Anto Narasoma
HATIPENA.COM – Puisi tak sekadar ruang kreativitas penyair yang mencatat aneka peristiwa dalam persoalan kehidupan.
Sebab, pokok persoalan yang ada di dalam puisinya merupakan bentuk dari sikap tertentu, pandangan, watak pribadi yang mengalokasi beragam kejadian.
Karena itu ketika menulis puisinya, secara tipografis, penyair selalu mengarahkan ide dan gagasannya melalui pendekatan kejiwaan, pendekatan falsafah, serta pendekatan intrinsik dan ekstrinsik.
Pendekatan seperti itu merupakan dikotomi yang saling bersentuhan dalam tiga lapisan yang sudah disebut di atas.
Dalam antologi terbaru, sejumlah puisi akan dihadirkan sebagai satu kekuatan kata ungkap, untuk menerjemahkan segala pengalaman yang ditangkap penyair D Zawawi Imron.
Kebetulan untuk antologi ini penyair menetapkan satu puisi bertajuk “Puisi Pagi Ini” sebagai tampilan awal. Yang jadi pertanyaan, kok penyair memilih puisi ini untuk lembaran perdananya?
Tentu saja, penyair ada alasan tersendiri sehingga puisi bertajuk “Puisi Pagi Ini” menjadi tataran utama yang diposisikan di lembaran pertama. Mari kita simak puisi ini…
PUISI PAGI INI
Puisi D Zawawi Imron
Sebuah kota menjerit pagi ini
Ketika di balik baju perlente
Ada bolpen menjelma linggis
Ketika kemewahan berhati nanah
Kualihkan mataku ke kampung nun jauh
Nyanyian tak bersuara sedang merawat ayat-ayat keringat
Ternyata kiblat adalah jejak pahlawan
Jejak seorang pejuang yang dilupakan
Atau jejak para pencangkul bumi penanam benih
Yang sudah jadi pahlawan sebelum mati
Dari alinea pertama puisi ini memiliki kandungan persepsi bagi pembaca untuk menelaah maksud dan tujuan (isi) puisi.
Menurut penyair Inggris terkemuka abad lalu, Ralp Waldo Emerson, mengatakan bahwa puisi merupakan peluapan spontan dari segenap perasaan yang penuh daya kreativitas.
Dari landasan itu, puisi yang tercipta akan membentuk emosi suasana yang mempengaruhi rasa (feel of poe), sehingga akan menjelaskan format isi yang mengajarkan kaidah tentang banyaknya persoalan dengan sedikit kata-kata yang diungkap.. (Perjalanan Sasta Indonesia : September 1983 – Korie Layun Rampan).
Pernyataan yang diungkap Ralp Waldo Emerson tersebut merupakan rumusan puisi menurut pandangan etimologinya.
Jika memasuki unsur pandangan penyair Inggris terkemuka itu, tentu saja nilai yang bisa kita petik, masih berlaku tentang unsur-unsur yang membangun puisi dari unsur bentuk (tipografi) dan isinya.
Karena itu tak heran apabila menelaah awal puisi –ketika hendak dibaca– kita diajak untuk menelaah persoalan bentuk dan isinya.
Jadi, secara etimologi, hakikat dan metode puisi merupakan struktur norma yang terdiri dari berbagai lapis norma, sehingga norma di atas akan memunculkan lapisan norma di bawahnya.
Jika kita membaca puisi bertajuk “Puisi Pagi Ini” persepsi kita diajak untuk masuk ke dalam ruang-ruang isi, sehingga pikiran kita akan bersentuhan dengan simbol-simbol kata yang memuat lapis bunyi dan lapisan arti.
Seperti pada alinea pertama, kita diajak untuk menyentuh nilai-nilai tujuan isi. Sebab simbol-simbol kata yang ada akan menerjemahkan maksud kiasan sesungguhnya.
Misalnya, ..Sebuah kota menjerit pagi ini//Ketika di balik baju parlente//Ada bolpen menjelma linggis//Ketika kemewahaam berhati nanah
Apabila membaca dengan daya ucap tanpa didasari dengan landasan filosofi, tentu persepsi akan membentur maksud atau tujuan isi puisi ini.
Sebab luapan kata yang terstruktur itu tidak diupayakan lewat tinjauan filosofi. Terkait tinjauan itulah perlu diupayakan agar pembaca mampu memahami puisi ini dikulik dengan rumusan khusus agar dapat membuka nilai inti dari maksud yang disampaikan.
Seperti dikemukakan B Simorangkir-Simanjuntak dalam Kesusasteraan Indonesia (hal 11 : 1953), ..segala apa jang didjelaskan dengan konotasi bahasa tersamar, hakikatnja perlu ditindjau dari persepsi intrinsik dan ekstrinsik (di dalam dan di luar).
Kembali ke alinea awal, Ketika di balik baju parlente//Ada bolpen menjelma linggis//Ketika kemewahan berhati nanah…
Dari tinjauan filosofi itu, kalimat yang penuh tanda-tanda tersebut menjelaskan bahwa ketika di balik baju parlente, bisa jadi mempunyai hakikat rasa (feel) yang bertujuan tentang seseorang yang dipercaya menduduki jabatan tertentu.
