HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Margono Djojohadikoesoemo Bapak Koperasi

August 16, 2025 21:58
IMG-20250816-WA0113

Oleh: Sunano
Direktur Advokasi Konsumen Muslim Indonesia PP KB PII

HATIPENA.COM – Adalah pengakuan Dawam Rahardjo, seorang ekonom, pimpinan LP3ES dan direktur majalah Prisma kala itu, ketika menulis pengantar untuk buku Soemitro Djojohadikusumo “Kredit Rakyat di Masa Depresi” yang diterbitkan LP3ES pada tahun 1989 menjelaskan bahwa Margono Djojohadikoesoemo adalah Bapak Koperasi. Dawam merujuk pada pengakuan Ir. Teko Sumodiwirjo, seorang pejabat tinggi di bidang koperasi pada zaman Belanda dan sesudah kemerdekaan, menyebut Margono sebagai bapak koperasi.

Margono memang memiliki pengalaman luas sepanjang karirnya sebagai ambtenaar Hindia Belanda, bertugas di lembaga perkreditan rakyat – Centrale Bank, Algemene Volkscredietbank (AVB), dan Jawatan Koperasi, di daerah pedesaan. Meski sebagai ambtenaar, Margono seorang terdidik yang suka membaca, rajin menulis, membuat laporan dan buku.

Kepandaian menulis ini selain karena pendidikan yang baik, sebagai lulusan ELS (Europeesche Lagere School) dan OSVIA (Opleidingsschool voor Inlandse Ambtenaren) yang merupakan sekolah calon pegawai negeri Hindia Belanda. Juga setelah lulus sekolah di OSVIA pada tahun 1911, Margono bekerja sebagai juru tulis mulai dari Banyumas, Cilacap sampai Kebumen. Juru tulis setiap hari harus mencatat dan membuat laporan.

Pekerjaan ini membuat Margono banyak menulis pengalaman mengenai kegagalan dan keberhasilan kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Karakteristik ini kelihatan dalam Buku mengenai koperasi “Sepoeloeh Tahun Penerangan Tentang Koperasi oleh Pemerintah 1930 – 1940.” Buku ini ditulis oleh Margono selaku Inspecteur Koperasi, dan diterbitkan Balai Pustaka tahun 1941. Buku ini sangat kaya rekaman sejarah perjalanan koperasi di Indonesia. Tidak hanya teori koperasi, juga praktik kegagalan dan keberhasilannya.

Margono memang bukan ambtenaar biasa, ia meninggalkan karya intelektual yang sangat berbobot. Apalagi karya itu sesuai dengan bidangnya. Selain itu, Margono banyak dikenal luas oleh tokoh pergerakan Indonesia. Pada satu kesempatan ia menjadi salah satu pembicara pada Kongres Budi Utomo Cabang Betawi tahun 1931. Meski Rosihan Anwar menulis dengan nada mempertanyakan (Sejarah Kecil I: 206) kenapa ambtenaar yang menjadi pembicara saat kongres, itu menunjukkan bahwa Margono juga seorang tokoh pergerakan. Khususnya perhatiannya mengenai nasib petani desa, rakyat kecil, anak negeri, yang makin miskin dihisap oleh lintah darat dan rentenir yang semakin merajalela di pedesaan. Dedikasi Margono yang besar untuk memajukan ekonomi desa lewat koperasi, bank desa dan lumbung desa yang dia bina lewat AVB. Margono menjadi rujukan bagi anak negeri yang ingin mendirikan koperasi.

Penulis mencatat ada beberapa karya intelektual Margono yang dihasilkan sebelum kemerdekaan. Tulisan dengan judul “De Toekomst van het Desabankwezen op Java en Madura” yang ditulis tahun 1925. Merupakan kajian tentang masa depan bank desa di Jawa dan Madura. Tulisan ini merupakan laporan kepada pemerintah Hindia Belanda mengenai kondisi bank desa dan kemampuan membantu ekonomi pedesaan dari lintah darat.

