Oleh Hamdan eSA
HATIPENA.COM – Di sebuah desa kecil, hidup seorang kakek yang gemar berkebun. Suatu hari, ia memberikan dua bibit pohon kepada dua cucunya, Amir dan Budi. “Ini benih yang sama”, katanya, “tetapi bagaimana ia tumbuh, tergantung bagaimana kalian merawatnya”.
Amir menanam benihnya di tanah subur, menyiraminya setiap hari, dan melindunginya dari hama. Sementara itu, Budi asal-asalan; ia meletakkan benihnya di tanah kering dan jarang menyiraminya.
Bulan demi bulan berlalu. Pohon Amir tumbuh rindang, daunnya hijau, dan berbuah lebat. Sebaliknya, benih Budi hanya tumbuh kecil dan layu, nyaris mati. Melihat hal ini, Budi mengeluh, “Kenapa pohonku tidak seperti milik Amir”?
Kakek tersenyum, lalu berkata, “Nak, benih itu seperti fitrah dalam diri manusia. Semua orang dilahirkan dengan potensi yang sama, tetapi hanya mereka yang merawat dan mengembangkannya yang akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan bermanfaat”.
***
Fitrah adalah konsep fundamental dalam memahami hakikat manusia. Secara etimologis, kata fitrah berasal dari akar kata faṭara, yang berarti “membelah”, “menciptakan”, atau “membawa sesuatu kepada bentuk awalnya”. Kata ini memiliki hubungan erat dengan Al-Fāṭir, salah satu nama Allah yang berarti “Sang Pencipta”.
Selain itu, kata iftar dalam bahasa Arab, yang berarti berbuka puasa, juga berasal dari akar yang sama, menunjukkan makna “kembali ke keadaan asal”. Dan dengan begitu, kembali ke fitrah juga bisa berarti “kembali ke bulan biasa yang tidak memiliki kemuliaan seperti Ramadhan dan tidak diwajibkan berpuasa”.
Dengan demikian, secara etimologi, fitrah menggambarkan kondisi alami manusia sejak penciptaannya, keadaan murni yang belum terkontaminasi oleh pengaruh eksternal. Kondisi di mana manusia belum memiliki pahala apalagi dosa.
Dalam berbagai tafsir klasik, fitrah sering dikaitkan dengan kodrat alami manusia yang cenderung kepada kebenaran. Hadis Rasulullah menyebutkan; “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa manusia memiliki kondisi bawaan yang cenderung kepada kebenaran, tetapi perkembangan selanjutnya sangat bergantung pada lingkungan dan pendidikan. Makna fitrah dalam hadis ini juga mengandung dimensi potensi.
Dengan begitu, fitrah bukan hanya keadaan statis, melainkan daya laten yang dapat berkembang atau berubah sesuai dengan pengaruh eksternal. Manusia memiliki kecenderungan alami yang harus digali dan dikembangkan agar mencapai kesempurnaan dirinya.
Secara semantik, fitrah dalam bahasa Arab merujuk pada beberapa makna utama: kesucian bawaan (innate purity), potensi dasar manusia (natural potential), dan kecenderungan menuju kebaikan (predisposition toward good).
Konsep fitrah sebagai potensi dapat dilihat dalam berbagai perspektif. Selain perspektif agama di atas, juga dapat dilihat dari perspektif filsafat dan ilmu pengetahuan.
Dalam psikologi humanistik, teori actualizing tendency yang dikemukakan oleh Carl Rogers dan self-actualization oleh Abraham Maslow menekankan bahwa manusia memiliki dorongan alami untuk berkembang dan mencapai potensi terbaiknya. Dalam psikologi humanistik, realisasi potensi penuh seseorang dapat mencakup: ekspresi kreatif, pencarian pencerahan spiritual, pencarian pengetahuan, serta keinginan untuk berkontribusi pada masyarakat.
Fitrah dalam konteks ini dapat dipahami sebagai kekuatan internal yang mendorong individu untuk tumbuh, beradaptasi, dan mencapai kesempurnaan dirinya. Namun, perkembangan ini sangat bergantung pada lingkungan yang mendukung, seperti kasih sayang, pendidikan, dan kebebasan berekspresi.
Dalam perspektif pendidikan, Ibn Khaldun menyatakan bahwa manusia memiliki potensi intelektual (aql) yang berkembang melalui proses pembelajaran. Sementara itu, Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk menuntun kodrat atau fitrah manusia agar dapat berkembang secara optimal. Hal ini menguatkan gagasan bahwa fitrah bukan sekadar keadaan alami, tetapi sebuah potensi yang menuntut pengembangan.
Fitrah bukan sekadar keadaan bawaan, melainkan sebuah potensi yang harus diaktualisasikan. Seperti benih yang memiliki potensi untuk tumbuh menjadi pohon besar, manusia lahir dengan kecenderungan alami menuju kebaikan dan kebenaran, tetapi membutuhkan lingkungan yang tepat agar potensinya berkembang secara optimal. Pendidikan, pengalaman, dan nilai-nilai yang diperoleh dari lingkungan sosial berperan penting dalam membentuk dan mengarahkan fitrah manusia.
Aktualisasi fitrah dalam Islam, dapat dicapai melalui pembelajaran, amal saleh, dan pengalaman spiritual yang mendalam. Manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan fitrahnya menuju kebaikan. Atau sebaliknya, membiarkannya terpengaruh oleh lingkungan yang negatif. Oleh karena itu, pendidikan agama dan moral menjadi aspek penting dalam membimbing manusia agar tetap berada dalam jalur fitrahnya.
Dalam konteks sosial, peran keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat berpengaruh dalam membentuk karakter seseorang. Jika lingkungan mendukung, maka fitrah manusia akan berkembang ke arah yang positif. Sebaliknya, jika lingkungan negatif, fitrah dapat terdistorsi.
Dengan demikian, aktualisasi fitrah bukanlah proses yang terjadi begitu saja, melainkan membutuhkan usaha sadar dan lingkungan yang kondusif agar manusia dapat mencapai kesempurnaan dirinya.
Melalui pendidikan, pengalaman, dan lingkungan yang tepat, manusia dapat mengaktualisasikan fitrahnya menuju kesempurnaan. Oleh karena itu, fitrah menuntut usaha dan bimbingan agar tetap berkembang sesuai dengan nilai kebenaran dan kebaikan.
Fitrah membutuhkan ikhtiar yang mendukungnya agar berkembang dari kecenderungan bawaan menuju kesadaran moral, intelektual, dan spiritual yang sempurna. Sehingga manusia dapat mencapai titik puncak yang disebut insan al-kamil (manusia paripurna).(*)
Wallahu a’lam.
Madatte Polman, 28 Maret 2025