Dwi Sutarjantono *)
HATIPENA.COM – Sedang ramai di jagat netizen, selebritas Deddy Corbuzier, menanggapi keluhan seorang siswa sekolah dasar tentang rasa ayam dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dalam videonya, Deddy meluapkan kekesalan dan bahkan menyebut ia akan “menabok” si anak yang berkomentar jika berani mengeluh tentang makanan gratis. Pernyataan ini memicu gelombang reaksi, salah satunya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menilai ucapan tersebut tidak bijaksana, terutama karena menyasar anak-anak.
Saya pun terdiam, terpaku pada kata itu: bijaksana. Kata yang bergema, menghidupkan bayangan di kepalaku bahwa kecerdasan tanpa kebijaksanaan tak ubahnya pedang tajam tanpa sarung—alih-alih melindungi, ia justru dapat melukai.
Pernahkah melihat burung terbang tanpa arah? Sayapnya kuat, gerakannya gesit, tetapi ia hanya berputar-putar di udara, tak pernah menemukan sarang tempat pulang. Begitulah nasib orang yang cerdas, tetapi kehilangan kebijaksanaan, terjebak dalam pusaran pemikiran, tanpa tanah pijakan yang damai.
Bagiku, kebijaksanaan adalah seni mendengarkan. Di tengah dunia yang berisik, saat setiap orang berlomba berbicara lebih lantang, menjadi bijaksana serupa paus yang berenang tenang di dasar samudra. Ia mendengar frekuensi yang tak tertangkap mereka yang hidup di permukaan.
Kebijaksanaan lahir dari keberanian untuk berhenti. Dalam hening, ia menyelami makna tersembunyi di balik kata-kata dan tidak terburu-buru menjatuhkan penghakiman.
Kita lupa, kata-kata itu berat. Terlebih bagi mereka yang berkuasa, siapa pun dia. Ucapan yang dilontarkan tanpa pertimbangan seringkali dianggap angin, padahal kata-kata tak ubahnya anak panah. Sekali dilepaskan, ia tak akan pernah kembali. Salah mendarat, ia melukai hati. Bukan hanya hati penyanyi Betharia Sonata (lagunya yang terkenal Hati Yang Luka) Dan, luka di hati tidak mudah sembuh hanya dengan ucapan maaf.
Sayangnya, di zaman ini, kata “maaf” telah kehilangan bobotnya. Ia diucapkan terlalu sering, terlalu ringan, sekadar ritual tanpa rasa. Orang percaya, selama mereka meminta maaf, semuanya akan baik-baik saja. Namun, maaf tanpa kesadaran dan perubahan hanya membuat hati menjadi kebas.
Kita hidup di zaman berbicara adalah kebiasaan, tetapi berpikir sebelum berbicara menjadi langka. Tak banyak yang menyadari bahwa setiap kata meninggalkan jejak di hati orang lain. Jejak yang mungkin tak terlihat, tetapi bertahan lama. Bijaksana adalah kesadaran untuk berbicara hanya ketika kata-kata kita lebih baik daripada diam.
Bayangkan cangkir teh yang kosong. Orang bijak tahu bahwa dirinya perlu dikosongkan untuk menerima yang baru. Sebaliknya, mereka yang hanya pintar seringkali membawa cangkir yang telah penuh begitu sibuk menunjukkan betapa banyak yang mereka tahu, hingga tak ada ruang untuk belajar.
Pohon yang kuat tak selalu bertahan di terjang angin kencang. Kadang, bambu yang lentur dan tahu kapan harus membungkuk justru lebih mampu melewati semuanya. Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk tahu kapan harus melawan dan kapan harus menyerah.
Orang bijak adalah mereka yang berjalan tenang, serupa lilin di malam gelap. Tak membakar segalanya seperti api unggun, tetapi cukup untuk menunjukkan jalan. Kebijaksanaan tak perlu gegap-gempita; kehadirannya diam, tetapi menghadirkan rasa aman.
Bijaksana juga berarti melihat dunia bukan sebagai medan perang yang harus ditaklukkan, melainkan taman yang perlu dirawat. Ia adalah pemahaman bahwa kekuatan sejati bukanlah memenangkan setiap perdebatan, melainkan menciptakan harmoni.
Kita harus mengembalikan makna pada kata “maaf”, membuatnya lebih dari sekadar kata. Kebijaksanaan bukanlah menyerah pada kesalahan, tetapi mengambil tanggung jawab penuh atas apa yang kita katakan dan lakukan. Hanya dengan itu, kata-kata kembali bermakna.
Tak apa langkah kita kecil, asalkan hati kita tetap terbuka. Karena kebijaksanaan bukan soal kesempurnaan, melainkan kemampuan belajar dari setiap momen: manis atau pahit. Bukankah dunia yang benar-benar kita rindukan bukanlah dunia penuh kecerdasan semata, tetapi dunia yang dipenuhi rasa, cinta, dan kehati-hatian dalam setiap kata?
Dan meskipun rasanya perjalanan menuju itu masih jauh, kita bisa sambil bergurau mengatakan, “Lebih baik bijaksana daripada bijaksini.”
*) Penulis/ Mind Programmer