Ilustrasi/Penulis : Dwi Sutarjantono *)
HATIPENA.COM – Sebelumnya maaf, ini bukan ceramah. Apalagi khotbah. Saya hanya ingin berbagi hasil perenungan.
Buat saudaraku Muslim, bulan suci telah tiba. Buat sahabat non-Muslim, usia kita masih ada untuk saling memaafkan diri.
Ramadan ibarat sungai jernih, mengalir membasuh jiwa dari debu-debu dosa. Bulan ini rasanya seperti undangan bagi siapa saja yang ingin kembali kepada kesucian hati, membentangkan tikar tobat, dan menghapus noda serta dosa yang telah lama mengakar.
Banyak dosa besar yang sering kita ingat, seperti membunuh, atau durhaka pada orangtua. Namun, ada satu kesalahan yang sering diremehkan, padahal ia termasuk dosa besar. Ia memang tidak meninggalkan luka berdarah seperti kejahatan fisik, tidak menggelegar seperti kutukan seorang ibu kepada anaknya yang durhaka, tetapi ia merayap perlahan, licin seperti bayangan, dan sering dilakukan tanpa beban yakni sumpah palsu.
Sumpah palsu adalah belati yang menusuk kejujuran. Ia merusak kepercayaan, mencemari keadilan, dan melukai nurani. Betapa sering manusia melakukannya tanpa berpikir panjang?
• Seorang pejabat mengangkat tangan saat dilantik, bersumpah atas nama Tuhan untuk setia kepada negara dan menegakkan keadilan. Namun, tak lama kemudian, ia menggelapkan anggaran, menerima suap, dan mengkhianati amanah rakyat.
• Suami atau istri yang bersumpah setia dalam pernikahan, tetapi diam-diam berselingkuh, bersembunyi di balik kata-kata manis yang menipu.
• Saksi di pengadilan yang bersumpah untuk berkata jujur, tetapi kenyataannya telah menjual kesaksiannya demi uang atau kepentingan tertentu.
• Pedagang yang bersumpah bahwa dagangannya asli dan berkualitas, padahal ia tahu bahwa yang dijualnya adalah barang tiruan.
• Karyawan yang bersumpah tidak menyalahgunakan fasilitas kantor, padahal ia secara diam-diam mengambil keuntungan pribadi dari perusahaannya.
Sumpah palsu bukan sekadar permainan kata. Ia adalah jembatan antara kebenaran dan kebohongan. Jika jembatan itu runtuh, yang melangkah di atasnya akan terperosok ke jurang kehancuran. Kepercayaan adalah fondasi utama dalam kehidupan sosial. Sekali seseorang terbukti berbohong, sulit bagi orang lain untuk kembali mempercayainya. Lebih dari itu, satu kebohongan sering kali melahirkan kebohongan lainnya, membangun labirin kepalsuan yang akhirnya menyesakkan. Itu baru satu. Apalagi jika berkali-kali dilakukan. Entah labirin seperti apa yang terbentuk.
Terlambatkah kita jika pernah melakukannya? Tidak. Saya selalu berkata pada diri saya sendiri. Selalu ada kesempatan untuk berubah. Setiap orang pernah berbuat salah, tetapi yang membedakan adalah kemauan untuk mengakui kesalahan dan memperbaiki diri. Jika seseorang pernah bersumpah palsu, saatnya bertanya kepada diri sendiri: Apakah aku ingin terus hidup dalam kebohongan, atau aku siap untuk memperbaiki diri?
Momen refleksi seperti ini adalah kesempatan untuk jujur pada diri sendiri. Jika kita ingin hidup yang lebih adil, hubungan yang lebih kuat, dan kehidupan yang lebih bermakna, maka langkah pertama adalah menghargai kebenaran dan menepati janji.
Sumpah bukan sekadar kata-kata. Ia adalah cermin integritas seseorang. Jika kita mengotori cermin itu dengan kebohongan, yang terpantul bukan lagi wajah kita yang sejati, melainkan bayangan yang perlahan kehilangan bentuk. Coba. Anda bercermin dengan jujur. Itukah wajah Anda sebenarnya?
Maka, sebelum mengucapkan sumpah berikutnya, sebaiknya tanyakan pada diri sendiri:
“Apakah aku benar-benar siap untuk menepatinya?”
Itulah sebabnya saya berpikir, Ramadan adalah momen refleksi bagi umat Islam. Sedangkan bagi siapa pun, bulan ini tetap bisa menjadi waktu yang tepat untuk membalik halaman kehidupan. Ia adalah bulan taubat, pintu maaf yang terbuka selebar langit. Bagi mereka yang pernah bersumpah palsu, apalagi para pejabat yang bertanggung jawab pada rakyat, inilah saatnya untuk mengakui kesalahan, meminta maaf, dan mengembalikan hak orang yang telah dirugikan. Karena tidak ada kebohongan yang benar-benar tersembunyi.
Saya paham, manusia memang gampang dibohongi, tetapi semesta tak pernah lalai melihat kebenaran.
Karenanya, melalui tulisan ini saya meminta maaf atas kesalahan saya, baik sengaja maupun tidak disengaja. Semoga kita menjadi lebih baik atas ampunan-Nya. Selamat menjalani bulan Ramadan.(*)
*) Penulis/Mind Programmer/ Sekretaris Satupena DKI Jakarta