Oleh: Wahyu Iryana *)
HATIPENA.COM – Di dunia akademik, ada semacam kutukan lama: terlalu banyak mengulang, terlalu sedikit menimbang. Sejarawan kerap terjebak dalam lorong gelap fakta-fakta yang melimpah tanpa sempat menyalakan lentera makna. Maka hadirnya buku historiografi umum bukan hanya sebentuk upaya akademik biasa, melainkan sekaligus ajakan reflektif untuk melihat kembali, sejauh mana narasi sejarah ditulis, diwarisi, dan dipertanggungjawabkan dalam lintasan waktu dan ruang yang begitu kompleks.
Buku ini, dalam pengamatan saya, tidak semata mengulas apa itu historiografi, melainkan menyisir akar-akar intelektualnya. Ia menempuh rute panjang dari dunia Yunani kuno hingga Indonesia kontemporer, dari Herodotus hingga semangat sejarah profetik dalam Al-Qur’an, dari narasi-narasi Eropa klasik hingga upaya bangsa Indonesia menulis dirinya sendiri pasca-kolonialisme. Ini bukan buku tentang tanggal dan tempat, tapi tentang cara berpikir dan cara menulis sejarah. Dan itu menjadikannya penting.
Herodotus dan Awal Historiografi Barat
Historiografi Barat secara konvensional sering disebut lahir dari tangan Herodotus (484–425 SM), tokoh yang dijuluki “Bapak Sejarah.” Dalam karyanya Histories, Herodotus mencoba merekam peristiwa-peristiwa Perang Yunani-Persia, tetapi dengan gaya yang tak sekadar menyajikan fakta-fakta. Ia memuat mitos, desas-desus, serta kebiasaan bangsa-bangsa yang ia temui.
Dalam kacamata sejarawan modern, Herodotus mungkin tampak kurang “akurat”, tetapi justru dari sanalah benih historiografi ditabur: sejarah sebagai cerita tentang manusia, sejarah sebagai ingatan kolektif yang disusun dan dipahami dengan akal, bukan sekadar urutan kejadian. Ciri khas Herodotus adalah keterbukaannya terhadap perbedaan budaya dan keberanian dalam menyusun narasi lintas bangsa.
Berbeda dengan Herodotus, Thucydides (460–400 SM), tokoh Yunani lainnya, mengedepankan rasionalitas dan empirisme. Dalam karyanya History of the Peloponnesian War, ia menyusun narasi berdasarkan kesaksian langsung dan penyelidikan ketat, serta menolak campur tangan dewa-dewi. Thucydides adalah pelopor pendekatan realisme dalam sejarah, dan banyak dikutip sebagai tokoh awal historiografi kritis.
Dari Romawi hingga Abad Pertengahan
Tradisi historiografi berlanjut ke dunia Romawi melalui tokoh seperti Livy dan Tacitus. Livy lebih mengedepankan moralitas dalam sejarah, sedangkan Tacitus dikenal tajam dan sinis dalam melihat korupsi kekuasaan di Roma. Pada keduanya, sejarah menjadi alat pembelajaran moral, tetapi juga menjadi arena kritik sosial-politik.
Namun, ketika Romawi runtuh dan Kristen menjadi agama dominan di Eropa, historiografi pun berubah arah. Fokus beralih ke kronik para santo, kisah gereja, dan apokaliptisisme. Tokoh seperti Eusebius dari Kaisarea menulis sejarah gereja sebagai bentuk pembenaran teologis. Historiografi Abad Pertengahan didominasi narasi-narasi keagamaan, di mana kebenaran sejarah sering kali tunduk pada dogma.
Pada periode ini, narasi sejarah tidak lagi milik rasionalitas bebas, tetapi berada dalam kerangka doktrin. Inilah yang membedakan historiografi Barat awal dengan historiografi modern kemudian. Penulisan sejarah menjadi bentuk kontemplasi keagamaan, bukan investigasi sosial.
Renaisans dan Lahirnya Sejarah Modern
Bangkitnya semangat Renaisans dan Pencerahan di Eropa menjadi titik balik penting. Manuskrip klasik Yunani-Romawi dibuka kembali, akal manusia didaulat sebagai tolok ukur, dan sejarah mulai ditulis dengan semangat ilmiah. Edward Gibbon, dengan magnum opus-nya The History of the Decline and Fall of the Roman Empire (1776), mempopulerkan sejarah sebagai kritik atas institusi dan kekuasaan, terutama Gereja.
Gibbon tidak hanya menyusun peristiwa, tetapi juga menafsirkan sebab-musabab runtuhnya imperium. Ciri khas historiografi modern mulai tampak: penggunaan sumber primer, kerangka kronologis yang runtut, dan analisis kausalitas. Sejarah tidak lagi ditulis hanya untuk melestarikan ingatan, melainkan untuk memahami struktur dan perubahan sosial.
Di abad ke-19, sejarawan seperti Leopold von Ranke menekankan pentingnya objektivitas dan dokumentasi. Ia dikenal dengan prinsip wie es eigentlich gewesen (apa yang sebenarnya terjadi). Meski dikritik karena terlalu positivistik, pendekatan ini memberi fondasi metodologis yang kuat bagi historiografi modern. Data menjadi sentral, narasi menjadi turunan dari arsip.
