Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Meditatio Mortis

May 22, 2025 05:19
IMG-20250522-WA0003

Oleh ReO Fiksiwan

“Apapun yang ada sebelum kita ada adalah kematian.“ — Lucius Annaeus Seneca (1 -65 M), De Vita Beata (49 M).

HATIPENA.COM – Kematian ibarat pencuri di malam buta. Tanpa sempat terpikir, ia cepat menjarah.

Dalam sepekan ini, lima kematian menjemput seorang suami pesohor, Najwa Shihab, Ibrahim Syarief Assegaf (47), kerabat dosen, Dr. Femmy Lumempouw, guru Ka Eva Rosdiana Betty Yunan, mantan murid, Yunus Muluk dan terakhir, kemarin (20/5/25), seperti adik sendiri, Benyamin Buna Zakawerus.

Ini peristiwa kematian di bulan Mei 2025.

Pada paruh kedua satu abad Masehi, hidup seorang filsuf kematian, di Romawi, Lacius Annaeus Seneca.

Seneca, warga negara Romawi yang filsuf, bankir dan politikus lahir di Cordoba (Spanyol), pentolan filsafat Stoisme.

Menulis tiga buku filsafat hidup kebahagiaan dan kematian yang menjadi panduan hingga kini, terutama “Letters to Luccilus” dan “The Shortness of Life.” (De Vita Beata).

Sejak lahir, Seneca menderita penyakit yang dia sebut “suspirium” semacam asma atau bengek.

Hingga kepada sohibnya Luccilus, ia katakan sangat siap menikmati penderitaan rasa sakit sebagai persiapan menyambut kencana kematian.

Sebagai penasehat dekat dari kerabat penguasa kaisar Nero dan juga Caligula, Seneca justru dijemput maut pada usia 65 tahun bukan karna sakit asmanya yang menahun.

Ia wafat dengan bunuh diri atas perintah Nero yang menuduhnya berkhianat untuk melengserkan kaisar Nero.

Karna itu, Seneca dijuluki sebagai “filsuf maut”. Tak heran, dalam surat-surat kepada sohibnya Luccilus, ia gemar berwasiat tentang ihwal persiapan untuk mati (meditatio mortis) sebagai tips petunjuk bagaimana menjemput kematian itu sebagai sukacita.

„Bukan dukacita, sahabatku Luccilus.

Kita mengira kematian hanya akan tiba sesudah kehidupan, padahal sebenarnya kematian datang sebelum dan sesudahnya.”

Arkian, masa kini dengan pelbagai ancaman maut, penyakit, tabrakan, dibunuh maupun bunuh diri,,merupakan semiotika terang ihwal kematian.

Untuk itu, nasihat atas legasi maut Seneca patut direnungkan sebagai imbuh bahagia di tengah riuh kemaruk kehidupan:

“Laccilus, dalam usahamu untuk senantiasa ugahari, tidak ada yang lebih bermanfaat untukmu selain sering merenungkan betapa singkat kehidupan seseorang, dan betapa tak pastinya itu.

Apapun yang kau jalani, arahkan selalu pada kematian.” (*)