Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Menafsir Ulang “Aduh” Putu Wijaya

February 26, 2025 19:11
IMG-20250226-WA0023

Oleh Jonminofri

HATIPENA.COM – Lakon Aduh dimainkan lagi pekan lalu. Jumat 20 dan 21 Februari 2025. Saya menonton pada hari kedua. Tempatnya Teater Ketjil, di samping Teater Besar. Kendati bernama kecil, teater ini mampu menampung 250 orang. Pas untuk pertunjukkan Aduh karya Putu Wijaya.

Ada dua yang istimewa pada Aduh Putu Wijaya. Pertama, naskah teater ini ditulis tahun 1971. Pada tahun yang sama, Aduh dipilih sebagai naskah terbaik Dewan Kesenian Indonesia. Jadi, bisa jadi sebagian penonton pada malam itu belum lahir ketika dia menonton Aduh. Tapi, saya tidak melihat penonton meninggalkan teater. Artinya, mereka bisa menikmati pertunjukkan 120 menit ini.

Mengapa mereka terpaku duduk di kursi masing-masing? Saya menduga mereka menikmati Aduh sebagai karya seni yang elok. Setiap karya seni yang bagus kita betah menikmatinya berlama-lama. Ini contoh saja: Lagu-lagu The Beatles masih kita dengarkan sampai saat ini. Begitu juga lukisan Fernando Botero, sering kita intip-intip untuk memuaskan hati dan mata. Atau, puisi “Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana” Sapardi Djoko Damono yang tak bosan dibaca berkali-kali. Aduh, juga begitu. Saya sudah menonton Aduh di Salihara, Jakarta selatan tahun lalu. Kali ini saya menonton lagi.

Keistimewaan kedua dari Aduh: meninggalkan kesan mendalam. Apa sih pesan yang disampaikan oleh Putu Wijaya melalui Aduh. Bagian ini menurut saya menarik sekali. Pada pertunjukkan pertama saya menangkap kesan bahwa tonil ini adalah karya abstrak, penuh teror, dan absurd. Kita duduk di bangku penonton dengan rasa was-was, dan menanti kejutan apa yang disajikan di panggung.

Putu Wijaya menulis Aduh sejatinya untuk menggambarkan persoalan sosial masyarakat Indonesia. Masalah kemanusiaan. Dia memotret hubungan sosial masyarakat pada tahun 1970-an awal. Tentang kepedulian dengan sesama. Seorang asing tiba-tiba hadir di depan sejumlah pekerja. Bertingkah aneh. Tidak bisa ditanya: tidak mendengar atau tidak bisa bicara atau sakit. Kemudian orang ini mati. Jika saja para pekerja ini peduli pada orang sakit yang datang tadi, mungkin dia masih hidup. Tapi para pekerja ini juga pasang sikap waspada. Dulu ada orang seperti ini datang, tapi dia pura-pura sakit aja. Jadi, para pekerja dalam keraguan terus.

Putu menyampaikan persoalan sosial itu dengan cara berbeda. Ya, dengan gaya Putu Wijaya. Para pelakon tidak perlu diberi nama. Tapi mereka tetap punya id, dengan sebutan yang khas, sesuai dengan yang diperankannya. Misalnya, tukang sapu, pemimpin, atau tukang-tukang lain sesuai dengan apa yang dilakukannya pada di panggung. Pertunjukan dengan gaya seperti ini, sering disebut bergaya absurd. Tapi setelah menonton dua kali (yang pertama saya nonton di Salihara, Jakarta Selatan), saya baru paham. Seperti kata Putu Wijaya, lakon ini bukan cerita yang absurd. Tetapi penggambaran situasi masyarakat secara karikatural. Karena karikatural, adegannya seperti dilebih-lebihkan. Misalnya, ketika para pekerja menduga orang sakit di tonil ini tidak bisa bicara, pelakunya benar-benar ngomong mendekatkan mulutnya ke telinga si sakit, sambil teriak. Sangat karikatural dan lucu.

Cerita memang fokus pada orang sakit itu. Jadi, si orang sakit (orang asli) berada di panggung dari awal sampai dia mati (diperankan oleh patung) hingga sandiwara ini selesai. Orang sakit itu tiba-tiba datang di tengah sekelompok pekerja. Tidak jelas apa benar-benar sakit, sakitnya apa, berasal dari mana. Serba gelap. Dan tentu saja, menimbulkan banyak penafsiran oleh para pekerja itu. Inti cerita terletak pada pertanyaan atau komentar yang diajukan kepada orang sakit ini. Juga untuk mengkonfirmasi siapa sebenarnya orang ini. Mereka mencurigai semua yang dilihatnya pada si sakit. Bahkan jenis kelamin laki-laki yang sakit ini, juga ingin dipastikan kelelakiannya: apakah benar benar seorang pria. Padahal, di luar urusan kelamin yang tersembunyi, pria ini jelas laki-laki. Bak netizen di media sosial, 10 pekerja ini berkomentar tentang segala hal. Karena kritis, atau sekedar lucu-lucuan.

