HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Membaca Perang Via Sainsfik

June 25, 2025 09:49
IMG-20250625-WA0049

Oleh ReO Fiksiwan

“Mereka yang menasihati penguasa di jalan Tao, tidak ingin dunia ditaklukkan dengan senjata.“ – Tao Te Ching : 30 –

HATIPENA.COM – Tak penting, apakah perang Iran dan Israel, salah satu konflik yang paling diperdebatkan di Timur Tengah, akan menyeret dunia global ke dalam perang dunia ketiga?

Pasalnya, dari debut realisme politik dunia, perang bukan perdebatan potensi meluas atau tidak. Sebagai algoritme dari evolusi pengetahuan, perang memberi petunjuk bagaimana eskalasi sains mengalami dromologi Virilio sangat pesat.

Terbukti, hanya dalam dua dasawarsa lebih, sains dan teknologi nuklir lebih cepat dan tepat mengancam stabilitas beberapa kawasan yang dianggap sebagai pelecut progresivitas peradaban umat manusia dengan populasi fantastis: 7,3 miliar.

Wah! Tapi, tinggalkan fakta meragukan ini. Karena sejak Malthus hingga prediksi Klub Roma 1970, batas-batas pertumbuhan dalam seluruh ekologi dan ekosistem dunia sedang diambang kepunahan.

Terbukti lagi, prediksi kehancuran dan kepunahan keenam, The Sixth Extinction: An Unnatural History(2014), Elizabeth Kolbert(63) hingga terpaan virus global, Covid-19, belum menunjukkan presisi prediksi sains.

Untuk itu, membaca perang dari prediksi sains, bisa ditukar dengan memahami dinamika ini via fiksi sains, sainsfik.

Pada Pilpres 2019, Capres, kini final presiden, Prabowo Subianto, dalam satu kampanye mengingatkan — setelah membaca novel fiksi ilmiah “Ghost Fleet”(2015), karya August Cole dan P.W. Singer — Indonesia akan runtuh sebagai negara pada 2030.

Jika prediksi dari sainsfik itu ditaksir saja, sama persis, kini Presiden Prabowo, akan menafikan ramalan kuasa kepunahan tersebut bagi masa depan, tulisnya: Paradoks Indonesia.

Lagi-lagi, tinggalkan prediksi fakta fiksi ini.

Kembali ke sainsfik. Meskipun berlatar perang masa depan, Ghost Fleet menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana sains, teknologi dan geopolitik dapat membentuk konflik modern?

Mengacu pada novel, terjemahan Mizan(2018), berhalaman 542 disertai 503 catatan kaki, perang masa depannya digambarkan sebagai konflik asimetris.

Para aktor non-negara dan negara-negara kecil dapat menantang kekuatan besar dengan menggunakan teknologi canggih.

Tak pelak, perang asimetris ini sedang diprakarsai Iran-Israel, di mana Iran telah mengembangkan kemampuan rudal dan drone yang canggih untuk menantang Israel.

Dalam konteks ini, teknologi menjadi faktor kunci dalam menentukan hasil perang.

Dengan kata lain, isi Ghost Fleet, sangat menekankan peran proksi dan aktor non-negara dalam konflik modern.

Dalam perang Iran-Israel, Iran telah menggunakan proksi seperti Hezbollah dan milisi Syiah di berbagai negara untuk mempromosikan kepentingan mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa perang modern tidak hanya melibatkan negara-negara besar dengan promosi adikuasa pengendali dunia.

Akan tetapi, aktor non-negara dalam mikro-global justru ikut menjadi aktor-aktor pembantu penting dalam panggung besar perang.

Antara fakta daring dan luring, di mana semua proksi aktor-aktor medan perang yang penting berperan superaktif, serangan siber dan intelijen siber memainkan peran kunci sangat menentukan, prediksi dan kalkulasi, hasil perang.

Bagi perang Iran-Israel, dunia maya jadi arena, cultural field Bourdieu-an penting, di mana kedua belah pihak telah melakukan serangan siber dan spionase untuk mengumpulkan intelijen dan mengganggu operasi lawan.

Membaca perang Iran-Israel dari perspektif “Ghost Fleet”, menunjukkan bahwa konflik ini memiliki banyak kesamaan dengan perang masa depan yang telah difiksikan secara mutakhir.

Selain itu, jika cukup sabar menelisik kisi-kisi bacaan genre sainsfik ini sebagai thriller, ada empat faktor utama yang bisa direka ulang untuk mencapai apa yang dimaksud oleh kritikus sastra, Hans Robert Jauss, dalam Literaturgeschichte als Provokation(1970) sebagai resepsi estetik(Rezeptionästhetik) dan wawasan harapan(Erwartungshorizont).

Keempat faktor utama itu, masing-masing:

/1/ Latar Perang antara aktor besar negara. Amerika Serikat, Cina, dan Rusia diawali dengan perang dingin dan kemudian memanas di laut, darat, udara, ruang angkasa hingga dunia maya.

Sejak awal, 400 kilometer di atas permukaan bumi, kosmonaut Vitaly Simakov kehilangan tawanya menurut guyonan astronaut, Kolonel AU AS, Rick Farmer.

Hingga kelak, 10.590 meter di bawah permukaan laut, Palung Mariana, Samudra Pasifik, Zhu Jin justru sedang membayangkan istrinya, Liu Fang terbungkuk di atas papan tiknya sembari mengencangkan rambut ekor kudanya.

Padahal, Zhu sedang menjalankan misi kelautan dengan kapal selam milik COMRA, Badan Riset dan Pengembangan Sumber Daya Mineral Tiongkok.

/2/ Teknologi Perang, juga dipaparkan bagaimana penggunaan teknologi canggih seperti drone robot, kapal perang tua, dan serangan siber dalam perang.

“Tinggalkan viz glasses dan malware sedang bergerak melalui jejaring rahasia SIPRNet milik Departemen Pertahanan AS.“

/3/ Protagonis. Tidak penting disebut secara spesifik. Namun berbagai karakterdalam perang dimainkan pilot tempur, veteran perang hingga hacker remaja.

/4/ Plot berpusat pada perang antara negara-negara besar dan bagaimana mereka unjuk teknologi perang canggih untuk memenangkan perang.

Persis antara iron dome, david‘s sling dan rudal-rudal balistik hingga pesawat tempur siluman yang menjatuhkan ribuan bom atom ke instalasi nuklir.

Walhasil, antara fakta dan fiksi, sains, teknologi, proksi, dan dunia maya, siber-digital, menjadi faktor kunci bagaimana menentukan hasil perang?

Membaca dinamika perang, fakta maupun fiksi, dan tanpa asumsi-asumsi metafisik-teologis, bisa dianggap “menunaikan ibadah alam semesta.“

Karena dengan itu, merefleksikan bentuk “Bumi Berantakan“, The Wretched of the Earth(1961), dari Franzt Fanon, justru lebih punya nuansa otentik menghadapi masa depan “spiritual war.“

Dan Laozi pun hendak mengakhirinya:

“Ketika pasukan besar berperang, kemalangan satu-satunya pemenang!“