorong lahirnya rumah-rumah yang tidak hanya nyaman secara fisik, tetapi juga subur secara intelektual.
Menghidupkan literasi keluarga di tengah tantangan gawai dan media sosial memang bukan perkara mudah.
Tapi justru di sanalah keistimewaannya.
Keluarga yang berhasil membangun budaya literasi di era digital, akan menghasilkan generasi yang tidak mudah ditipu, tidak gampang terprovokasi, dan mampu menjadi agen perubahan positif di komunitasnya.
Dalam praktiknya, literasi keluarga bisa diwujudkan dengan langkah sederhana namun konsisten.
Misalnya membaca bersama minimal 15 menit sehari, membuat jadwal diskusi keluarga tentang tema menarik, mengunjungi perpustakaan, atau menulis jurnal keluarga.
Langkah-langkah kecil ini, jika dirawat dengan kesabaran, akan menjadi warisan abadi bagi generasi mendatang.
Bagi bangsa yang bermimpi menjadi bangsa besar, literasi keluarga bukan pilihan, melainkan keharusan.
Karena keluarga adalah madrasah pertama, dan literasi adalah kurikulumnya.
Di tangan keluarga-keluarga literatlah masa depan bangsa ini ditulis—dengan tinta pemikiran yang jernih, pena karakter yang kokoh, dan kertas semangat yang tidak mudah robek oleh badai zaman.
Membangun literasi keluarga berarti menanam harapan.
Harapan bahwa setiap anak akan tumbuh menjadi manusia merdeka dalam berpikir, bijaksana dalam bertindak, dan bijak dalam mengolah tantangan menjadi peluang.
Ini adalah investasi sunyi, yang buahnya mungkin baru tampak setelah bertahun-tahun, namun dampaknya mampu melampaui zaman dan melintasi generasi.
Maka, mari kita mulai dari rumah kita sendiri.
Mari kita isi hari-hari dengan percakapan yang memantik akal, bacaan yang menumbuhkan imajinasi, dan tulisan yang melatih kepekaan hati.
Karena perubahan besar tidak lahir dari kebijakan megah atau slogan keras, melainkan dari langkah-langkah kecil yang konsisten, dari ruang-ruang keluarga yang sederhana namun penuh cinta terhadap ilmu. (*)
Rumah Kayu Cepu, 29 April 2025