Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Badung, permata Bali, sebuah kabupaten yang berdiri anggun di antara paradoks negeri ini.
Banyak daerah lain menengadah menanti kucuran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pusat, Badung tegak mandiri, tak bergantung, bahkan memiliki APBD yang membubung hingga Rp10,7 triliun di tahun anggaran 2025.
Dari jumlah fantastis itu, Rp10,6 triliun bersumber dari pendapatan daerahnya sendiri. Sebuah anomali dalam lanskap keuangan daerah Indonesia. Sebuah kisah yang layak menjadi legenda.
Dengan 537.739 jiwa penduduk, Badung memiliki kapasitas untuk melangkah lebih jauh.
Tak sekadar membangun jalan dan infrastruktur dalam batas administratifnya, tetapi juga berkontribusi untuk Bali secara keseluruhan.
Tol Mengwi-Gilimanuk bukan sekadar jalur kendaraan, tetapi sebuah pernyataan: bahwa Badung adalah arteri ekonomi Bali, dan Bali adalah tanggung jawabnya.
Lebih jauh, Badung harus berani melangkah ke ranah bisnis yang lebih besar. Membentuk konsorsium pembangunan Bali misalnya yang suatu hari nanti menjadi sumur emas APBD, selain tambang melimpah dari pariwiwisata.
Atau lebih dari itu memiliki hotel berbintang di Badung dan di luar Badung, bahkan di “10 Bali Baru” yang dicanangkan pemerintah pusat. Jika demikian, 10 Bali Baru itu benar-benar tumbuh dan berkembang dari akarnya pariwisata Bali; Badung.
Jika hotel-hotel ini berdiri dengan panji Badung, maka putra-putri Bali khususnya Badung akan memiliki kesempatan untuk tumbuh menjadi tenaga kerja profesional.
Tak hanya bekerja di bilik-bilik kecil pada pekerjaan di kampung sendiri, tetapi melanglang di puncak-puncak industri perhotelan di negeri ini, bahkan di dunia.
Tak berhenti di situ? Badung juga bisa memiliki maskapai penerbangan sendiri Badung Airways misalnya. Ini pasti keren, Badung Airway bisa menerbangkan ribuan, bahkan jutaan wisatawan langsung ke jantung pariwisata Bali?
Menjadi paradoks Badung yang kaya, jika hanya menjadi biasa saja. Bukahkah wantilan dan pura-pura di Badung sudah megah gak mungkin dibongkar lagi?
Badung harus luar biasa karena memiliki semua yang dibutuhkan: dana yang besar, sumber daya yang melimpah, serta posisi strategis sebagai jantung pariwisata dunia. Justru Badung menjadi paradoks jika tidak melakukan terobosan itu.
Jika Badung hanya berkutat dalam pola belanja rutin: belanja operasional Rp6,06 triliun, belanja modal Rp2,8 triliun, dan lainnya yang habis dalam administrasi tanpa lompatan berarti, semua itu tak akan berarti banyak.
Bukankah sebuah ironi jika daerah yang begitu kaya hanya berjalan di tempat? Jika Badung tetap bermain aman, ia hanya akan menjadi legenda keuangan daerah yang stagnan.
Namun, jika ia berani bermimpi dan bertindak, maka Badung bisa menjadi pionir: sebuah daerah yang tidak hanya kaya, tetapi juga inovatif, berdaulat, berdaya dan berjaya.
Dunia adalah paradoks, dan Badung berdiri di persimpangan. Kini, tinggal memilih: menjadi kisah sukses yang dituliskan generasi mendatang, atau sekadar catatan APBD yang tak dikenang. (*)
Denpasar, 14 Maret 2025