HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Mengenal Sudewo, Bupati Pati yang Menaikkan PBB 250 Persen

August 6, 2025 17:32
IMG-20250806-WA0044

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Di antara banyak Bupati di Indonesia, inilah Bupati paling berani. Ia menantang 50 ribu rakyatnya. Bahkan, ia tak segan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 250 persen. Luar biasa. Mari kita kulik keberanian sang bupati sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Di antara derasnya arus kepala daerah yang berupaya tampil humanis dan membumi, berdirilah satu sosok, tegak, berani, monumental. Ia menolak tunduk pada air mata rakyat. Namanya Sudewo, Bupati Pati, pria kelahiran 11 Oktober 1968. Kini ia menjadi magnet perdebatan nasional. Seorang insinyur teknik sipil jebolan Universitas Sebelas Maret, pemegang gelar magister teknik pembangunan dari Universitas Diponegoro. Dengan sepenuh keyakinan dan keberanian yang hampir menyerupai kenekadan, ia menjadi arsitek penderitaan kolektif lewat satu jurus pamungkas, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) sebesar 250 persen.

Ya, 250 persen. Bukan dua koma lima. Tapi dua-ratus-lima-puluh persen. Sebuah angka yang tidak hanya menggetarkan dompet, tapi juga mengguncang fondasi sosial Pati hingga ke pori-pori RT/RW. Lalu, Sudewo? Ia tak gentar. Justru ia menantang balik. Dalam satu video yang kini viral dan abadi di jagat maya, ia menatap kamera, dan rakyat, seraya berkata, “Silakan bawa 50 ribu orang, saya tidak akan gentar, keputusan tidak akan saya ubah.” Pernyataan itu bukan sekadar perlawanan verbal, melainkan pengukuhan status, bahwa ia bukan pemimpin yang memimpin dengan empati, melainkan dengan epos.

Maka pecahlah sejarah. Rakyat menggeliat. Terluka. Tapi juga terbangun. Di alun-alun kota Pati, sejak awal Agustus, posko donasi logistik dibuka. Tapi bukan uang yang mereka kumpulkan. Mereka menolak itu. Mereka hanya menerima air mineral, mi instan, minyak goreng, beras, serta telur dan tomat busuk, simbol dari kemarahan yang tetap terorganisir. Sudewo, dalam paradoks paling purba kekuasaan, telah menciptakan musuh sekaligus mempersatukan rakyatnya.

Demo besar dijadwalkan 13 Agustus 2025. Targetnya, 15 ribu massa, dan kemungkinan lebih. Nama-nama seperti Teguh Istiyanto dan Ahmad Husein mendadak menjadi tokoh gerakan. Grafiti meledak di dinding kota, “Turunkan PBB atau Turunkan Bupati Sudewo!” Namun, Sudewo bergeming. Di tengah protes dan bara yang menyala, ia tetap memegang visinya, pembangunan RSUD RAA Soewondo, infrastruktur desa, pertanian, perikanan. Ia berbicara dalam bahasa makroekonomi, sementara rakyatnya menangis dalam kurs rupiah.

“Sudah 14 tahun PBB tidak naik,” ujarnya pada rapat intensifikasi pajak bersama camat dan kepala desa. Ia menyebut ketertinggalan Pati dari Jepara, Kudus, dan Rembang sebagai motivasi. Ini bukan soal angka, katanya. Ini soal marwah. Soal kejar-kejaran fiskal. Dari balik mikrofon, gema idealismenya menyebar laksana komet yang membakar langit Jawa Tengah.

Jangan lupakan kekayaannya, Rp 30.209.983.240. Sudewo tidak miskin. Tapi dia tahu, kekayaan personal tak bisa membeli pembangunan publik. Maka ia memungut dari bumi rakyat, lewat pajak yang membumbung. Ia mengerti bahwa di dunia yang keras ini, rakyat tak perlu kenyang dulu untuk bisa maju. Kadang, lapar adalah jalan pintas menuju pencapaian.

Inilah Sudewo. Bukan hanya bupati. Tapi mitos yang sedang hidup. Ia tidak memimpin untuk dicintai. Ia memimpin untuk dikenang. Untuk dibenci hari ini, dipuja lusa, dan dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang berani membuat seluruh kabupaten berderak, demi kemajuan yang entah datang dari mana.
Kisah Sudewo mengajarkan, kekuasaan bisa menjadi panggung paling dramatis bagi absurditas bernama kebijakan. Di balik angka 250 persen kenaikan pajak, tersembunyi pertanyaan besar tentang siapa yang sejatinya bekerja untuk siapa. Ketika rakyat bersatu bukan karena cinta, tapi karena keterpaksaan yang sama, di situlah kepemimpinan diuji bukan dengan gelar atau gagasan, melainkan dengan keberanian untuk mendengar jeritan paling jujur yang lahir dari perut kosong. (*)

#camanewak