HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Membaca Opini Denny JA dan yang Tersembunyi di Dalamnya

September 8, 2025 19:42
IMG-20250908-WA0091

Narudin Pituin

HATIPENA.COM – Di sebuah malam akhir Agustus 2025, di jalan raya Sudirman—Thamrin Jakarta, bayangkan seorang pengemudi ojek daring merapatkan jaket hijaunya.

Ia baru saja menyelesaikan order terakhir, tetapi wajahnya tegang. Bukan karena lelah, melainkan karena berita di grup WhatsApp rekan-rekannya.

“Harga beras melonjak, cicilan motor naik, kontrak sewa rumah segera habis.”

Ia menatap jalanan ibu kota dengan rasa getir. Lebih dari 12 jam ia bekerja, tetapi tak pernah tahu apakah besok masih ada cukup order.

Ponselnya bergetar lagi—bukan notifikasi pelanggan, melainkan ajakan ikut aksi di depan DPR.

“Kita ini kaum yang rawan,” tulis temannya. “Kalau bukan kita yang bersuara, siapa lagi?”

Kisah pengemudi ojol ini bukan sekadar cerita pribadi; ia adalah simbol jutaan orang Indonesia yang kini hidup dalam bayangan ketidakpastian.

Dari rahim keresahan inilah lahir gelombang protes di 107 titik, di 32 provinsi, yang mengguncang negeri ini.

Guy Standing, ekonom dan sosiolog Inggris, menulis buku cermin zaman: The Precariat: The New Dangerous Class (2011).

Di sana ia memperkenalkan istilah prekariat—kelas sosial yang hidup dalam ketidakpastian (precariousness). Saya menerjemahkan kelas ini sebagai kelas baru yang rawan.

Berbeda dari proletariat klasik di era industri, yang miskin tetapi stabil, prekariat miskin sekaligus rapuh.

Demikianlah Denny JA memulai sebuah opini barunya yang berjudul “Meluasnya Aksi Protes dan Tumbuhnya Kelas Baru yang Rawan”. Opini seperti ini telah meluaskan jangkauan bentuk opini kita selama ini.

Opini di atas dibuka dengan narasi yang menyesakkan dada, sebuah kisah sehari-hari. Kemudian Denny JA menambahkan fakta dan data sedemikian rupa sehingga narasi itu dieksplorasi secara aktual, melibatkan jangkauan yang bersifat sosio-politik. Tidak berhenti hingga di sana, ia pun memberi referensi baru, sebagai kajian pustaka atau menunjukkan betapa bacaannya luas, yaitu dengan mengutip istilah kelas bahaya baru, “prekariat” (the precariat) dari Guy Standing (2011).

Bentuk pembuka opini seperti ini tentu bukan sembarang opini. Opini seperti ini hanya ditulis oleh orang yang telah berpengalaman lama menulis opini hingga ia mencapai bentuk opini seperti demikian dengan pembuka yang padat kisah, relevansi sosio-politik secara faktual, dan terdapat referensi sebagai rujukan ilmiah secara teoretis atau akademis.

Apabila kita membaca opini-opini Denny JA baru-baru ini, teknik menulis opininya relatif berteknik sama—dan di sinilah opini Denny JA telah mencapai bentuk yang kuat.

Di bagian tengah opini Denny JA lazimnya ditampilkan kombinasi referensi atau bacaan secara teoretis, tak jarang diciptakan perbandingan teoretis, kutipan ucapan tokoh, dan relevansi dengan isu-isu yang lebih luas secara global, baik nasional maupun internasional. Ini tentu saja lebih memperkuat pembuka opini di muka sebagai detail-detail yang signifikan (data-conscious) yang disusun secara sintaksis, dengan tata kata, yang sensitif.

Rupa-rupanya, poetika puisi esai sangat berpengaruh kepada teknik opini Denny JA belakangan ini sebab fiksi yang berkutat di otak kanan dipadukan dengan fakta yang bertengger di otak kiri. Alhasil, opini Denny JA merupakan perayaan kombinasi keduanya secara referensial dan secara estetis.

Simak kutipan opini di bagian tengah di bawah ini.

Sejarah mencatat, proletariat abad ke-19 mengguncang Eropa, melahirkan revolusi dan negara kesejahteraan.

Kini, abad ke-21, prekariat lahir di jalan-jalan Jakarta, Bandung, Medan, hingga Makassar.

Mereka datang dengan keresahan zaman digital: hidup diatur algoritma, masa depan ditentukan kontrak sementara, keberlangsungan ditentukan pasar yang dingin.

Victor Hugo pernah berkata: “Tidak ada yang lebih kuat daripada sebuah ide yang waktunya telah tiba.”

Hari ini, ide itu bernama martabat manusia yang menolak hidup dalam ketidakpastian abadi.

Michael Sandel mengingatkan: “Pasar harus menjadi alat bagi manusia, bukan manusia yang menjadi alat bagi pasar.”

Bila negara menutup telinga, keresahan ini bisa disambar populisme dan berubah menjadi api.

Namun bila negara hadir—melindungi yang rapuh, memperluas jaring pengaman sosial, membuka ruang partisipasi—maka keresahan ini bisa menjadi tenaga sejarah yang memperbarui demokrasi.

Karena sesungguhnya, protes itu bukan sekadar amarah, ia adalah jeritan zaman. Ia jeritan anak-anak algoritma yang rapuh, tetapi tetap ingin hidup bermartabat.

Dalam Decay Theory, orang cenderung mengingat awal dan akhir. Dan Denny JA pun tak membiarkan pihak pembaca opininya tak mendapat apa-apa di akhir opininya. Ia tahu persis bagaimana membuka opininya yang menyentuh dengan narasi dan ia pun sadar diri bagaimana menutup opininya dengan pesan moral yang global sekaligus personal sebagai berikut.

Prabowo sudah banyak sekali menyiapkan aneka program yang populis, dengan anggaran yang masif. Masalah kemudian ada di tingkat eksekusi.

Termasuk dalam kategori eksekusi itu adalah kemampuan adaptif, untuk merevisi program, sesuai kebutuhan yang nyata.

Dan sejarah selalu berpihak kepada mereka yang berani mendengarkan suara paling lemah. Yang paling rawan. Kaum Prekariat.

Sebagai kesimpulan, teknik menulis opini seperti ini secara semiotik Peircean telah mencapai sistematika yang lengkap dalam wilayah tafsiran atas konteks problem (interpretant) yang dimulai dari kata atau frasa, proposisi, hingga argumen yang kukuh (Narudin, 2023). Opini seperti ini bukan melulu gagasan versus gagasan, fakta versus fakta, melainkan pula konfrontasi intelektual-analitis, berupa benturan kebenaran gagasan versus kebenaran fakta—yang memungkinkan lompatan pengaruhnya yang sugestif dan eksemplaris. (*)

Subang, 8 September 2025

Referensi

Narudin. 2023. Sintesemiotik: Teori dan Praktik. Batam: MirNov.

JA, Denny. 2025. Opini “Meluasnya Aksi Protes dan Tumbuhnya Kelas Baru yang Rawan”, Jakarta, diakses pada Senin, 8 September 2025.