Historiografi dan Makna Sejarah dalam Al-Qur’an
Berbeda dengan historiografi Barat yang bertumpu pada rasionalitas dan empirisme, Al-Qur’an menampilkan sejarah dalam bentuk kisah dan peringatan. Kata qashash (kisah) dan ‘ibarah (pelajaran) muncul berulang kali dalam Al-Qur’an. Sejarah, dalam perspektif Al-Qur’an, bukanlah sekadar catatan masa lalu, tetapi jendela untuk memahami sunnatullah pola tetap dalam perjalanan umat manusia.
Kisah-kisah Nabi Musa, Yusuf, Nuh, dan para rasul lain bukan disajikan sebagai biografi lengkap, tetapi sebagai fragmen-fragmen bernilai moral dan spiritual. Dalam QS. Yusuf:111, disebutkan bahwa dalam kisah-kisah itu terdapat pelajaran bagi orang yang berakal. Maka, dalam tradisi Islam klasik, sejarah menjadi arena untuk mengambil hikmah, bukan sekadar informasi.
Tokoh-tokoh seperti Ibn Khaldun (1332–1406) adalah contoh puncak historiografi Islam. Dalam Muqaddimah, ia menulis teori sosial dan sejarah yang mendahului pemikiran modern berabad-abad. Ia bicara tentang solidaritas kelompok (asabiyyah), siklus kekuasaan, dan pentingnya kritik terhadap sumber. Pendekatannya menyeluruh: historis, sosiologis, dan filosofis.
Historiografi Indonesia: Dari Kolonial ke Nasional
Bagaimana dengan Indonesia? Historiografi Indonesia lahir dalam konteks kolonial. Penulisan sejarah oleh Belanda (seperti oleh H.J. de Graaf dan Schrieke) didominasi oleh perspektif Eropa. Tokoh-tokoh lokal sering diposisikan sebagai figur pinggiran dalam kerangka besar kolonialisme.
Namun, sejak era pergerakan nasional, lahir upaya merebut narasi sejarah dari tangan penjajah. Ki Hadjar Dewantara, Moh. Yamin, dan sejarawan awal Indonesia mencoba menulis ulang sejarah dari sudut pandang pribumi. Narasi tentang Majapahit, Sriwijaya, dan perlawanan lokal seperti Diponegoro menjadi bagian dari upaya membentuk identitas kebangsaan.
Pasca kemerdekaan, historiografi Indonesia berkembang ke arah akademik melalui kampus-kampus seperti UGM, UNPAD, UI maupun UIN, Sejarawan seperti Sartono Kartodirdjo memperkenalkan pendekatan struktural dan analisis kelas dalam sejarah. Pendekatan ini menyoroti dinamika sosial ekonomi, bukan hanya tokoh besar.
Kini, dengan berkembangnya studi pascakolonial, gender, dan ekologi, historiografi Indonesia mulai menempuh jalan baru. Penulisan sejarah menjadi lebih pluralistik. Ada ruang untuk sejarah rakyat, sejarah lokal, bahkan sejarah emosi. Hal ini penting, sebab sejarah bukan monopoli negara atau elite, tetapi milik semua.
Historiografi sebagai Cermin Kritis
Buku historiografi umum yang menelaah semua lapisan ini dari Herodotus hingga sejarah Islam, dari Ranke hingga Ibn Khaldun, dari Livy hingga Sartono sesungguhnya sedang membentangkan lanskap berpikir yang luas. Ia mengajak kita untuk melihat bahwa historiografi bukan sekadar menulis sejarah, tetapi juga soal bagaimana kita memandang manusia dan peradaban.
Historiografi adalah pilihan epistemologis. Seorang sejarawan tidak hanya menjawab “apa yang terjadi”, tetapi juga “mengapa ia penting ditulis.” Dan dalam dunia yang makin sarat informasi, penulisan sejarah harus makin sadar diri, makin jujur, makin reflektif.
Penulisan sejarah yang baik tidak melulu tentang sumber yang lengkap atau metode yang rapi, tetapi tentang keberanian menyuarakan yang terpinggirkan, tentang kejujuran intelektual, dan kesadaran bahwa masa lalu tidak pernah netral.
Sejarah untuk Masa Depan
Akhirnya, memahami disiplin keilmua historiografi umum perlu dipahami bukan hanya sebagai panduan akademik, tetapi juga sebagai alarm kesadaran. Ia mengingatkan kita bahwa sejarah bukan milik masa lalu semata. Ia hidup dalam cara kita memilih untuk mengingat atau melupakan.
Dalam konteks Indonesia masa kini yang penuh dinamika dari politik identitas, perubahan iklim, hingga digitalisasi pengetahuan penulisan sejarah yang berakar dan berwawasan global menjadi semakin urgen.
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, sejarah adalah ‘ibarah cermin. Maka, siapa yang ingin tahu ke mana akan pergi, harus paham dari mana ia datang. Dan dalam perjalanan itu, historiografi adalah peta dan kompasnya. (*)
*) Penulis Buku Historiografi Umum penerbit Yrama Widya.