Buku lainnya berjudul “Plaatselijke Welvaart Bevordering, Prae-Advice voor het 25e Decentralisatie Kongres” menjelaskan tentang perkembangan kesejahteraan lokal tingkat desa dan petani ketika kebijakan desentralisasi pemerintahan Hindia Belanda diterapkan secara menyeluruh. Desentralisasi pemerintahan diterapkan akhir 1903 sebagai bagian dari kebijakan politik etis Hindia Belanda. Laporan Margono untuk menyambut Kongres Desentralisasi ke-25 tahun 1934. Mengenai perkembangan kesejahteraan lokal dampak resesi global yang melanda seluruh desa di Hindia Belanda sangat memprihatinkan. Meski tidak sampai terjadi kelaparan hebat, karena kebutuhan pangan dapat dipenuhi dengan adanya lumbung desa, banyak warga desa tidak mampu membayar hutang/kredit ke bank desa karena semua harga anjlok.

Kondisi pasar saat itu memang parah sekali. Saat krisis dunia, harga hasil pertanian sangat rendah. Di pulau Jawa pada bulan Juni 1921, satu pikul padi bulu terjual dengan harga f 5,90 pada tahun 1935 harganya tinggal f 1,59. Untuk menggambarkan lebih jelas dalam indeks nilai uang bahan makanan penduduk pulau Jawa, dimulai angka 100 pada tahun 1913, menjadi 216 pada tahun 1921, dan hanya 61 pada tahun 1934. Merosotnya harga barang yang dihasilkan disebabkan karena langkanya uang di desa. (Budidaya Padi di Jawa, Sajogyo: 258-259). Ketika harga padi sangat tinggi, penetrasi uang sudah sampai ke desa-desa terpencil. Semua kebutuhan dipenuhi dengan uang.

Apalagi kebijakan pemerintah Hindia Belanda pada sektor pertanian yang awalnya untuk tujuan ekspor, sehingga semua hasil pertanian dijual semua. Ketika terjadi krisis, harga padi terjun bebas, rakyat yang terbiasa dengan uang terpaksa harus berhutang ke bank desa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketika menjual padi dan hasil pertanian, harganya jauh merosot, terpaksa tidak dapat mengembalikan pinjaman.

Buku “The Netherlands-Indies, in Yearbook of Agricultural Cooperations” menjelaskan tentang laporan perkembangan koperasi pertanian di akhir pemerintahan Belanda. Buku ini ditulis pada tahun 1938. Pada tahun 1930 ketika awal koperasi dikembangkan di Hindia berjumlah 89 unit dengan jumlah anggota 7.848 orang dan modal 101.296 gulden. Sampai tahun 1938, jumlah koperasi di Hindia Belanda tercatat 540 unit, terbagi menjadi koperasi kredit 427 unit, koperasi konsumsi 16 unit, koperasi produksi 37 unit, koperasi penebusan utang 47 unit, dan koperasi lain-lain 13 unit. Jumlah anggota koperasi saat itu sudah sangat banyak mencapai 42.031 orang, dengan modal usaha mencapai 1,2 juta gulden. Koperasi di Hindia Belanda selama 8 tahun tumbuh enam kali lipat, dan modal usaha tumbuh lebih dari sepuluh kali lipat.

Buku itu merupakan laporan yang sangat kaya informasi mengenai pertumbuhan koperasi sejak 1930. Masalah utama yang dihadapi koperasi pertanian di Hindia Belanda adalah mereka tidak memiliki kemampuan berorganisasi dalam bidang ekonomi. Modal bergotong royong petani lebih pada aspek kekeluargaan dan ketergantungan. Sedangkan koperasi yang berkembang di Eropa, seperti Koperasi Raiffeisen yang merupakan koperasi pertanian berbasis kerjasama yang setara dalam bidang ekonomi. Jadi meskipun gotong royong dan kerjasama adalah aktivitas serupa, basisnya berbeda. Gotong royong berbasis sosial, dan kerjasama berbasis ekonomi. Selain itu, pelaku koperasi Hindia Belanda ingin langsung mendapatkan hasil, padahal baru sebentar berdiri. Koperasi Raiffeisen menikmati hasilnya setelah dua puluh tahun bekerja keras. Meski tumbuh, dan ada keberhasilan, mayoritas kondisi koperasi banyak yang hidup segan dan hilang lebih cepat.