Sayangnya, ia tidak jujur dengan kepercayaan yang disandang di pundaknya. Akibatnya, kepercayaan itu disimpangkan dengan cara melakukan korupsi (..Ada bolpen menjelma linggis).
Orang yang menyimpangkan tugas sucinya ketika diberi kepercayaan mengemban jabatan tertentu, ini bentuk pengkhiatan yang busuk (Ketika kemewahan berhati nanah).
Akibat penghianatan itu, negara (rakyat) menjerit karena ketidakjujuran yang dilakukan (korupsi : menyalahgunakan jabatan). Itu tertera sebagai lapisan kalimat paling atas (kalimat pertama), ..Sebuah kota menjerit pagi ini.
Seperti diungkap Dr Tarech Rasyid MSi, kalimat terstruktur seperti itu merupakan menampilkan persepsi lain dari arti pertama yang digagas penyair.
Seperti fisik dan jiwa manusia yang munafik, di mulutnya mengatakan begini, tapi di sudut hati sanubarinya ia memiliki persepsi (tujuan) lain.
Memang sulit mencari pejabat atau pemimpin yang dipercaya untuk konsisten mengendalikan jabatan yang diemban. Dipilih dan terpilih, ternyata ia menghianati jabatan yang dipercayakan ke pundaknya.
Makna terdalam “Puisi Pagi Ini” memang menarik untuk ditelisik secara efonik. Artinya, dalam meganalisis puisi ini perlu dipahami dari lapis bunyi dalam tiap baris kalimatnya.
Melalui analisis ini, kita akan menemukan nilai-nilai arti yang dimaksud penyair sebagai pusat perhatian kita.
Dalam baris ketiga pada kalimat pertama, Ada bolpen menjelma linggis. Jika dibaca tanpa analisis mendalam lewat stilistik puitika, kita akan menentukan bahwa bolpen (ballpoint) adalah alat tulis yang digunakan pelajar, mahasiswa, atau PNS di suatu instansi. Tapi kok aneh, bolpen bisa menjadi linggis?
Nah, makna kata sandingan di balik kalimat itu menjelaskan tentang pengkhianatan (korupsi) terhadap tugas yang diemban sehari-hari.
Sekali tulis, dia bisa mencatat dan memberi kebijakan minor yang diakibatkan adanya suap dengan takaran nilai yang tak terbatas.
Seperti diungkap paus sastra HB Jassien, stilistis semacam ini mencerminkan gaya bahasa yang dinyatakan dalam ketatabahasaan, menimbulkan makna lain yang tersirat dari balik makna yang tertulis.
Jadi wajar apabila penyair besar seperti D Zawawi Imron menetapkan Puisi Pagi Ini menjadi landasan utama sebagai titel (judul) menarik di sampul luar buku antologi ini.
Selain diajak penyair yang sudah menjajaki karir kepenyairannya selama puluhan tahun itu, mencoba berbagi pengalaman tentang standar ilmu untuk memahami puisi sebagai ladang pengetahuan lewat unsur psikologi ketatabahasaan yang memikat.
Begitu nyaman dan enaknya pejabat yang dipercaya melaksanakan tugasnya sehari-hari. Sayangnya dia (lirik) mengkhianati komitmennya sendiri (korupsi). Padahal berdirinya negeri ini digagas oleh para pahlawan yang berjuang untuk merebutnya dari tangan penjajah.
Bahkan mereka mempertaruhkan nyawa dan kewibawaan dirinya dalam perjuangan melawan penjajah. Itu bisa dianalisis lewat pemahaman rasa (feel) melalui frase kalimat yang melahirkan pola-pola isi di balik lapisan kalimat puisi ini.
Ternyata kiblat adalah jejak pahlawan//Jejak seorang pejuang yang dilupakan//Atau jejak para pencangkul bumi penanam benih//Yang sudah jadi pahlawan sebelum mati..
Dari alinea terakhir ini makin jelas pokok persoalan yang ingin dikemukakan penyair. Sebab sebagai anak bangsa, D Zawawi Imron hanya mampu “marah” dan memrotes keras melalui uraian kalimat puisi.
Dari nilai rasa (feeling) yang bergejolak di dalam jiwa seorang Zawawi, ketika ia melihat dan merasakan perkembangan negeri ini yang semakin bobrok, ia marah dan mencaci maki kebobrokan itu secara estetik yang teramat santun tapi mengandung nilai-nilai ketegasan sikapnya.
Sebab jasa para pahlawan yang sudah menyumbangkan kontribusi nyawanya itu dikhianati oknum pejabat durjana yang mengikis habis kekayaan negara.
Padahal di antara dentuman meriam dan rentetan peluru yang beterbangan di udara dari para penjajah, dihadapi para pejuang kita hanya dengan dengan bambu bermata runcing.
Bahkan para petani (Atau jejak para pencangkul bumi penanam benih) telah bersusah payah menganugerahi bahan pangan melalui tetesan keringat, justru dikhianati tanpa ampun.
Dari himpunan puisi dalam antologi terbitan kali ini saya merasa sangat terhormat diminta Abah untuk memberikan paparan kata sebagai pelengkap untuk memperkuat daya tampil buku antologi terbitan yang kesekian kalinya ini.
Semoga kumpulan puisi ini dapat dijadikan unsur edukasi yang mendidik sehingga mampu menafsirkan isinya. (*)
Palembang, 14 Januari 2025