Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
HATIPENA.COM – Masyarakat adat Lampung memiliki khazanah budaya yang kaya dan kompleks, mulai dari struktur sosial, sistem adat, hingga praktik-praktik spiritual yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, di tengah gempuran modernitas, banyak nilai-nilai luhur ini mulai terlupakan atau bahkan ditinggalkan.
Tulisan ini akan mengeksplorasi kisah fiksi tradisional berjudul “Menelusuri Jejak yang Memudar”, sebuah narasi simbolik tentang hilangnya identitas budaya dan perjuangan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai adat Lampung.
Cerita ini tidak hanya mengangkat sisi dramatik dalam perubahan budaya, tetapi juga menjadi cermin filosofi adat, nilai spiritual, dan praktik sosial yang selama ini menjadi tulang punggung masyarakat Lampung.
Melalui tokoh utama yang berusaha menguak warisan leluhurnya, kita akan menganalisis bagaimana adat istiadat Lampung seperti piil pesenggiri, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan dijalankan, dilupakan, dan akhirnya diperjuangkan kembali.
Di kaki bukit Ranau, terdapat pekon tua bernama Gunung Tua. Dahulu, tempat ini menjadi pusat kebudayaan Lampung Pepadun. Upacara adat diadakan setiap bulan purnama, syair-syair hiwang mengalun dari rumah ke rumah, dan anak-anak belajar aksara Lampung di bawah naungan balai adat.
Namun kini, Gunung Tua hanya tinggal nama. Balai adat menjadi gudang pupuk. Para pemuda lebih fasih menyanyikan lagu-lagu barat ketimbang syair adat. Di tengah perubahan ini, seorang remaja bernama Kirana, anak dari pasangan guru sekolah dasar dan petani kopi, menemukan sebuah manuskrip tua di loteng rumahnya.
Manuskrip itu berisi catatan leluhurnya, Pangeran Gedun, yang dahulu adalah penyimbang adat.
Penuh rasa ingin tahu, Kirana mulai menelusuri warisan budaya yang tertulis dalam manuskrip itu.
Ia membaca tentang piil pesenggiri, sebuah ajaran untuk menjaga harga diri dengan sikap terhormat, tentang nemui nyimah, etika menyambut tamu, serta tentang begawi, upacara besar yang melibatkan seluruh masyarakat pekon dalam kerja kolektif.
Kirana memutuskan untuk membangkitkan kembali adat yang terlupakan. Ia memulai dari hal kecil: belajar menulis aksara Lampung dari kakeknya, menjahit kain tapis dari neneknya, dan mengajak teman-temannya untuk mengadakan pentas kecil yang menampilkan tari sembah dan cangget.
Namun perjuangannya tidak mudah. Banyak yang mencibir. “Buat apa bicara adat kalau tidak ada lagi yang menjalankannya?” tanya salah satu pamannya. Tapi Kirana tidak menyerah. Ia mendatangi tetua adat yang telah lama menyepi, mewawancarai mereka, mencatat lisan mereka, dan menulis ulang sejarah pekon.
Puncaknya, Kirana berhasil mengadakan kembali acara cangget agung setelah 25 tahun tidak dilaksanakan. Masyarakat mulai tergerak. Anak-anak belajar menari, para ibu menyiapkan seruit, dan kaum bapak membenahi balai adat.
Dalam momen itu, Kirana menyampaikan sepenggal pidato:
“Jejak ini nyaris hilang. Tapi bukan karena alam, melainkan karena kita lupa. Kini saatnya menelusuri jejak yang memudar, agar tidak hilang selama-lamanya.”
Cerita Kirana dan usahanya merevitalisasi adat merupakan refleksi dari realitas sosial yang dihadapi masyarakat adat Lampung hari ini. Beberapa nilai penting dalam adat yang terepresentasi dalam kisah ini antara lain:
Dalam adat Lampung, piil pesenggiri merupakan landasan utama dalam berperilaku. Ini mencakup empat unsur: pesenggiri (harga diri), juluk-adok (gelar kehormatan), nemui-nyimah (keramahan), dan nengah-nyampur (bergaul dengan masyarakat).
Kirana menunjukkan piil pesenggiri dalam bentuk kegigihan menjaga martabat budaya. Ia menolak tunduk pada cemoohan dan tetap bersikap hormat kepada semua pihak meski ditentang. Ini adalah contoh nyata bagaimana nilai ini bukan sekadar teori, tetapi harus dijalani secara konsisten.
