Dwi Sutarjantono
(Penulis, Mind Programmer)
AWAL tahun datang seperti seorang musafir di senja yang mendung, mengetuk pintu dengan
ketidaksabaran, membawa koper berisi teka-teki.
Di Los Angeles, awal ini disambut dengan nyala api yang melahap lebih dari 40 ribu hektare lahan. Api itu merenggut 24 nyawa, memaksa lebih dari 92 ribu orang meninggalkan rumah mereka. Pesta malam tahun baru yang seharusnya dirayakan dengan suka cita justru memicu bencana, dibantu oleh angin Santa Ana yang membawa kobaran api ke segala penjuru.
Dalam keheningan setelah kebakaran, kita mendengar denting jam yang tak pernah berhenti. Waktu melangkah dengan kesetiaan yang dingin, tak peduli pada harapan atau ketakutan manusia.
Kebakaran di Los Angeles hanyalah satu kisah dari banyak tragedi yang membuka tahun ini. Dari penjuru dunia bisa saja datang kabar bencana lain—banjir yang menyapu rumah hingga menyisakan puing dan kenangan, tanah longsor yang menelan desa-desa kecil, angin ribut, gempa, dan api. Seperti orkestra yang kehilangan nada, semuanya datang bersama, menciptakan harmoni kepedihan.
Di balik semua ini, ada sesuatu yang lebih sunyi, lebih dalam: pertanyaan tentang keberadaan kita. Mengapa manusia terus bertahan ketika dunia tampak tak berpihak? Mengapa kita tetap menyusun rencana, membangun mimpi, meskipun langit begitu suram?
Mungkin jawabannya terletak pada keberanian yang sederhana tetapi penuh makna: keberanian untuk berdiri di tengah badai. Tidak ada jaminan bahwa esok akan lebih cerah, tetapi kita tetap harus menyalakan lampu kecil di sudut hati, seperti mercusuar yang menolak padam meski diterjang gelombang.
Senyampang masih awal tahun ini, mari kita berhenti sejenak untuk memperhatikan. Pada tetangga yang diam-diam menderita, pada bumi yang semakin letih, pada anak-anak yang bertanya mengapa dunia terasa begitu berat. Dalam keheningan ini, mungkin kita menemukan jawaban bahwa menjadi manusia berarti berbagi, peduli, dan memahami. Bukan hanya meminta dan menuntut.
Penulis Haruki Murakami pernah menulis, “When the storm is over, you won’t remember how you made it through, how you managed to survive. You won’t even be sure, in fact, whether the storm is really over. But one thing is certain. When you come out of the storm, you won’t be the same person who walked in.”
Awal tahun adalah badai yang datang tanpa undangan. Namun, badai ini juga sebuah panggung, menguji kita untuk menjadi lebih baik, lebih bijak. Menjadikan setiap langkah sebagai doa, setiap tindakan sebagai harapan.
Maka ketika hujan akhirnya berhenti, kita akan bisa tetap berdiri di bawah langit baru, tidak lagi sama seperti sebelumnya, tetapi sebagai manusia yang yakin dan percaya bahwa langit baru adalah langit yang lebih bercahaya. Mungkin, itu sudah lebih dari cukup. (*)