Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
HATIPENA.COM – Cerita pagar laut makin ke sini bukannya makin terang, malah semakin misterius. Faktanya ada, tapi siapa orangnya, tak ada. Yok kita bahas kembali soal pagar laut sambil seruput kopi di Jalan Merapi Pontianak.
Ada lelucon lama: “Kancil mencuri timun.” Tapi, apa kabar jika kancil sekarang mencuri laut? Ini bukan dongeng, ini kenyataan. Di sebuah sudut negeri penuh magis ini, sertifikat tanah telah lebih dulu lahir. Di mana tanahnya? Oh, itu urusan nanti. Sekarang masih berupa ombak, buih, dan mungkin beberapa ikan yang kebetulan lewat. Jangan khawatir, pagar laut dari bambu sepanjang 30,16 kilometer akan segera mengubah takdir alam semesta.
“Pagar laut?” Ente mungkin bertanya sambil mengerutkan dahi. Jangan diremehkan! Ini adalah inovasi peradaban yang bahkan Poseidon pun tak terpikirkan. Tanggul bambu itu berdiri gagah, menantang gelombang dan logika. Bahkan, angin pun berbisik, “Mengapa aku tak diajak rapat?”
Jangan lupa, Menteri ATR/BPN menyebut ini sebagai buah karya pendahulunya. Namun, nama pemilik tanahnya? Itu rahasia lebih besar dari Atlantis. Publik diminta untuk “cek sendiri.” Ya, cek sendiri ke mana? Ke dasar laut? Atau ke dalam imajinasi kolektif kita? Sungguh sebuah misteri ala detektif Conan, tapi dengan bumbu politik.
Presiden sudah berang. “Bongkar!” katanya dengan nada tegas. Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) punya jawabannya sendiri: “Sabar, kita cari pelakunya dulu.” Sampai saat ini, pelakunya tetap seperti makhluk mitos, ada, tapi tak terlihat. Seperti pencuri yang meninggalkan jejak kaki di atas air.
Mari kita sedikit serius. (Tapi jangan terlalu serius, nanti stres.) Apakah ini proyek reklamasi? Atau hanya sebuah eksperimen arsitektur laut? Sedimen di laut perlahan-lahan ditangkap oleh bambu ajaib itu. Proses yang katanya bisa menciptakan tanah baru. Tapi, bukankah semestinya reklamasi itu dilakukan dengan transparansi? Jangan sampai kita memanggil ikan paus sebagai saksi ahli di persidangan nanti.
Lebih menarik lagi, 17 sertifikat hak milik sudah diterbitkan. Bukan satu, bukan dua, tapi tujuh belas! Tambahan 263 sertifikat Hak Guna Bangunan di area yang sama. Ada apa ini? Bahkan sebelum tanah itu muncul ke permukaan, sertifikatnya sudah lebih dulu melompat dari tinta notaris.
Mungkin di masa depan, kita tidak perlu tanah untuk mendapatkan sertifikat. Cukup imajinasi. Ada laut, ada sertifikat. Ada awan, mungkin bisa jadi hak milik juga? Oh, betapa cemerlangnya visi pembangunan kita.
Terakhir, mari kita hormati para pihak yang terlibat. Mereka tak hanya bekerja keras, tetapi juga melawan hukum gravitasi, hukum akal sehat, dan mungkin hukum alam. Semoga tanggul bambu itu kuat menahan ombak. Tapi lebih penting lagi, semoga tanggul logika kita juga tidak roboh. (*)
#camanewak