Polemik di antara pekerja itu semakin heboh setelah si orang asing ini mati. Apakah perlu lapor polisi? Jika lapor polisi, mereka takut kena pasal kelalaian: jika sejak awal dibawa ke rumah sakit, si pria ini mungkin saja selamat. Para pekerja itu heboh lagi mendiskusikannya.

Sekali lagi, pada lakon ini pemain inti hebat semua serta bertenaga besar. Bayangkan tonil ini berlangsung 120 menit (lebih lama 30 menit dibandingkan pementasan Aduh sebelumnya). Sepanjang itu pula, para pemain bergerak di panggung. Sambil berdialog pula. Bukan sekadar bergerak, juga berlari dan melompat. Tidak banyak orang bisa melakukan hal seperti ini dengan baik dalam durasi 2 jam, apalagi para pemain tidak semuanya muda.

Salah satu dari mereka, dan paling senior pula (secara pengalaman dan usia) adalah Jose Rizal Manua. Yang memerankan pemimpin. Berlari ke sana ke mari. Sambil berteriak atau ngomong. Hormat saya pada Bang Jose. Namun di tengah pertunjukan, ada masa Bang Jose tidak tampak di panggung. Beberapa menit kemudian (mungkin 5 atau 10 menit) Bang Jose muncul kembali. Saya menduga, jeda sebentar ini digunakan oleh Bang Jose untuk mengumpulkan energi.

Di sini pula hebatnya Sutradara Putu Wijaya, hilangnya Bang Jose sejenak di panggung tidak terasa oleh penonton, atau tidak mengganggu jalan cerita. Sebab, para pemain ini tidak punya nama di panggung, sehingga perannya diambil alih oleh pemain lain, semuanya bermain dengan prima.

Cerita yang ditulis Putu tahun 71 itu, rasanya masih relevan hingga kini. Bukan saja sejalan dengan realitas sosial. Atau kritik sosial yang disampaikan oleh Putu Wijaya melalui Aduh masih berlaku hingga kini. Sebab, persoalan atau konflik seperti dalam cerita Aduh tidak habis dalam realitas sosial.

Bahkan sekarang, di zaman internet ini, persoalan ini terjadi bukan saja di realitas sosial. Tetapi juga terjadi setiap hari di media sosial. Karena itu, Aduh ini menjadi tambah menarik jika dikaitkan dengan apa yang terjadi di media sosial saat ini: Tiktok, X, Instagram, Facebook, bahkan Youtube.

Justru persoalan di realitas sosial itu sudah berpindah ke media sosial. Bahkan lebih sistematis, masif, dan terstruktur. Yaitu, melalui postingan pemilik akun. Satu persoalan dimuat di satu postingan. Lalu netizen mengomentari postingan tersebut: isinya sangat beragam. Semakin bagus atau kontroversial persoalannya, makin banyak komentarnya. Mulai komentar kejam, sadis, kasar, dan ada juga komentar lucu dan manis.

Jadi, jika orang sakit dalam lakon Putu itu bisa diumpamakan sebagai sebuah postingan (dalam bentuk video pendek: orang sakit tergeletak, menggeliat, kemudian mati). Sedangkan dialog pekerja itu adalah komentar netizen yang kejam, perhatian, verifikasi, lucu, ngasal, dan sebagainya.

Hal semacam ini banyak terjadi di media sosial. Saya contohkan yang populer: Deddy Corbuzier dalam video pendek “memarahi” seorang murid yang bilang rasa makanan gratis di sekolah tidak enak. Komen yang muncul di bawah postingan tersebut banyak sekali. Sebagian besar mengecam. Kalau diambil teori Putu Wijaya: postingan Deddy itu sebagai “orang sakit pada lakon Aduh” sedangkan komentar netizen adalah dialog pekerja. Hal yang sama pada Aduh dan komentar netizen: kita sama-sama tidak tahu (peduli) nama yang memberi komentar sebab banyak sekali akun media sosial menggunakan bukan nama asli. Yang penting adalah apa yang dikatakannya atau ditulisnya.

Sekarang setiap melihat postingan yang menjadi viral, saya ingat Aduh. Itu yang terjadi pada Agnes Monica yang dituntut bayar royalti oleh seorang penulis lagu. Komentar netizen adalah seperti celotehan para pekerja di panggung Aduh. Komentar tentang segala hal. Mulai yang perlu, penting, atau saran.. Sampai komentar asal nyeplak.

Jika ditarik lebih jauh, heboh lagu “Bayar Polisi” yang dinyanyikan oleh Sukatani adalah seperti cerita Aduh yang diperluas menjadi heboh nasional. Dalam hal ini yang berperan sebagai “orang sakit” adalah Sukatani dan lagu “Bayar, Bayar, Bayar”. Sedangkan pemberi komentar di berbagai media sosial adalah para pekerja. Mungkin di jajaran pemberi komentar termasuk Menteri Fadli Zon, Kapolri Sigit, dan lainnya.(*)