Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Asli kaget saya, tiba-tiba muncul narasi lama “si penculik dan anak haram konstitusi” dari cucu proklamator. Lulusan London ini pun viral. Mari kita kenalan dengan gadis cantik ini sambil menikmati roti cane sebelah Hotel Kini, Pontianak.
Indonesia baru saja merayakan ulang tahun ke-80. Angka bulat, biasanya disambut dengan kue tart berlapis delapan tingkat dan lilin berbentuk angka “80” yang ditiup sambil berdoa, semoga listrik tidak naik, harga cabai turun, dan netizen berhenti meributkan hal-hal tak penting. Tetapi tahun ini, perayaan itu bukan dimeriahkan oleh parade pasukan atau teriakan merdeka yang membahana, melainkan oleh keheningan yang justru lebih keras dari ribuan toa masjid sekaligus. Ya, hening itu datang dari seorang perempuan bernama Gustika Fardani Jusuf Hatta, atau disingkat menjadi “Justika”, cucu sang Wakil Presiden pertama, Bung Hatta.
Lahir pada 19 Januari 1994, Gustika bukan cucu biasa. Kalau cucu pejabat lain sibuk unboxing skincare di TikTok, ia justru mengoleksi ijazah internasional. Dari King’s College London ia meraih gelar di bidang War Studies (ilmu perang, wak, bukan ilmu perang mulut dengan mantan), lalu nyasar juga ke Institut d’Études Politiques de Lyon, University of Geneva. Bahkan, sempat cicip ilmu di Oxford dan Sotheby’s Institute of Art. Curriculum vitae-nya bisa bikin dosen-dosen di tanah air minder sampai pensiun dini.
Kiprah internasionalnya pun tidak kaleng-kaleng. Tahun 2012, ia sudah mewakili Indonesia ke konferensi PBB tentang perubahan iklim COP18 di Doha. Setahun kemudian nongol di UNESCO Youth Forum, lanjut magang di delegasi Indonesia untuk PBB. Sementara sebagian anak muda sibuk update IG story “healing di Bali”, Gustika sudah wara-wiri bicara soal HAM, feminisme, dan reformasi keamanan global. Intinya, dia lebih sering berada di forum internasional daripada di warung kopi sebelah rumah. Duh, nyindir gue ni.
Namun panggung terbesarnya justru terjadi 17 Agustus 2025, di halaman Istana Negara. Di saat pejabat lain sibuk menata peci agar tidak miring, Gustika memilih kostum yang bukan sekadar kostum. Ia datang dengan kebaya hitam dipadukan kain batik motif slobog, kain yang biasanya dipakai saat duka, tanda melepas sesuatu, simbol jalan terbuka. Busana itu adalah “silent protest” alias protes hening. Tidak ada orasi, tidak ada spanduk. Tapi seperti kata pepatah filsafat absurd: “Satu helai kain bisa lebih menusuk daripada seribu kata di DPR.”
Benar saja, setelah upacara, Gustika menyalakan Instagram, bukan untuk pamer OOTD, melainkan untuk menyalakan api kritik. Ia menulis, rasa syukurnya bercampur keprihatinan atas luka HAM yang belum sembuh. Bahkan, dengan gaya satir yang bikin jantung netizen copot, ia menyebut Presiden sebagai ‘penculik dan penjahat HAM’, dan Wakil Presiden sebagai ‘anak haram konstitusi’. Ini bukan sekadar update status, melainkan lemparan granat wacana di tengah pesta kemerdekaan. Netizen pun pecah. Ada yang tepuk tangan, ada yang gigit meja, ada juga yang sibuk buka KBBI memastikan arti “slobog”.
Absurdnya, protes Gustika justru makin epik karena dilakukan dengan diam. Diamnya bukan diam pasrah, melainkan diam yang berisik. Diam yang seperti petir dalam kepala, mengingatkan bahwa kemerdekaan tidak berhenti pada pidato panjang nan membosankan setiap 17 Agustus. Ia berjanji akan mengenakan kombinasi busana simbolik itu setiap upacara selama pemerintahan sekarang. Ini semacam “langganan protes” tahunan, versi offline dari langganan Netflix.
Maka jadilah Gustika sosok anak muda yang lebih memilih filsafat kebaya ketimbang gimmick TikTok, lebih memilih kritik elegan ketimbang ikut arus influencer endorse produk pemutih ketiak. Ia menunjukkan bahwa keberanian bukan selalu teriak di jalanan, tapi bisa juga berdiri tegak di tengah istana, dengan senyum tipis, kebaya hitam, dan batik yang berbisik: “Aku di sini, dan aku tidak diam.”
Merdeka, katanya. Tapi diam Gustika lebih merdeka dari teriakan siapa pun di mimbar upacara. (*)
#camanewak