Kebiasaan menyambut tamu dengan tangan terbuka merupakan simbol nemui nyimah. Dalam cerita, Kirana menggunakan nilai ini untuk membangun jaringan solidaritas sosial, termasuk mengajak kembali warga yang telah lama meninggalkan adat.
Ia menyambut mereka dengan sikap hangat, bukan menghakimi, yang pada akhirnya membuka ruang dialog dan kolaborasi.
Upaya Kirana menghidupkan cangget agung memperlihatkan semangat nengah nyappur, di mana semua lapisan masyarakat terlibat. Gotong royong membenahi balai adat, melatih tari, hingga menyiapkan makanan mencerminkan nilai ini.
Ini menegaskan bahwa adat tidak bisa berdiri sendiri; ia hanya hidup bila dijalankan bersama-sama oleh komunitas.
Saat Kirana mengalami kesulitan dalam mengadakan acara, beberapa tokoh adat turun tangan, memberikan bantuan moril dan material. Ini adalah manifestasi dari sakai sambayan, bentuk solidaritas dan tolong-menolong dalam masyarakat Lampung.
Dalam masyarakat yang telah terfragmentasi, nilai ini sangat penting untuk membangun kembali jembatan sosial.
Balai adat dalam cerita menjadi lambang kebangkitan budaya. Dulu terbengkalai, kini hidup kembali sebagai pusat pendidikan budaya. Ini menunjukkan fungsi edukatif balai adat yang tak sekadar simbol fisik, tetapi ruang transformasi pengetahuan antar generasi.
Di balik semua nilai tersebut, adat Lampung juga mengandung spiritualitas yang dalam:
• Doa dan mantera adat mengandung keyakinan kepada Sang Pencipta dan leluhur.
• Kain tapis bukan sekadar busana, tetapi medium doa dan perlindungan.
• Gelar adat bukan sekadar kehormatan, tetapi amanah dari leluhur untuk menjaga nilai moral.
Dalam cerita, Kirana tak hanya membangkitkan budaya, tapi juga spiritualitas yang menyertainya. Ia mengajak warga kembali berdoa bersama, membaca hiwang yang memuji keagungan Tuhan dan leluhur.
Cerita ini mencerminkan kondisi nyata di banyak daerah Lampung. Urbanisasi, pendidikan modern, dan media global membuat generasi muda terputus dari akar budayanya.
Upaya Kirana adalah simbol dari pentingnya literasi budaya dan revitalisasi:
• Mengarsipkan cerita rakyat dan manuskrip adat
• Mengaktifkan kembali kegiatan seni dan tradisi
• Menggunakan media sosial untuk menyebarkan nilai adat secara modern
Kisah ini menunjukkan bahwa adat bukan barang kuno, tapi nilai hidup yang sangat relevan:
• Piil pesenggiri bisa menjadi pedoman etika digital
• Nengah nyappur bisa menghidupkan kembali semangat komunitas kota
• Nemui nyimah adalah fondasi untuk toleransi dan multikulturalisme
“Menelusuri Jejak yang Memudar” bukan hanya cerita fiksi, tapi juga seruan bagi kita semua untuk tidak lupa pada akar budaya. Adat Lampung, dengan seluruh sistem nilai dan spiritualitasnya, harus terus dijaga bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai pedoman hidup.
Melalui kisah Kirana, kita diingatkan bahwa kebudayaan bisa saja memudar, tetapi tidak akan hilang selama ada yang berani menelusurinya kembali.
Daftar Pustaka
- Dewan Adat Lampung. (2010). Struktur dan Fungsi Adat dalam Masyarakat Lampung. Bandar Lampung: Balai Bahasa dan Budaya.
- Pemerintah Provinsi Lampung. (2021). Profil Kebudayaan Daerah Lampung. Dinas Kebudayaan Provinsi Lampung.
- Zuhdi, M. (2014). “Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Adat Lampung.” Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 3, No. 2.
- Fitriani, D. (2020). Cerita Rakyat Lampung dan Nilai Moral di Dalamnya. Bandar Lampung: Bintang Pustaka.
- Susanto, A. (2017). Gotong Royong dan Modal Sosial dalam Masyarakat Adat. Jakarta: Gramedia.
- Alwi, H. (2008). Adat dan Budaya Lampung. Bandar Lampung: Pustaka Rakyat.
- Puspita, L. (2019). “Peran Balai Adat dalam Pelestarian Budaya Lokal.” Jurnal Warisan Nusantara, Vol. 5 No. 1.