Oleh: Sunano
Direktur AKMI (Advokasi Konsumsi Muslim Indonesia) KB PII, Penulis Buku Lucunya Prabowo
HATIPENA.COM – Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo selalu mengampanyekan swasembada pangan, salah satunya dengan mewujudkan lumbung pangan nasional. Prabowo dalam sambutannya pada acara Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Buku Alokasi Transfer ke Daerah secara Digital serta Peluncuran Katalog Elektronik versi 6.0 di Istana Negara Jakarta pada Selasa siang, 10 Desember 2024 menjelaskan bahwa idak ada negara yang aman kalau negara tersebut tidak bisa menjamin makan untuk seluruh rakyatnya.
Lumbung pangan, memiliki sejarah yang berakar jauh dalam tradisi masayarakat Indonesia yang berbasis pertanian. Setiap kampung memiliki lumbung pangan sebagai bagian dari ketahanan pangan. Setiap kampung tua yang masih memiliki akar sejarah kuat seperti di Badui Banten, Bayan Lombok Utara NTB, atau di kampung-kampung NTT, masih ada bangunan lumbung pangan milik kelompok dan milik keluarga.
Sebenarnya, setiap kampung di Indonesia memiliki tradisi lumbung pangan. Ketika belum ada kepemilikan pribadi, hasil panen disimpan di lumbung sebagai jaminan untuk mencukupi kebutuhan anggota kelompok. Hasil panen milik keluarga disimpan di lumbung pangan. Hasil panen milik desa juga disimpan di lumbung pangan desa. Ketika petani menggarap sawah, kemarau, gagal panen, mongso paceklik, bahan pokok makanan dibagi kepada anggota kelompok untuk makan sehari-hari. Tradisi lumbung pangan hilang ketika Belanda menguasai Indonesia dan menghancurkan tradisi lumbung pangan. Setiap desa jajahan, harus menyerahkan, menjual hasil panen kepada Belanda.
Hal menarik ketika masa krisis dunia tahun 1930an, Margono Djojohadikoesoemo mendorong lumbung desa untuk membantu menyelesaikan masalah kemiskinan. Sebelumnya Margono merupakan pegawai tinggi Algemene Volkscrediet Bank (AVB) untuk penyediaan kredit bagi masyarakat. Jaringan AVB sampai lembaga bank desa dan lumbung desa, membawa manfaat yang sangat bagus berkenaan kebijaksanaan “pembebasan hutang” bagi petani.
Pembebasan hutang ini karena kredit Bank Desa masih bersifat kredit statis, untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, tujuan konsumtif. Bukan kredit dinamis untuk modal usaha, dan memperbaiki kondisi industri kecil, UMKM dan pelaku usaha. Kredit statis ini sekarang mirip pinjol yang memberikan altenatif pinjaman kepada masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga banyak yang terlilit utang sampai ada yang bunuh diri.
Lumbung desa, yang menampung hasil panen desa, dalam buku Soemitro Djojohadikusumo, Kredit Rakyat Di Masa Depresi, merupakan badan pemerintah (publiekrechtelijke lichamen) bersama dengan bank desa. Lembaga ini merupakan lembaga kredit yang mandiri terpisah dari pemerintahan desa. Lumbung desa dan bank desa dibina oleh Centrale Kas, di mana Margono Djojohadikusumo sering melakukan kunjungan ke desa-desa bersama Soemitro.
Meskipun pejabat tinggi AVB, Margono masih berkeliling dari desa ke desa lain mengecek langsung efektivitas kerja bank desa dan lumbung desa untuk mengatasi kondisi kemiskinan masyarakat. Hasil disertasi Soemitro yang dibukukan LP3ES, menjelaskan bahwa keberhasilan lumbung desa lebih tinggi dibandingkan dengan bank desa dari tingkat kredit macet.
Sumber lumbung desa dari hasil panen padi di desa itu. Dikumpulkan untuk menjadi kas lumbung desa. Biasanya peminjaman lumbung dilakukan setahun dua kali. Selain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, pinjaman lumbung digunakan untuk bibit tanam selanjutnya. Data lumbung padi yang ditulis Soemitro cukup luar biasa, jumlah padi yang dipinjamkan lumbung desa mulai 1929 sampai 1937 rata-rata 1.060.000 kuintal (106.000 ton).
