Oleh Tjut Zakiyah Anshari
~Hidup adalah perjalanan, dan sejarah adalah peta yang menuntun setiap langkah nafas kita ~
HATIPENA.COM – Sejak awal terbentuknya kekhalifahan di Al-Andalus, abad ke-8 (750–929 M), Abdur Rahman I mendirikan Emirat Cordoba, yang merupakan salah satu kota besar di Andalusia, menyimpan jejak kejayaan peradaban Islam melalui ilmu pengetahuan, seni dan budaya. Dinamika, perlahan tapi pasti telah menarik minat banyak para ilmuwan, budayawan, dan pujangga manca untuk menjadi bagian darinya.
Pada masa itu telah mulai dilakukan pengumpulan manuskrip dan koleksi naskah di lingkungan istana, meskipun belum ada perpustakaan khusus untuk mengelolanya. Namun, kebijakan Abdur Rahman I ini telah meletakkan fondasi intelektual dan budaya yang dilanjutkan oleh para khalifah setelahnya.
Baru setelah masa pemerintahan Abdurrahman III (929 M), dimulailah era baru yang penuh semangat keilmuan dan seni. Pengembangan koleksi manuskrip menjadi salah satu prioritas istana. Khalifah menyiapkan pembangunan perpustakaan yang lebih besar.
Di tengah gemerlapnya peradaban Cordoba pada abad ke-10 M inilah, hidup seorang gadis cerdas bernama Lubna. Sejak kecil, Lubna menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan keindahan kata. Kota Cordoba, dengan istana megah dan perpustakaan besar, menjadi latar dari perjalanan hidupnya yang menginspirasi.
Meskipun ia seorang mawla (budak atau keluarga budak yang dibebaskan, namun sebenarnya tidak ada catatan sejarah yang bisa memastikan kebenarannya selain, melakukan interpretasi terbatas).
Lubna tumbuh di lingkungan yang kaya akan kebudayaan dan tradisi ilmu. Para cendekiawan serta pujangga sering berkumpul di sana untuk berbagi pengetahuan. Dalam suasana seperti inilah, semangat belajar Lubna tumbuh dengan subur.
Pendidikan Lubna dimulai sejak dini, dengan para guru yang mengajarkan bahasa, sastra, dan ilmu hitung. Ia mempelajari matematika dengan penuh semangat, seolah setiap angka memiliki teka-teki tersendiri. Di sela-sela belajar, Lubna juga suka merangkai puisi yang memikat hati banyak orang.
Seiring waktu, kecerdasan Lubna dalam matematika kian menonjol. Ia mudah memahami konsep-konsep rumit dan sering membantu orang-orang di sekitarnya untuk ikut memahaminya. Bakatnya ini membuatnya dikenal sebagai gadis muda yang berbakat di Cordoba.
Selain piawai dalam angka, Lubna juga gemar menulis puisi. Melalui bait-bait indahnya, ia mengekspresikan kekaguman pada alam, persahabatan, dan hal-hal baik yang ia temui setiap hari. Kemampuan ganda, memahami ilmu pasti dan mengolah kata, membuat banyak orang kagum padanya.
Kehebatan Lubna akhirnya terdengar hingga ke kalangan istana. Para cendekiawan dan pejabat tinggi pun mulai mengenal nama Lubna, dan memuji ketekunan serta bakatnya. Cordoba saat itu memang terkenal sebagai pusat pembelajaran, sehingga kabar tentang gadis cerdas cepat tersebar.
Khalifah Al-Hakam II, yang memerintah Cordoba dalam kurun 961–976 M, dikenal sebagai pencinta dan pelindung utama ilmu pengetahuan. Ia membangun sebuah perpustakaan kerajaan yang sangat besar untuk menampung berbagai manuskrip dari seluruh penjuru dunia. Di sinilah peran Lubna mulai makin penting.
Lubna dipercaya menjadi salah satu pengelola perpustakaan di istana. Tugasnya meliputi mencatat, menyalin, dan mengatur ribuan manuskrip agar mudah ditemukan. Meskipun catatan sejarah tidak selalu menuliskan gelar resmi Lubna, perannya sebagai pustakawan dan sekretaris sangat diakui.
Setiap hari, Lubna dengan tekun mengurus koleksi naskah yang berisi beragam ilmu: matematika, astronomi, kedokteran, hingga puisi dan sastra. Ia juga membantu cendekiawan lain yang ingin meneliti atau mencari referensi tertentu. Suasana perpustakaan menjadi hidup berkat semangat dan keramahannya.
Dalam beberapa kisah, diceritakan bahwa Lubna sering menemukan naskah-naskah langka yang membahas ilmu pengetahuan baru. Meskipun detailnya tidak selalu tercatat secara jelas, hal ini menunjukkan betapa giatnya ia menggali wawasan dan membagikannya kepada orang lain. Baginya, setiap lembar manuskrip adalah jendela menuju dunia yang luas.
Cinta Lubna terhadap ilmu tidak terbatas pada matematika dan puisi saja. Ia memandang semua cabang ilmu sebagai bagian dari satu kesatuan besar yang saling melengkapi. Melalui perpustakaan, ia ingin mengajak siapa saja untuk bersahabat dengan pengetahuan.
Sang Khalifah sangat menghargai dedikasi dan kemampuan Lubna. Ada catatan yang menyebut bahwa Lubna kerap membantu mengatur surat-menyurat dan dokumen penting kerajaan. Meskipun tidak pasti seberapa jauh ia dilibatkan dalam keputusan politik, kehadirannya di istana menegaskan betapa istimewanya ia di mata para pemimpin Cordoba.
Selain mengelola perpustakaan, Lubna juga kerap berdiskusi dengan para cendekiawan dari berbagai wilayah. Cordoba memang menjadi tempat bertemunya ide-ide besar dari dunia Islam, Eropa, hingga Afrika Utara. Lubna, dengan sikap ramahnya, menyambut setiap pemikir yang datang untuk bertukar pandangan.
Kisah tentang semangat belajar Lubna menular kepada banyak orang, terutama generasi muda. Ia menjadi teladan bahwa perempuan pun bisa berperan aktif dalam dunia ilmu pengetahuan. Lewat bakat dan ketekunannya, Lubna membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk terus maju.
Warisan Lubna dari Cordoba hidup hingga kini sebagai simbol kecerdasan, ketekunan, dan kerendahan hati. Meskipun sudah berabad-abad berlalu, kisahnya terus diceritakan untuk menginspirasi siapa saja yang mencintai ilmu. Melalui perjalanan hidupnya, kita belajar bahwa semangat belajar dan keingintahuan akan selalu menerangi jalan menuju masa depan yang lebih cerah.
Sampai di sini kisah Lubna dari Cordoba, dan selamat berjumpa dengan Lubna-Lubna masa kini yang pasti ada di sekitar kita. Mungkin di taman baca masyarakat, perpustakaan desa, perpustakaan sekolah, perpustakaan yang ada di kota kita masing-masing. Mereka adalah para pelindung pengetahuan. (*)
Sumber : Diracik dari berbagai sumber elektronik. Versi audiovisual bisa diakses di YouTube, kanal Bunky Story Land.