Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Magnet Kampung Halaman; Kerinduan Tak Bertepi Orang Minang

February 12, 2025 09:29
IMG-20250212-WA0019

Ilustrasi : AI/ Elza Peldi Taher
Penulis : Elza Peldi Taher *)

HATIPENA.COM – Bagi orang Minang, kampung halaman bukan sekadar tanah dan rumah, melainkan nyawa yang selalu memanggil pulang. Sejauh apa pun kaki melangkah, seluas apa pun dunia yang dijelajahi, kampung halaman tetap seperti ibu yang menunggu di beranda dengan senyum penuh rindu. Merantau memang bagian dari darah Minang, tapi kembali adalah takdir yang tak bisa dielakkan. Seperti ikan rayo yang tetap pulang ke hulu meski telah hanyut jauh ke hilir.

Saya merantau sejak kelas empat sekolah dasar. Jika dihitung dari usia saya sekarang, yang telah menginjak kepala enam puluhan, saya hanya sebentar tinggal di kampung halaman. Selebihnya saya menetap di tanah rantau. Seharusnya tanah rantau itu menjadi kampung halaman karena telah lama saya bernaung di sana. Tapi cinta kampung halaman tak pernah pudar. Jika setahun tak pulang, ada rindu yang tak terbalaskan. Rindu pada tanah tempat saya pertama kali menapakkan kaki, rindu pada rumah yang menjadi samudra kasih sayang dari emak. Rindu pada lingkungan yang seperti kanvas penuh warna, dengan pohon dan sawah hijau yang membentang luas bak permadani surgawi. Rindu pada suara gemericik sungai kecil di belakang rumah, aroma tanah basah setelah hujan, dan suara jangkrik yang bernyanyi saat malam tiba. Kampung halaman adalah denyut nadi yang terus bergetar, meski tubuh berada di tempat lain.

Saya merindukan mandi di kali dengan air yang murni dari pegunungan, sejuk dan jernih bak cermin alam yang memantulkan langit biru. Sambil berendam, mata ini dimanjakan oleh hamparan sawah yang luas, hijau menghampar seperti permadani zamrud yang dirajut tangan Tuhan. Di kejauhan, burung-burung melayang bebas di angkasa, menari dalam simfoni alam yang menenangkan jiwa. Sungguh keindahan yang sulit ditukar dengan gemerlap kota. Kampung halaman adalah lukisan semesta yang tak tersentuh oleh waktu, tempat di mana alam dan manusia menyatu dalam harmoni sempurna.

Kampung halaman bukan sekadar tempat berteduh, tapi juga akar yang menghidupi jiwa-jiwa perantau. Tidak ada yang bisa menggantikan suasana senja di kampung, suara azan yang merdu di surau, dan hangatnya pelukan keluarga. Itu seperti embun pagi yang menyejukkan hati yang letih di perantauan. Yang menggetarkan di kampung halaman adalah suara azan yang merdu di surau. Suara itu menyejukkan hati yang letih. Suara azan di kampung halaman serasa berbeda. Ia adalah obat jiwa.

Saya teringat percakapan dengan seorang saudara di kampung saat pulang lebaran tahun lalu. “Di rantau, kita bisa makan enak, tinggal di rumah besar, tapi tetap saja ada yang kurang,” katanya sambil menyesap kopi hitam di beranda rumah gadang. “Apa itu?” tanya saya penasaran. “Keberkahan. Hidup di kampung itu berkah, bangun tidur dengar kokok ayam, makan ikan segar dari sungai, shalat dimasjid dengan sahabat masa kecil. Itu yang tak bisa didapat di rantau.” Saya hanya bisa tersenyum. Dalam hati, saya tahu ia benar.

Tokoh terkenal Minang, Buya Hamka, juga pernah berkata, “Hiduplah di perantauan seperti batang kayu yang hanyut, tetapi jangan lupa asalnya dari hutan mana ia tumbuh.” Baginya, kampung halaman adalah tanah subur yang selalu memberikan kehidupan dan identitas bagi setiap anak Minang. Demikian pula dengan Sutan Takdir Alisjahbana yang mengungkapkan bahwa kembali ke kampung adalah seperti kembali ke jati diri sendiri. Chairil Anwar, penyair besar berdarah Minang, meskipun dikenal sebagai penyair pemberontak, tetap menulis tentang akar dan identitasnya dalam puisi-puisinya. Taufik Ismail, seorang sastrawan Minang lainnya, juga kerap menyuarakan kerinduan pada kampung halamannya dalam bait-bait puisinya.

Magnet kampung halaman bagi orang Minang memang kuat. Seperti angin yang selalu berembus ke pantai, seperti burung yang kembali ke sarang, cinta pada kampung halaman bukan sekadar romantisme belaka, tapi tali pusaka yang mengikat setiap jiwa Minang. Pulang adalah napas kehidupan, dan kampung halaman adalah muara dari segala perjalanan panjang. Kampung halaman akan selalu di hati. Karena sejauh apa pun kaki melangkah, kampung halaman tetaplah rumah yang menunggu dengan pelukan yang tak pernah berubah.(*)

Pondok Cabe Udik 12 Februari 2025

*) Ketua Kreator Era Artificial Intelligence (KEAI) Indonesia