Lumbung desa sebagai kredit in natura, dan pengembalian saat musim panen padi, bagi petani jauh lebih ringan, dibandingkan kredit bank desa. Kendala utama hanya ketika gagal panen. Bagi petani yang meminjam padi, meski gagal panen, dapat melunasi dengan membeli padi sejumlah pinjaman dan bunganya.
Data yang ditulis Soemitro mengenai lumbung desa, menunjukkan kestabilan luar biasa menghadapi krisis pada tahun-tahun depresi mulai 1930 sampai 1937. Jumlah lumbung padi pada tahun 1929 mencapai 5.874 unit. Rata-rata lumbung mampu meminjamkan 190 kuintal. Pada tahun 1936 lebih dari 100.000 penduduk dibantu oleh lumbung.
Desa-desa petani mampu menghasilkan padi sangat banyak. Pada saat musim panen, ditampung dalam lumbung desa dapat efektif mendukung swasembada pangan. Modal desa dapat diperoleh dari dana desa dengan membeli hasil panen yang sesuai dengan ketentuan pemerintah yang menguntungkan petani. Atau petani dapat menaruh hasil panen sebagai kas lumbung desa. Setiap desa dengan adanya lumbung desa dapat mencapai swasembada pangan desa, dan mendorong tercapainya program swasembada nasional.
Lumbung Pangan Masyarakat
Data yang dilansir oleh Kementerian Pertanian, tahun 2023 di Indonesia telah memiliki 4.868 lumbung pangan masyarakat atau LPM. Jumlah ini sangat jauh berkurang dibandingkan dengan tahun 1937 yang mencapai 5.585 lumbung desa. Selain berfungsi untuk menjaga cadangan pangan masyarakat, bank benih, sejumlah LPM juga mengembangkan bisnis jual beli dan simpan pinjam gabah atau beras.
Di desa saya, Kalibeji, Kecamatan Sempor, Kebumen, Jawa Tengah, masih terdapat lumbung desa dengan praktik yang sama. setiap tahun, dibuka kredit lumbung pangan sebanyak dua kali. Semua pinjaman dilayani sesuai kemampuan peminjam dan dikembalikan saat musim panen tiba. Bunga yang ditentukan sebesar 15% peminjaman. Misalnya pinjam 1 kuintal, mengembalikan 1,15 kuintal.
Provinsi yang memiliki sejarah pertanian tua dan lama, memiliki LPM yang banyak. Tertinggi adalah Jawa Tengah memiliki 628 LPM, Jawa Timur 616 LPM, Jawa Barat 354 LPM, Lampung 304 LPM, Sumatera Selatan 266 LPM, dan Nusa Tenggara Barat 223 LPM, Nusa Tenggara Timur 225 LPM, Sumatera Barat 162 LPM, dan Sumatera Utara 147 LPM.
Secara bertahap, lumbung desa dapat membeli gabah petani dengan harga yang stabil dan lebih layak sehingga mampu menyejahterakan petani. Sangat miris, setiap musim panen selalu mendengar anjloknya harga gabah dari ketentuan pemerintah tahun 2023 gabah kering petani 5.624 rupiah per kilogram, faktanya dibeli dengan harga 4.700 sampai 4.800 rupiah per kilogram. Hal ini menyebabkan keuntungan petani hanya 500 rupiah per kilogram. Seandainya desa petani semuanya memiliki lumbung desa, akan mampu mendorong swasembada pangan secara organik. Stimulus dari bawah mampu mendorong peningkatan hasil pertanian.
Oftaker harga gabah yang dilakukan oleh petani sendiri dapat menjamin kesejahteraan petani. Pemda bersama penyuluh pertanian dapat menjadi fasilitator menggunakan dana alokasi khusus, sehingga mampu mempercepat pembentukan lumbung di tiap desa.
Kita menyambut gagasan Prabowo untuk kembali menghidupkan lagi lumbung desa untuk mendukung swasembada pangan. Hasil kajian Soemitro Djojohadikusumo dalam disertasinya, dan perjalanan sejarah, membuktikan lumbung desa mampu menjaga ketahanan pangan desa. (*)
Sumber:
Soemitro Djojohadikusumo, 1989, Kredit Rakyat Di Mas Depresi, (Jakarta: LP3ES)