Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Seandainya, seluruh pemimpin miliki visi dan visi mengutamakan ilmu pengetahuan, pasti banyak lahir ilmuwan hebat. Sebagai contoh, Khalifah Al-Ma’mun. Begitu cintanya pada ilmu pengetahuan membuat Islam pernah menguasai peradaban dunia. Mari simak narasinya sambil seruput kopi sedikit gula aren, wak!
Pada tahun 786 M, lahirlah seorang bayi di Baghdad bernama Abu al-‘Abbas Abdullah al-Ma’mun ibn Harun al-Rasyid, putra dari khalifah legendaris Harun al-Rasyid dengan seorang budak Persia bernama Marajil. Takdirnya bukan sekadar menjadi pangeran biasa, sebab kelak ia akan duduk sebagai khalifah Abbasiyah ke-7 (813–833 M) setelah perang saudara berdarah dengan saudaranya, Al-Amin. Dari situ sudah kelihatan, orang ini keras kepala. Tapi alih-alih membangun kejayaan dengan pedang, ia malah jatuh cinta pada buku. Betul, buku! Bayangkan, seorang khalifah yang lebih semangat berburu naskah kuno dari berburu musuh politik. Aneh? Memang. Tapi justru karena keanehan itulah, dunia mencatatnya.
Visi Al-Ma’mun absurd sekaligus visioner. Ilmu pengetahuan adalah pondasi peradaban. Ia sadar, kalau Islam mau jadi mercusuar dunia, jangan cuma andalkan pasukan berkuda, tapi harus punya tentara pemikir. Maka pada masanya, Baghdad menjelma jadi laboratorium raksasa. Untuk mewujudkan itu, ia mendirikan Baitul Hikmah, sebuah lembaga yang multifungsi, perpustakaan raksasa, pusat penerjemahan, akademi penelitian, hingga forum debat filsafat. Singkatnya, seperti gabungan Harvard, Oxford, dan NASA, tapi versi abad ke-9, lengkap dengan aroma tinta Arab dan naskah papirus.
Misi Al-Ma’mun jelas, kumpulkan semua ilmu dari mana saja. Ia mengirim utusan ke Bizantium, Persia, bahkan India untuk berburu manuskrip. Bukan manuskrip sembarangan, karya Plato, Aristoteles, Euclid, Ptolemaios, Galen, semuanya diborong dengan harga emas. Jika sekarang pejabat lebih suka belanja tas branded di Paris, maka Al-Ma’mun belanja buku kuno di Konstantinopel. Absurd, tapi itulah bedanya pemimpin pecinta ilmu dan pemimpin pecinta gaya hidup.
Di bawah naungannya, lahir bintang-bintang intelektual. Al-Khawarizmi menulis buku aljabar yang jadi dasar matematika modern. Lalu, Hunayn ibn Ishaq menerjemahkan teks kedokteran Yunani sehingga dokter-dokter Muslim bisa bersaing dengan dokter dunia. Ada Banu Musa bersaudara merancang mesin-mesin otomatis yang jadi kakek buyut robot modern. Ada juga Tsabit ibn Qurra memperluas geometri. Berikutnya, Al-Kindi mengawinkan filsafat Yunani dengan pemikiran Islam. Semua ini terjadi karena ada seorang khalifah yang berani menjadikan ilmuwan sebagai aset negara, bukan sekadar figuran.
Filosofi Al-Ma’mun terang benderang. Ilmu itu cahaya, dan pemimpin sejati bukan yang memadamkan lampu, melainkan menyalakan obor agar seluruh umat bisa berjalan. Ironi kita hari ini, banyak pemimpin lebih nyaman rakyatnya tetap gelap, supaya gampang diarahkan, atau lebih absurd, dibodohi. Padahal seribu tahun lalu, Baghdad pernah membuktikan, ketika pemimpin mencintai ilmu, peradaban Islam jadi pusat dunia, sementara Eropa masih sibuk mengira mandi itu dosa.
Warisan Al-Ma’mun melampaui zamannya. Dengan wafatnya pada tahun 833 M di Tarsus, ia meninggalkan lebih dari sekadar takhta. Ia meninggalkan tradisi intelektual, sistem patronase ilmu, dan inspirasi bahwa kejayaan lahir dari pena, bukan pedang. Ironisnya, kini banyak pemimpin yang lebih bangga menandatangani proyek infrastruktur dari menyalakan kembali “Baitul Hikmah” modern.
Sejarah sudah menulis terang. Seorang bayi bernama Al-Ma’mun lahir di Baghdad, berkuasa 20 tahun, dan dengan gila visinya, ia membuat Islam jadi mercusuar ilmu pengetahuan dunia. Pertanyaan paling dramatis untuk para pemimpin hari ini, apakah kalian mau dikenang seperti Al-Ma’mun, yang menyalakan cahaya peradaban, atau hanya dikenang sebagai wallpaper kantor pemerintah yang penuh baliho?
Foto Ai, hanya ilustrasi saja, zaman beliau belum ditemukan kamera. (*)
#camanewak