Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Mapelesiran, Mencari Jejak Cinta Ibu Bumi

April 24, 2025 08:10
IMG-20250424-WA0018

Catatan Manis Galungan; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Hari ini, Kamis Umanis Dungulan yang dikenal dengan manis Galungan, hari yang ditunggu-tunggu. Saya kecil menjadikan manis Galungan untuk mapelesiran. Kegembiraan yang amat sangat setelah natab jerimpen, langsung tamasya bersama teman-teman.

Kenangan itu tiba-tiba muncul bertepatan dengan hari Bumi, yang dirayakan setiap 22 April. Bersama teman-teman saya kecil, mapelesiran menyusuri indahnya cinta ibu Bumi, cinta yang tiada tara, ke gunung dan sore berakhir di pantai (laut).

Pada pertiwi, kami selalu diingatkan untuk selalu menunduk, menghaturkan sembah pada tempat kita berpijak: karena diam-diam Pertiwi menyusui sejak lahir, memberi makan, memberi air, memberi nafas dan tempat untuk pulang.

Tanah Bali dari jaman leluhur, telah dikenal sebagai surga. Tanah subur, air jernih, udara sejuk, tumbuh-tumbuhan yang lebat dan beraneka rupa. Itulah terpatri pada benak lugu masa kanak-kanak dulu.

Kita tanam sebutir jagung di tegal, tumbuh jadi pohon yang penuh tongkol. Kita tabur biji padi di sawah, dibalasnya dengan bulir-bulir emas.

Bumi tak pernah hitung-hitungan, tak pernah pilih kasih. Siapa pun yang menanam, akan menuai hasilnya. Asal dirawat. Asal disayang.

Tapi, sudikah kita bercermin dengan keindahan hari ini? Di Bali, yang katanya Pulau Dewata, jangan-jangan kita sudah mulai lupa bahwa tanah ini bukan hanya untuk diinjak, tapi juga untuk dihormati. Kemana harus mapelesiran hari ini?

Bapa akasa menaburkan cinta—hujan yang menyejukkan bumi, tapi airnya dibuang begitu saja ke selokan. Kita cor tanah dengan paving dan beton. Sungai kita sesak oleh plastik dan limbah. Air tanah kita kuras tanpa batas. Sawah disulap jadi vila, ladang jadi restoran, tegalan berubah jadi lapangan golf. Atas nama pariwisata, atas nama kemajuan,
kita cabik-cabik ibu sendiri.

Sudah ada “Gerakan Bali Bebas Sampah Plastik”. Tapi dibalas nyinyir. Dituduh mengganggu usaha, dituduh menghalangi bisnis. Padahal, siapa yang bisa hidup jika bumi sudah tak sudi lagi memberi?

Kemana jejak kaki basah era kanak-kanak dulu?

Kenapa kita tak kembali pada kearifan? Kenapa tak kita tebarkan lagi lubang-lubang cinta untuk bumi: biopori, sumur resapan, tebe yang dulu jadi bagian dari setiap pekarangan. Kenapa tak kita larang menyedot air tanah tanpa kendali? Kenapa tak kita olah air hujan, air limbah, bahkan air laut—jadi sumber kehidupan? Kenapa?

Bali hanya secuil pulau di tengah samudra. Penduduknya sudah 4,4 juta lebih, belum lagi wisatawan. Masihkah bisa ditampung? Masihkah alam ini sanggup memeluk kita semua?

Kalau tidak, jangan salahkan alam jika ia mulai menolak. Jangan menangis saat air asin masuk ke sumur, saat sawah kering dan tak berisi, saat hujan deras tak lagi jadi berkah tapi bencana.

Hari Bumi seharusnya bukan hanya seremoni, hanya dikenang. Tapi doa, dan aksi. Sembah dan bakti: dua hal yang harus kita seimbangkan. Karena cinta antara langit dan bumi hanya hidup jika manusianya tahu diri.

Dulu, leluhur kita hidup berdampingan dengan bumi. Tak sekadar tinggal, tapi menyatu. Mereka mengenal Tri Hita Karana—
tiga jalan menuju kebahagiaan sejati:
Parhyangan, hubungan dengan Sang Pencipta;
Pawongan, hubungan antarmanusia; dan Palemahan, hubungan manusia dengan alam.

Bukan hanya konsep, tapi napas kehidupan yang membentuk segala. Sawah diatur lewat Subak, bukan cuma sistem irigasi, tapi juga peradaban. Air tak hanya dialirkan, tapi dihaturkan dengan banten, disyukuri dalam upacara. Tanah tak hanya ditanami, tapi dijaga kesuciannya lewat larangan dan adat.

Setiap pohon besar disebut “pohon kayangan”. Setiap sumber mata air disebut “tukad suci”. Bahkan hutan pun disebut “alas kekeran”,
dijaga, bukan untuk dijual.

Namun kini, di balik wajah pariwisata yang bersinar, pelan-pelan akar budaya itu terpotong. Subak tak lagi dihormati, petani ditinggalkan sendirian, anak-anak muda lebih kenal aplikasi reservasi hotel daripada nama-nama padi dan musim tanam.

Upacara makin megah, tapi makna mulai kosong. Lingkungan dijadikan dekorasi, bukan sahabat.

Kita harus bertanya: apakah masih ada Tri Hita Karana dalam hidup kita? Apakah kita masih menghaturkan syukur sebelum menanam? Masihkah kita ingat berdoa sebelum memanen? Masihkah?

Jika cinta langit dan bumi ingin terus hidup, maka manusia Bali harus kembali ke jati dirinya. Menjadi pengasuh, bukan penguasa.
Menjadi penjaga, bukan penjarah.

Bali tidak bisa diselamatkan dengan hotel mewah, tapi dengan tegal yang tetap hijau, subak yang tetap mengalir, dan manusia yang tahu hormat pada tanah yang diinjak.

Di Hari Bumi ini, di mani Galungan ini, saat keinginan mapelesiran, bukan hanya mengenang masak kanak-kanak, bukan hanya mencari jejak cinta Ibu, tapi menumbuhkan kembali cinta yang lama tertidur. Cinta kepada Ibu Pertiwi yang setiap hari memberi tanpa pamrih.

Sekarang saatnya balas budi, sebelum bumi benar-benar letih.

Rahajeng manis Galungan, selamay Hari Bumi, ampura ngelantur; semoga bumi selalu bersahabat kemana pun kita mapelesiran di hari berbahagia ini. (*)

Denpasar, 24 April 2025