HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Menanggapi Tiga Wajah Civil Society

September 4, 2025 09:41
IMG-20250904-WA0032

Oleh ReO Fiksiwan

Masyarakat Islam mensakralkan kehidupan sehari-hari, dan mengesampingkan cita-cita ekonomi di atas cita-cita moral.” Erenst Gellner (1925-1995), Conditions of Liberty: Civil Society and Its Rivals (1994).

HATIPENA.COM – Dalam artikelnya yang reflektif dan provokatif, Denny JA, Ketua Umum Satupena dan Komut PHE, mengajukan tiga wajah civil society sebagai cermin dari dinamika politik kontemporer: wajah demokratis yang menjadi pengawas kekuasaan, wajah transisi yang menjadi sekolah kewargaan, dan wajah otoriter yang menjadi bara kecil dalam gelapnya represi.

Ketiga wajah ini bukan hanya kategori analitis, tetapi juga parabel tentang bagaimana masyarakat sipil berperan dalam membentuk, menguji, dan menantang negara.

Dalam konteks Indonesia dan dunia Islam, wajah-wajah ini perlu dibaca ulang melalui lensa filsafat sosial dan spiritualitas politik yang lebih dalam.

Di negara demokratis, civil society tampil sebagai penjaga moral dan hukum, mengawasi negara agar tidak tergelincir dalam tirani mayoritas atau korupsi institusional.

Namun, demokrasi bukan jaminan bagi keberdayaan masyarakat sipil. Ketika demokrasi menjadi prosedural belaka, civil society bisa terjebak dalam rutinitas advokasi tanpa daya transformatif.

Di sinilah pentingnya membedakan antara civil society yang hanya menjadi ornamen demokrasi, dan yang benar-benar menjadi ruang pembebasan.

Dalam negara transisi, wajah civil society lebih ambigu. Ia bisa menjadi ruang belajar, tetapi juga bisa menjadi alat elite yang memanipulasi aspirasi rakyat.

Di negara otoriter, civil society adalah harapan yang nyaris padam, namun justru dari kepedihan itu lahir keberanian yang tak terduga.

Untuk memahami kedalaman wajah-wajah ini, kita perlu menengok pemikiran Ernest Gellner tentang dua wajah Islam: high-Islam dan low-Islam.

Dua wajah ini bisa diacu dari buku-bukunya, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan(Mizan, 1995), Muslim Society (1981) dan Menolak Posmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Religius (Mizan, 1994).

High-Islam adalah Islam tekstual, formal, dan institusional; sedangkan low-Islam adalah Islam lokal, spiritual, dan praksis.

Dalam konteks civil society, keduanya bisa menjadi kekuatan yang saling melengkapi atau saling menegasikan.

Ketika high-Islam terlalu dekat dengan negara, ia bisa kehilangan daya kritisnya.

Sebaliknya, low-Islam yang berakar pada komunitas bisa menjadi sumber etika sosial yang membumi.

Robert Hefner (73) menyebut ini sebagai Civil Islam—Islam yang berperan aktif dalam membangun masyarakat sipil yang inklusif, plural, dan demokratis.

Dalam bukunya, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (2000), ini, Hefner menantang stereotip bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi.

Ia menunjukkan bagaimana gerakan Islam di Indonesia justru memainkan peran penting dalam transisi menuju demokrasi pasca-Orde Baru, dengan menolak gagasan negara Islam dan mendukung pluralisme, hak perempuan, serta etika publik yang inklusif.

Civil Islam bukan hanya tentang partisipasi politik, tetapi tentang etika publik yang lahir dari iman dan solidaritas.

Anwar Ibrahim (76), kini Perdana Menteri Malaysia, dalam bukunya The Asian Renaissance (1996), yang mengusulkan konsep masyarakat madani sebagai sintesis antara nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip demokrasi modern.

Masyarakat madani bukan sekadar masyarakat sipil, tetapi masyarakat yang menjunjung tinggi keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab moral.

Buku ini ikut mengusung visi tentang kebangkitan Asia yang berakar pada nilai-nilai spiritual, demokrasi, dan pluralisme.

Anwar Ibrahim menekankan pentingnya sintesis antara tradisi Timur dan modernitas Barat, serta peran masyarakat madani dalam membangun peradaban yang adil dan inklusif

Dalam konteks ini, civil society bukan hanya ruang sosial, tetapi juga ruang spiritual.

Ia adalah tempat di mana manusia belajar menjadi warga, bukan hanya pemilih; menjadi pelayan publik, bukan hanya konsumen kebijakan.

Jika kita tarik lebih jauh, wajah-wajah civil society ini bisa dibandingkan dengan model masyarakat asabiyah dari Ibnu Khaldun (Lihat Mukadimah,Ahmadi Thoha, Pustaka Firdaus,1992).

Asabiyah adalah solidaritas kelompok yang menjadi motor peradaban. Namun, ketika asabiyah kehilangan ruh moralnya, ia berubah menjadi alat dominasi (Lihat Mukadimah,.

Civil society yang sehat adalah yang mampu menjaga asabiyah tetap hidup sebagai kekuatan kolektif, bukan sebagai fanatisme sempit.

Ulrich Beck (1944-2015), dalam gagasan masyarakat risiko, Risikogesellschaft – Auf dem Weg in eine andere Moderne (1986; Pustaka Pelajar,2010), menunjukkan bahwa modernitas membawa ketidakpastian baru—dari krisis lingkungan hingga disinformasi digital.

Konsep masyarakat risiko (Risikogesellschaft), yaitu masyarakat modern yang semakin dihadapkan pada risiko global seperti bencana teknologi, krisis lingkungan, dan ketidakpastian ekonomi sebagai konsekuensi dari modernisasi.

Civil society dalam masyarakat risiko harus menjadi ruang refleksi dan mitigasi, bukan hanya reaksi.

Menanggapi tiga wajah civil society berarti menanggapi wajah kita sendiri sebagai warga negara.

Apakah kita hanya menjadi penonton dalam demokrasi prosedural, atau menjadi pelaku dalam demokrasi substantif?

Apakah kita hanya mengeluh dalam transisi, atau belajar menjadi warga yang kritis dan empatik?

Apakah kita hanya takut dalam otoritarianisme, atau berani menyalakan lilin dalam gelap?

Jawabannya bukan di negara, bukan di pasar, tetapi di ruang sipil yang kita bangun bersama—dengan iman, akal, dan keberanian.

Civil society bukan hanya wajah politik, ia adalah wajah kemanusiaan kita yang paling jujur. (*)

#coversongs: Flash Gordon Theme by Queen. Soundtrack-nya, yang digarap oleh band legendaris Queen, juga dirilis pada tahun yang sama.

Album “Flash Gordon” keluar pada 8 Desember 1980 di Inggris melalui EMI Records, dan menyusul di Amerika Serikat pada 27 Januari 1981 melalui Elektra Records dan menjadikannya salah satu proyek soundtrack paling eksperimental Queen. Lagu ikonik “Flash’s Theme” dengan teriakan “Flash! Ah-ahhh!” jadi ciri khas yang tak terlupakan.