HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Memahami Sastra Paralelisme

August 5, 2025 12:26
IMG-20250805-WA0029

Oleh ReO Fiksiwan

“Paralelisme semantik bukan sekadar perangkat gaya; ia merupakan cara berpikir, cara mengatur pengalaman, cara mengekspresikan yang sakral“ – Fox, James J. (1971), Semantic Parallelism in Rotinese Ritual Language (Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 127, hal. 215–255) –

HATIPENA.COM – Dalam khazanah sastra lisan imajinasi Nusantara, terminologi yang dipunpun dari linguistik, paralelisme bukan sekadar gaya retoris, melainkan struktur berpikir dan cara mengorganisasi makna.

Antropolog, asal Amerika, lahir 29 Mei 1940, alumni Harvard dan Oxford, James J. Fox, dalam bukunya m: Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti (Djambatan, 1986), mengungkap bahwa masyarakat Rotinese di Nusa Tenggara Timur membangun narasi budaya mereka melalui paralelisme semantik.

Istilah ini, paralelisme semantik, merupakan pasangan larik yang saling menggemakan makna, bukan sekadar mengulang bunyi.

Dalam bahasa ritual Roti, setiap baris puisi atau ujaran adat terdiri dari dua bagian yang saling melengkapi, membentuk struktur diadik yang mencerminkan kosmologi, sejarah, dan etika lokal.

Fox menunjukkan bahwa paralelisme ini bukan hanya estetika, tetapi juga epistemologi: cara masyarakat memahami (Meinung) dan menyampaikan dunia (Weltanschauung).

Dalam puisi orang Roti, seperti yang diteliti oleh James J. Fox, paralelisme muncul sebagai struktur puisi adat yang membentuk larik-larik berpasangan, misalnya: “Fo ina manek, fo ama ledo. Untuk ibu manik, untuk ayah matahari.“

Larik ini bukan sekadar pengulangan, melainkan penggandaan makna: “manek“ (manik) dan “ledo” (matahari) adalah simbol kemuliaan dan sumber kehidupan, yang masing-masing merujuk pada peran ibu dan ayah dalam kosmologi Rotinese.

Dalam struktur paralel seperti ini, makna tidak berdiri sendiri, tetapi saling menguatkan dalam resonansi simbolik.

Menikmati puisi paralelisme orang Roti bisa diibaratkan seperti menyantap roti croissant: berlapis-lapis, renyah di luar, lembut di dalam.

Setiap lapisan larik membawa tekstur makna yang berbeda, namun berpadu dalam satu gigitan estetik.

Croissant, yang bentuknya menyerupai bulan sabit, adalah warisan kuliner Prancis yang secara historis merupakan satire terhadap simbol Ottoman.

Begitu pula puisi paralelisme: ia menyimpan satire halus terhadap dunia yang serba tunggal dan linier, menawarkan alternatif yang berlapis dan reflektif.

Jika kita tarik ke ranah teori linguistik, Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics (1916) menekankan bahwa makna lahir dari relasi diferensial antar tanda.

Dalam konteks paralelisme, relasi antar larik bukan hanya diferensial, tetapi juga komplementer dan simbolik.

Larik pertama menyatakan, larik kedua menegaskan atau memperluas. Ini menciptakan efek resonansi makna yang khas dalam sastra lisan imajinasi Nusantara.

Struktur ini juga menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi medium kolektif untuk menyusun realitas dan memori.

Dalam sastra liris kontemporer Indonesia, jejak paralelisme masih terasa, meskipun dalam bentuk yang lebih eksperimental.

Dalam puisi kontemporer, Ahmadun Yosi Herfanda menulis dalam Sajak Sepotong Roti:

„Sepotong roti tergeletak di atas meja di sebelahnya sebatang garpu, sebilah pisau, dan sebutir telur gelisah menatapnya.

Sepotong roti dan sebutir telur menitikkan air mata ketika seorang konglomerat membuka mulut menyantapnya.“

Di sini, struktur larik yang berulang dan berpasangan menciptakan efek paralelisme modern.

Roti dan telur bukan hanya objek, tetapi subjek yang memiliki emosi.

Mereka menjadi simbol ketimpangan sosial, seperti halnya puisi adat Roti yang menyuarakan nilai-nilai etis dan kosmologis.

Ahmadun memodernisasi paralelisme menjadi kritik sosial yang tajam, namun tetap mempertahankan resonansi makna yang khas.

Demikian puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri (84) dalam O Amuk Kapak (1973) misalnya, memecah dan menyusun ulang kata-kata dalam pola yang menyerupai mantra, menciptakan efek repetisi dan resonansi yang mirip dengan paralelisme Rotinese.

Uwak Tarji mengeja kredo paralelismenya:

#Batu

Dengan seribu gunung langit tak runtuh
Dengan seribu perawan hati tak jatuh
Dengan seribu sibuk sepi tak mati
Dengan seribu beringin ingin tak teduh
.
Begitu pula dalam karya Abdul Hadi W.M. (1946-2024), paralelisme muncul sebagai bentuk meditatif, di mana larik-larik puisi menjadi cermin spiritual yang saling menyapa bersama alam.

#Madura

“Angin pelan-pelan bertiup di pelabuhan kecil itu ketika tiba, dengan langit, pohon, terik, kapal dan sampan yang tenggelam di pintu cakrawala

Dalam konteks kontemporer, paralelisme tidak lagi terikat pada struktur adat, tetapi menjadi alat eksplorasi batin dan kritik sosial.

Sastra paralelisme, jika dipahami sebagai genre, bukanlah warisan yang beku, melainkan arsitektur imajinasi Nusantara yang terus diperbarui.

Paralelisme dalam puisi imajinasi Nusantara adalah genre yang tidak hanya mengulang, tetapi menggandakan dunia.

Ia seperti croissant: satire yang renyah, lapisan makna yang lembut, dan bentuk yang mengingatkan kita bahwa bulan sabit bisa berarti banyak hal—dari simbol kekuasaan hingga metafora kerinduan.

Dalam dunia yang semakin datar dan cepat, puisi paralelisme mengajak kita untuk berhenti sejenak, menikmati lapisan-lapisan makna, dan merayakan keindahan bahasa yang tidak pernah selesai.

Ia mengajarkan bahwa makna tidak tunggal, bahwa setiap ujaran memiliki bayangannya, dan bahwa bahasa adalah ruang dialog antara manusia dan dunia.

Dalam era digital dan hiperrealitas, paralelisme menawarkan alternatif: cara membaca dan menulis yang mendalam, reflektif, dan berakar pada tradisi lisan yang kaya.

Ia bukan hanya bentuk, tetapi sikap terhadap bahasa—bahwa kata-kata harus saling menyapa, bukan saling meniadakan.

Jika sastra kontemporer Indonesia bergerak menuju bentuk-bentuk eksperimental dan anti-konvensional, maka paralelisme adalah fondasi yang memungkinkan eksperimen itu tetap berakar.

Ia adalah genre yang tidak hanya estetis, tetapi juga etis—mengajarkan keseimbangan, resonansi, dan penghormatan terhadap makna yang tidak pernah tunggal alias jamak. (*)

#Latar lagu daerah NTT: Domin Sei La Kotu