Dr. Wendy Melfa
Akademisi UBL, Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem )
HATIPENA.COM – Tertuang pada salah satu janji kampanye Prabowo – Gibran pada tahapan Pilpres 2024 yang lalu, Makan Bergizi Gritis (MBG) dimaksudkan sebagai cara untuk mengatasi problem stunting, meningkatkan gizi anak, serta memperkuat daya saing pendidikan.
Janji kampanye itupun menjadi program besar pemerintahan Prabowo – Gibran dengan anggaran 171 Triliun Rupiah untuk tahun 2025, dan direncanakan akan digandakan pada tahun 2026.
Namun sejak digulirkan pada Januari sampai akhir September 2025, program besar tersebut tercatat sebanyak 6.452 mengalami keracunan (Tempo.co, 26/9/25), bahkan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkan data terbaru sebanyak 8.649 siswa yang mengalami keracunan, dari keseluruhan data itu, 3.289 siswa terjadi pada dua pekan terakhir (detikhealth, 29/9/25) dari berbagai sekolah dan kota.
Keluhan yang diderita oleh siswa yang dirawat di rumah sakit berupa diare, gatal-gatal seluruh badan, mual-mual, bengkak wajah, gatal tenggorokan, sesak nafas, pusing, dan sakit kepala.
Membahana, Lalu Ada Keracunan
Menghadapi beragam keracunan tersebut, Pemerintah menetapkan kasus MBG sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), meskipun sebelumnya para “petugas” MBG nampak sinis menanggapi berbagai kasus keracunan dengan malah membangun narasi yang tidak bermutu, apalagi sampai mengambil langkah solusi.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana, yang menganggap wajar dengan membandingkan kasus keracunan 4.711 porsi dari 1 milyard porsi yang sudah disajikan (detiksumut, 24/9/25), ada lagi komentar Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan, yang mengomentari keracunan makanan MBG yang mengelak bukan disebabkan kesalahan, melainkan elargi atau ketidak biasaan, cenderung menyalahkan reaksi tubuh anak yang mengkonsumsi MBG.
Sambil berseloroh dulu saya mencret saat dikasih susu karena masih kecil (CNN Indonesia, 21/8/25), dan masih ada pernyataan sinis lainnya dengan membangun narasi mengelak mengevaluasi pelaksanaan MBG, dan bukan membangun solusi.
Kasus serupa juga pernah melanda China (2025), 230 anak keracunan akibat makanan yang dicampuri pigmen beracun untuk mempercantik tampilan, Pemerintah China mengatasinya dengan menekankan penegakan hukum dan audit ketat, meskipun masih terdapat masa salah transparansi dan India (2013).
Di Bihar tercatat sedikitnya 22 siswa meninggal dunia setelah menyantap makan siang gratis yang terkontaminasi pestisida fosfor pada minyak masak, untuk mengatasinya mereka menempuh jalur perbaikan regulasi dan partisipasi masyarakat pasca tragedi (Times of India; CNBC Indonesia, 29/9/25).
Pelembagaan Nilai-nilai
Sebagaimana kebutuhan operasional dari program besar, menjalankan MBG dibentuklah Badan Gizi Nasional (BGN) yaitu suatu lembaga khusus dibawah Presiden dengan berkoordinasi dibawah Menko Bidang Pangan sampai SPPG satuan yang bekerja melayani MBG tersebar pada daerah-daerah.
Munculnya sejumlah kasus keracunan meskipun di beberapa daerah, tetapi dapat menimbulkan efek resonansi secara Nasional bukan saja ini menjadi ekses pelaksanaan program dan anggaran besar pemerintah, tetapi juga yang menjadi korban keracunan adalah anak-anak didik usia sekolah, tetapi juga efek pemberitaannya secara luas dan cepat melalui media sosial, dan ini dapat menjadi masalah Nasional yang dapat menurunkan citra dan kontra produktifnya kinerja pemerintah itu sendiri.
Program MBG yang pelaksanaannya cenderung bersifat ‘dropping’ dan mengabaikan koherensi lembaga-lembaga terkait yang selama ini bersentuhan dengan kehidupan siswa sekolah seperti pihak sekolah itu sendiri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), institusi kesehatan lokal, dan berbagai stake holders lokal lainnya, semakin mengesankan tata kelola penyelenggaraan MBG perlu dievaluasi.
Tata kelola tidak berhenti hanya pada terbentuk serta pelibatan lembaga pelaksana program MBG, tetapi menjadi hal yang penting lainnya adalah pelembagaan visi dan tujuan diadakannya program MBG sebagaimana dimaksudkan sebagai cara untuk mengatasi problem stunting, meningkatkan gizi anak, serta memperkuat daya saing pendidikan menjadi suatu keharusan.
Melalui proses pelembagaan visi dan tujuan dalam tata kelola penyelenggaraan MBG, diharapkan dapat terkonstruksi secara jelas (1) landasan substansi, operasional, dan teknis sebagai pedoman kerja yang berbasis pada kebutuhan dikaitkan dengan kondisi siswa, sekolah, dan daerah yang membutuhkan program MBG, (2) ditentukan lembaga dan peralatan standar yang dibutuhkan guna penyelenggaraan MBG, (3) unsur budaya penerima manfaat MBG juga patut diperhatikan untuk menentukan menu, jenis, dan cara menyajikan MBG, disamping juga budaya para penyelenggara MBG tentunya.
Mempertimbangkan kemampuan keuangan yang harus disiapkan pada program MBG yang tidak sedikit ini, patut dipertimbangkan dengan memperhatikan kondisi dan tempat penerima manfaat MBG dimodifikasi dalam bentuk dan waktu tanpa mengurangi substansi dan tujuan dari program MBG, misalnya menu MBG ‘dipadatkan’ secara kualitas tetapi hanya diberikan secara berkala, tidak setiap harinya (menu dua hari dipadatkan cukup diberikan hanya 1 hari) secara berselang, atau menu MBG senilai tersebut dikonversikan pada bentuk lain tanpa mengurangi nilai dan asupan gizi bagi anak penerima manfaat.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengawasan dan prinsip transparansi dalam tata kelola pelaksanaan MBG untuk meminimalisir praktik curang dan tidak sejalan dengan visi serta tujuan diselenggarakannya MBG, dan bila ditemukan maka penegakan hukum sebagai sanksinya.
Pikiran dan harapan pada narasi pada tulisan ini disampaikan sebagai audit eksternal bentuk partisipasi publik akan berjalannya MBG, yang bisa bersamaan dengan audit internal penyelenggaraan MBG, demi perbaikan program, atau bahkan dihentikan saja program tersebut daripada meracuni pada siswa sekolah yang juga meresahkan para orang tuanya. (*)