Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Mengukur Kedunguan: Pelajaran dari DAM Pantai Padang yang Hilang Ditelan Ombak

May 1, 2025 07:57
IMG_20250501_074710

Oleh: Sam Salam

HATIPENA.COM – Pada dekade 1970-an, Pantai Padang menghadapi salah satu krisis alam paling hebat dalam sejarahnya. Ombak besar tak hanya menghantam garis pantai, tetapi juga memporak-porandakan jalanan dan menghancurkan rumah-rumah nelayan yang berdiri dekat bibir pantai. Desa-desa nelayan terpaksa bergeser ke daratan, meninggalkan kenangan dan kehidupan yang telah dibangun turun-temurun.

Dalam kepanikan dan semangat membangun kembali, pemerintah waktu itu mengambil keputusan: membangun sebuah DAM panjang di sepanjang pesisir Padang. Sebuah proyek infrastruktur besar yang diharapkan menjadi benteng melawan abrasi dan kekuatan laut. Biaya besar digelontorkan, tenaga ahli dikerahkan, dan harapan masyarakat disematkan pada beton-beton yang menjulang ke arah laut.

Namun, sejarah mencatat akhir tragis dari upaya tersebut. Beberapa tahun setelah pembangunan, DAM yang mahal itu hancur—bukan hanya rusak, tetapi hilang, lenyap ditelan gelombang yang terus-menerus menghantam tanpa ampun. Pertanyaan pun muncul: bagaimana mungkin proyek seharga miliaran rupiah itu runtuh begitu saja?

Menurut Sam Salam, seorang pengamat sosial, kegagalan ini lebih dari sekadar salah teknis. Ia menyebutnya sebagai tanda “kedunguan” kolektif. Salah kaprah dalam memahami karakteristik alam menjadi sebab utama. Bukannya belajar dari sifat dinamis laut, keputusan yang diambil justru berpegang pada logika darat: melawan kekuatan air dengan kekakuan beton.

Kegagalan DAM Padang membuka mata banyak pihak. Para ahli kemudian beralih ke konsep breakwater—pemecah ombak yang terbuat dari batu-batu besar yang dipasang sepanjang pantai. Tidak lagi berambisi “menghentikan” laut, breakwater bertujuan untuk “memecah” energi ombak sebelum sampai ke garis pantai. Pendekatan ini jauh lebih adaptif terhadap karakter laut yang terus bergerak dan berubah.

Hari ini, ketika kita menyusuri Pantai Padang, kita melihat deretan batu besar yang tampak sederhana, bahkan mungkin dianggap seadanya. Tapi di balik kerendahan hati desain itu, tersimpan pelajaran mahal tentang bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap alam: bukan dengan arogansi, tetapi dengan adaptasi.

Sam Salam menutup refleksinya dengan sinisme: “Kita-kita semakin pintarkah?” Sebuah pertanyaan getir yang menggugat, apakah dari kegagalan besar itu kita benar-benar belajar, atau hanya mengganti bentuk kesalahan dengan kemasan baru.

Tagar #CipotongAlay yang disematkannya mempertegas nada satir dari kritik tersebut—bahwa dalam setiap proyek megah, perlu ada kerendahan hati untuk mengakui batasan kita sebagai manusia di hadapan kekuatan alam.

Pelajaran dari Pantai Padang tetap relevan hari ini: setiap pembangunan di kawasan pesisir harus berangkat dari penghormatan pada dinamika laut, bukan sekadar dari keinginan untuk menaklukkannya.(*)