Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Mencari Pilihan Bentuk Hukum

March 18, 2025 17:54
IMG_20250318_175249

Oleh Dr. I Wayan Sudirta, SH. MH
Anggota Komisi III Fraksi PDI Perjuangan DPR RI

HATIPENA.COM – Dalam ketatanegaraan Indonesia, perumusan haluan negara menjadi perdebatan yang terus berkembang, terutama dalam menentukan bentuk hukum yang tepat. Sejarah mencatat bahwa Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pernah menjadi pedoman pembangunan nasional sebelum dihapus pasca-amandemen UUD 1945. Pasca-amandemen, muncul gagasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai pengganti GBHN untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional.

Namun, tantangan utama adalah menentukan bentuk hukum PPHN agar tetap menjadi instrumen kebijakan yang mengikat, tetapi tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi. Dalam hal ini, terdapat berbagai alternatif yang dapat dipertimbangkan, masing-masing dengan implikasi hukum dan politik yang berbeda.

Dinamika Kedaulatan dan Bentuk Hukum

Kedaulatan rakyat sebagai prinsip dasar dalam ketatanegaraan Indonesia telah mengalami berbagai tafsir. Pada masa sebelum amandemen UUD 1945, MPR diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara yang mencerminkan kehendak rakyat secara kolektif. Namun, setelah amandemen, terjadi pergeseran konsep dengan menegaskan supremasi konstitusi dan prinsip negara hukum.

Konsep kedaulatan rakyat kemudian menghadapi ketegangan paradigmatik, antara pemahaman kedaulatan rakyat secara langsung dengan sistem perwakilan dalam lembaga negara. Dalam konteks ini, PPHN sebagai instrumen kebijakan harus mempertimbangkan keseimbangan antara kesinambungan pembangunan nasional dan mekanisme checks and balances dalam sistem ketatanegaraan.

Alternatif Bentuk Hukum PPHN

Beberapa alternatif bentuk hukum PPHN yang menjadi perdebatan meliputi:

  1. Diatur dalam UUD NRI 1945

PPHN akan memiliki kekuatan hukum tertinggi dan mengikat seluruh lembaga negara.

Memberikan stabilitas dalam arah pembangunan nasional.

Namun, akan membatasi fleksibilitas dalam menyesuaikan kebijakan dengan dinamika politik dan sosial.

  1. Diatur melalui Ketetapan MPR

Memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan Undang-Undang tetapi lebih fleksibel dibandingkan konstitusi.

Dapat memberikan arah pembangunan jangka panjang tanpa mengurangi kewenangan pemerintahan terpilih.

Namun, mekanisme Ketetapan MPR pasca-amandemen masih menjadi perdebatan hukum.

  1. Diatur melalui Undang-Undang

Memungkinkan fleksibilitas dalam implementasi dan adaptasi terhadap perubahan zaman.

Namun, memiliki risiko perubahan setiap periode pemerintahan, sehingga tidak menjamin kesinambungan kebijakan.

Setiap alternatif memiliki konsekuensi terhadap stabilitas pemerintahan dan kesinambungan pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan kajian komprehensif terhadap bentuk hukum PPHN, baik melalui studi perbandingan dengan negara lain maupun berdasarkan teori hukum.

Komparasi PPHN dengan Negara Lain

Dalam kajian hukum tata negara, beberapa negara memiliki instrumen serupa dengan PPHN yang dikenal sebagai Directive Principles of State Policy (DPSP).

  1. India

DPSP diatur dalam Konstitusi India (Pasal 36-51).

Bersifat sebagai pedoman negara dalam kebijakan sosial-ekonomi, tetapi tidak mengikat secara hukum.

  1. Irlandia

DPSP terdapat dalam Konstitusi Irlandia 1937, bersifat rekomendasi dan tidak bisa diuji di pengadilan.

Menjadi arahan bagi kebijakan sosial dan ekonomi negara.

  1. Filipina

DPSP diatur dalam Konstitusi Filipina 1987 dan sering digunakan dalam putusan Mahkamah Agung.

Memiliki kedudukan lebih kuat dibandingkan India dan Irlandia.

  1. Afrika Selatan

Prinsip pembangunan nasional diatur dalam Konstitusi Afrika Selatan 1996.

Memiliki kekuatan hukum yang lebih mengikat dibandingkan negara lain.

Dari perbandingan ini, terlihat bahwa keberadaan PPHN dalam suatu negara dapat disesuaikan dengan sistem hukum dan politik yang berlaku.

Analisis Teori Hukum dalam Menentukan Bentuk PPHN

  1. Teori Hierarki Norma Hukum (Hans Kelsen)

Jika PPHN diatur dalam UUD, maka ia menjadi norma tertinggi setelah konstitusi.

Jika diatur melalui Ketetapan MPR, maka ia berada di bawah UUD tetapi di atas Undang-Undang.

Jika diatur dalam Undang-Undang, maka memiliki fleksibilitas tetapi rentan terhadap perubahan politik.

  1. Teori Konstitusionalisme (Carl Schmitt & John Locke)

Carl Schmitt menekankan bahwa konstitusi harus berisi nilai-nilai fundamental negara.

John Locke menegaskan bahwa hukum harus membatasi kekuasaan eksekutif agar tidak bertindak sewenang-wenang.

Jika PPHN diatur dalam konstitusi atau Ketetapan MPR, maka ia dapat menjadi instrumen pengarah kebijakan tanpa melanggar prinsip demokrasi.

  1. Teori Sistem Pemerintahan Presidensial (Maurice Duverger & Juan Linz)

Dalam sistem presidensial, presiden memiliki kewenangan eksekutif penuh tetapi harus ada mekanisme koordinasi kebijakan antar-lembaga.

PPHN dapat menjadi instrumen untuk menjaga kesinambungan pembangunan tanpa mengganggu sistem pemerintahan presidensial.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan kajian historis, perbandingan dengan negara lain, serta analisis teori hukum, pilihan bentuk hukum PPHN harus mempertimbangkan keseimbangan antara stabilitas kebijakan dan fleksibilitas dalam implementasi.

Jika PPHN diatur dalam UUD NRI 1945, maka harus dirancang dengan mekanisme yang tetap memberikan ruang bagi kebijakan pemerintahan terpilih.

Jika diatur melalui Ketetapan MPR, maka harus dipastikan bahwa PPHN memiliki daya ikat yang cukup kuat untuk menjamin kesinambungan pembangunan.

Jika diatur dalam Undang-Undang, maka perlu ada mekanisme yang memastikan bahwa perubahan kebijakan tidak merusak arah pembangunan nasional yang telah dirancang.

Pada akhirnya, keputusan mengenai bentuk hukum PPHN harus memperhitungkan kepentingan jangka panjang bangsa dan negara dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan serta sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis. (*)