Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Mengenal Filsafat Kritis

December 27, 2024 19:42
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/Rosadi Jamani
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/Rosadi Jamani

Oleh Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)

KEMARIN sudah dikenalkan Filsafat Kesadaran. Masih ingatkan, Wak? Kali ini saya mau mengenalkan satu jenis filsafat, Filsafat Kritis. Memang asyik baca ginian di saat libur natal dari pada kisah Hasto vs KPK mulu. Sambil menikmati kopi arabika di Nordu 2 Jalan Ujung Pandang Pontianak, inilah Filsafat Kritis.

Ada dua jenis manusia di dunia ini. Mereka yang menerima hidup apa adanya, dan mereka yang bertanya, “Kenapa harus begini?” Filsafat kritis hadir untuk mereka yang memilih jalur kedua. Jalur yang licin, berliku, dan sering bikin orang lain kesal.

Kritis itu bukan sekadar berisik. Itu seni. Seni memporak-porandakan asumsi yang sudah lama dianggap suci. Seni bertanya dengan nada polos tapi pukulannya telak. Dunia bilang, “Terima saja,” tapi filsafat kritis menjawab, “Kok mau?”

Filsafat kritis adalah deklarasi perang terhadap zona nyaman. Tidak ada yang selamat dari pandangannya, penguasa, sistem, bahkan diri sendiri. Bayangkan wak! Ente berdiri di depan cermin, melihat refleksimu, lalu bertanya, “Benarkah aku ini pintar, atau cuma beruntung ada Google?”

Kritis pada penguasa? Oh, itu mudah. Siapa pun bisa meneriakkan slogan dan mengetik cuitan pedas. Tapi filsafat kritis tidak berhenti di situ. Ia menggali lebih dalam, membongkar sistem yang mencetak para penguasa, dan bertanya, “Apa ini semua hanya permainan catur, di mana rakyat cuma bidak kecil yang siap dikorbankan?”

Kritis pada alam? Ya, itu juga penting. Tapi tidak cukup sekadar menanam satu pohon setelah menebang lima hektar. Filsafat kritis menantang kita berpikir lebih jauh, mengapa manusia merasa berhak menguasai bumi, seolah-olah dia adalah satu-satunya pelanggan VIP di supermarket kosmik ini?

Tentu saja, kritis pada diri sendiri. Ini bagian tersulit. Sebab siapa yang mau mendengar suara hati yang bertanya, “Apakah hidupku ini bermakna, atau aku hanya sibuk cari wifi gratis?” Tapi filsafat kritis memaksa kita berdiri, menatap kekosongan, dan tertawa kecil sambil berkata, “Ya sudahlah.”

Filsafat kritis itu drama. Drama tentang keberanian melawan apa yang nyaman, apa yang mapan, dan apa yang dianggap pasti. Ia bukan untuk semua orang. Ia bukan untuk mereka yang takut kehilangan teman atau pengikut di media sosial.

Tapi bagi mereka yang berani bertanya, berani berpikir, berani dianggap sok pintar, filsafat kritis adalah jalan sunyi yang indah. Ya, ente akan kesepian di sana. Tapi jangan khawatir. Di ujungnya, kau akan menemukan sesuatu yang lebih berharga dari jawaban, pertanyaan baru.

Berikut beberapa tokoh yang layak mendapat standing ovation di panggung filsafat kritis:

Pertama, Immanuel Kant. Bapak dari istilah “filsafat kritis” sendiri. Tapi jangan salah, kritisnya Kant bukan soal dia rajin demo di Patung Kuda. Kant terkenal dengan konsepnya tentang Kritik atas Akal Murni, di mana dia bertanya, bagaimana sebenarnya akal manusia bekerja? Dia bilang, “Sebelum kita ngomong besar soal dunia luar, coba cek dulu kemampuan otak kita sendiri. Jangan-jangan, akalmu itu cuma kalkulator rusak.”

Kedua, Karl Marx. Dia ini favoritnya anak demo. Marx nggak cuma kritis terhadap sistem ekonomi kapitalis, tapi juga sistem sosial yang bikin orang biasa-biasa aja makin susah. Dia bilang, “Sejarah itu cuma cerita panjang soal perjuangan kelas.” Kritisnya Marx bukan basa-basi—dia menyerukan revolusi. Tapi ya, mungkin dia nggak nyangka kalau kaos wajahnya sekarang dijual mahal di toko-toko kapitalis. Ironi level dewa.

Ketiga, Michel Foucault.
Ini orang nggak ada capeknya bongkar sistem kekuasaan. Dia bilang, kekuasaan itu nggak cuma di gedung pemerintahan, tapi ada di mana-mana. Sekolah, rumah sakit, bahkan kamus. Apa pun bisa jadi alat kontrol, termasuk ilmu pengetahuan. Kalau ente merasa hidupmu dikontrol, ya… Foucault bilang, “Itu udah biasa, Bro.”

Keempat, Theodor Adorno dan Max Horkheimer. Dua orang ini dari Mazhab Frankfurt, geng filsuf yang terkenal kritis banget sama kapitalisme, budaya massa, dan teknologi. Mereka bilang, “Kebudayaan populer itu nggak bikin kamu bebas. Itu cuma alat hiburan supaya kamu lupa kalau dunia ini kacau balau.” Kalau ente merasa terhibur nonton sinetron sambil lupa bayar listrik, ya mungkin itu skema sistem.

Kelima, Søren Kierkegaard. Dia lebih dikenal sebagai bapak eksistensialisme, tapi Kierkegaard ini juga punya gaya kritis yang tajam. Dia suka kritik agama yang terlalu institusional dan kehilangan makna pribadi. Dia bilang, “Iman itu bukan soal ikut-ikutan, tapi soal keputusan pribadi yang absurd.” Kalau hidupmu terasa absurd, mungkin Kierkegaard akan tersenyum dari kejauhan.

Keenam, Judith Butler. Dari era yang lebih modern, Butler kritis terhadap konsep identitas, terutama soal gender. Dia bilang, “Gender itu bukan sesuatu yang tetap. Itu performatif.” Dalam bahasa lain, hidup ini panggung, dan kita cuma aktor yang berusaha sesuai skrip. Tapi siapa yang nulis skripnya? Nah, itulah pertanyaan kritis Butler.

Tokoh-tokoh ini adalah legenda dalam dunia filsafat kritis. Mereka bukan cuma berpikir keras, tapi juga bikin banyak orang nggak nyaman, mulai dari raja, pengusaha, sampai akademisi yang terlalu nyaman di menara gading. Mereka membuktikan satu hal, berpikir kritis itu bukan cuma soal gaya hidup, tapi soal keberanian untuk melawan kemapanan. Tentu saja, soal siap-siap disalahpahami.

#camanewak