Di akhir tahun 1940, Margono Djojohadikoesoemo ditunjuk sebagai instructoer koperasi Hindia Belanda. Pada saat menjabat, Margono menulis buku “Sepuluh Tahun Penerangan tentang Koperasi oleh Pemerintah 1930 – 1940” setebal 110 halaman. Buku ini merangkum tentang sejarah koperasi di Hindia Belanda, Undang-Undang Koperasi, aturan pemerintah guna memajukan koperasi, pimpinan dan pengawasan, serta perkembangan koperasi sampai tahun 1940.

Jejak intelektual Margono dalam buku ini menjelaskan bahwa ia memang layak disebut sebagai Bapak Koperasi. Selain sebagai pelaku, sebagai instructoer koperasi juga memahami konsep dan teori koperasi modern. Sejak menjadi pejabat tinggi AVB, Margono tidak aja menjadi pimpinan, juga langsung terjun ke masyarakat, keliling dari desa ke desa mengamati perkembangan ekonomi petani, memberikan penyuluhan teknis dan mendorong peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat desa.

Buku ini bukan hanya teori, tetapi kaya akan pengalaman pelaksanaan koperasi sejak awal berdiri di Indonesia. Letak keberhasilan dan kegagalannya dimana, serta langkah perbaikan kedepan bagaimana. Sejak model Raiffeisen diimpor dari Eropa, sampai di Indonesia sejak awal sudah menunjukkan kegagalannya. Meski sebagian kecil koperasi juga berhasil dan terus berkembang.

Kritik ini sebenarnya terus berulang sampai saat ini, antara lain kesalahan pada dasar pemahaman bahwa koperasi merupakan organisasi “perjuangan” yang tidak hanya untuk kepentingan bisnis, juga kepentingan sosial anggotanya. Kesadaran ini ditangkap oleh orang yang lebih mampu, inisiatif dari “atas” jadi anggota sering tidak memiliki kesadaran untuk berjuang. Masyarakat membentuk koperasi karena ada program dari “atas”.

Model ini membuat koperasi diharapkan berhasil dengan cepat. Baru berdiri langsung menunjukkan hasil. Padahal Raiffeisen di Eropa butuh dua puluh tahun bekerja keras untuk menikmati hasilnya. Karena dari “atas” dengan dukungan yang besar, seringkali hanya dinikmati oleh orang kaya desa (petani besar, pemilik tanah, pejabat desa). Sedangkan si miskin petani gurem aksesnya malah dibatasi. Koperasi bukannya menyelesaikan masalah, malah memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Akhirnya masyarakat kecil, di pedesaan merasa trauma terhadap koperasi. Kita bisa melihat pada saat peralihan kekuasaan, seperti tahun 1960 dalam bentuk koperasi lisensi, tahun 1990 dalam bentuk KUD yang rusak karena korupsi.

Secara teori maupun praktik, koperasi adalah lembaga yang ampuh menolong ekonomi lemah. Contohnya sudah banyak. Kita tetap harus optimis. Catatan terakhir dari Dawam Rahardjo saat menulis untuk 70 tahun Bustanil Arifin, yang mengurusi koperasi selama tiga pelita di era Soeharto, menjelaskan bahwa ada dua hal yang penting. Pertama, yang memimpin kementerian koperasi harus orang kuat dan pengalaman di koperasi. Kedua, hilangkan ketergantungan koperasi kepada pemerintah. (*)

Jakarta, 31 Desember 2024