Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Di era disrupsi, segala makna kadang jadi terbalik. Kata-kata jadi alat tukar, bukan untuk makna, tapi untuk ilusi.
Tindakan nyata dikira drama. Dan suara-suara kosong malah dikira kerja.
Seorang memungut sampah plastik dari tanah basah, tangannya kotor, peluhnya asin. Ia tak berbicara banyak, hanya bekerja, memungut, mengangkut, memanggul kantong-kantong plastik bau yang ditinggalkan orang-orang nyaman.
Tapi apa yang ia dapat? Pencitraan.
Ia dianggap tak tulus hanya karena terlihat. Seolah ketulusan hanya bisa dibungkus kabut dan diam.
Sementara di sisi lain dunia maya—yang nyaring dan penuh gema—seseorang mengaku senator, mengaku pengamat, merasa punya pengikut, berkoar mengamati yang bekerja, padahal jari-jarinya tak pernah menyentuh sampah. Ia tak pernah jalan, tak memungut, tak menyapu.
Apakah ini dunia yang kita bangun? Dunia di mana kerja dianggap akting, dan akting dianggap kerja? Siapa yang sesungguhnya meracuni benak masyarakat kita?
Kemarin, saya jogging di jalur tracking Subak Palak, Denpasar.
Udara sore masih segar, di sepanjang jalur itu, saya lihat puluhan anak muda sibuk memungut sampah.
Wajahnya tidak saya kenal, mereka bukan selebritas, bukan pejabat, bahkan mungkin tak punya banyak pengikut di media sosial.
Mereka sungguh bekerja—tanpa konferensi pers, tanpa kamera pencitraan. Tak terlihat jeprat-jepret. Apakah masih ada yang mencap pencitraan?
Saya tak berusaha bertanya, tampaknya mereka dari komunitas “Malu Dong” karena stiker pada mobil pengangkut sampah di tempat parkir bertuliskan Malu Dong. Sungguh mereka sudah berbuat baik.
Kalau mereka disebut pencitraan karena kebetulan terlihat baik, lalu bagaimana dengan mereka yang tak pernah bekerja, tapi disebut baik karena kebetulan aktif di media sosial?
Bukankah mencitrakan yang baik, jika memang dilakukan dengan tulus, bukanlah dosa? Kenapa kita begitu sinis pada kerja jujur dan begitu murah hati pada suara palsu?
Sungguh, ketika anak-anak muda itu memungut sampah di antara lalu lalang pejalan kaki yang mencari udara segar, saya malu.
Saya tak ikut serta, hanya bisa menyaksikan. Tapi saya bisa belajar. Saya tak membuang sampah sembarangan, tak menggunakan botol plastik sekali pakai, dan langsung bisa mengajarkan anak-anak hal yang sama. Tumbuhnya rasa malu itu, mungkin kecil, tapi bukan berarti sia-sia.
Sementara yang hanya bisa berkoar di ruang-ruang gema, mereka melakukan apa? Selain membuat kerongkongannya longgar dan pikirannya makin sempit?
Kini saya amati, gerakan membersihkan Bali dari sampah plastik bukan lagi wacana.
Ia telah menjelma jadi langkah-langkah kaki, tangan-tangan kotor, dan semangat yang tak bisa dibungkam.
Dari subak ke pantai, dari dusun ke kota, dari gengsi ke aksi. Semoga terus konsisten.
Biarkan saja yang hanya bisa berteriak, terus berteriak. Karena pada akhirnya, suara akan memudar, tapi kerja akan tinggal.
Sapu akan bicara lebih keras daripada pidato. Tangan kotor karena bekerja, jauh lebih suci daripada lidah yang bersih tapi berdusta. (*)
Denpasar, 9 Juni 2025