Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Memungut di Tengah Wajib Belajar

May 23, 2025 07:22
IMG-20250523-WA0017

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Di sebuah rumah sempit pinggiran kota Denpasar, seorang ibu memandangi anaknya yang sebentar lagi bakal melanjutkan sekolahnya ke SMP.

Wajah anak itu berseri-seri, melihat nilainya seperti mendapat kupon door prize makan di restoran yang jadi favoritnya.

Tapi si ibu justru gelisah. Bukan karena nilai anaknya, melainkan karena pertanyaan yang menggantung di benaknya: Setelah ini, sanggupkah aku sekadar menyekolahkan ke SMP di seberang rumah itu?

Ironis. Di negeri yang katanya menjamin “wajib belajar sembilan tahun”, orang tua justru dipaksa berpikir keras tentang biaya sekolah.

Bukan karena sekolah itu swasta elit, tapi karena sekolah negeri—yang seharusnya menjadi wajah negara—masih juga memungut. Masih juga menjual mimpi lewat label “uang komite”, “seragam”, dan uang lainnya.

Negara bilang: pendidikan dasar itu wajib. Tapi kepada siapa kewajiban itu dibebankan? Kepada rakyat. Kepada ibu-ibu seperti dia, yang harus menghitung-hitung apakah uang hasil loundrynya cukup untuk bayar uang komite, membeli seragam agar anaknya bisa sama dengan yang lain, mencari buku yang katanya harus asli, resmi, baru—meski anaknya bisa saja belajar dari buku bekas.

Wajib belajar. Tapi anak-anak tetap disaring. Tetap ada yang tertolak hanya karena alamat rumahnya salah atau karena orang tuanya tak punya cukup uang untuk menyiasati sistem yang katanya gratis itu.

Padahal konstitusi sudah jelas. Undang-Undang pun terang. Pendidikan dasar—SD dan SMP—adalah tanggungan negara. Tanggungan bupati atau walikota.

Tapi mengapa sampai hari ini, masih ada sekolah negeri—ya, negeri—di Kota Denpasar, yang diam-diam meminta ini dan itu, dan pemerintah membiarkannya atas nama komite sekolah?

Apakah bupati tidak tahu? Apakah anggota dewan tidak pernah mendengar? Jika tidak tahu, maka mereka lalai.

Jika tahu tapi diam, maka mereka turut serta. Turut serta membiarkan wajah negara menjelma jadi pemungut liar, yang mengatasnamakan komite untuk menutupi ketidakcukupan anggaran yang seharusnya mereka perjuangkan.

Inilah dunia paradoks yang menyakitkan. Negara yang mewajibkan tapi tidak menjamin. Pemerintah yang bicara visi-misi pendidikan tapi abai pada fakta lapangan.

Dewan yang sibuk menyusun perda dan reses, tapi lupa bahwa ada anak-anak yang hampir tak bisa lanjut sekolah hanya karena tak mampu beli buku baru, tak mampu bayar uang komite.

Apa artinya wajib belajar jika negara tidak menanggung biaya nyatanya? Apa artinya pendidikan gratis jika tetap saja orang tua harus merogoh kocek untuk hal-hal yang tak wajib tapi diwajibkan dalam tanda kutip?

Ini bukan soal uang semata. Ini soal prinsip. Soal keadilan. Soal negara yang sedang perlahan kehilangan wajahnya—karena diam saat anak-anaknya harus berjuang sendirian menuntut hak yang dijanjikan.

Wajib belajar sembilan tahun bukanlah slogan. Ia adalah janji yang harus ditagih. Dan jika ada satu saja anak Indonesia yang tidak tamat SMP, apalagi SD karena sistemnya gagal memfasilitasi, maka itu bukan kesalahan anak itu. Itu adalah kegagalan negara.

Dan kegagalan itu punya nama: pemerintah kabupaten/kota yang tak mau melihat, dan wakil rakyat yang tak pernah benar-benar mendengar jeritan rakyat yang diwakilinya. (*)

Denpasar, 23 Mei 2025