Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Menikmati Wisata Kemacetan

January 29, 2025 06:36
IMG-20250129-WA0020

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Selasa, 28 Januari 2025, saya diajak oleh Prof. Raka Suardana dalam perjalanan yang tidak biasa—bukan ke objek wisata Bali yang mempesona, tetapi sengaja mencari jalur-jalur padat, kawasan yang sering menjadi keluhan karena kemacetan.

Kami hendak menjelajahi denyut jantung kemacetan di pusat pariwisata Bali, sebuah ironi dalam keindahan pulau ini.

Tengah hari, kami berangkat dari Denpasar menuju Canggu. Perjalanan dimulai dari Jalan Gunung Agung, meluncur ke Kerobokan, dan kemudian menuju Jalan Pantai Batu Bolong.

Benar saja, sesampainya di Kerobokan, kemacetan langsung menyambut, kendaraan merayap baik dari arah Denpasar maupun sebaliknya.

Beruntung, mobil yang kami tumpangi nyaman, dan sopirnya Dandak Baruna begitu piawai menguasai jalanan. “Nikmati saja, kemacetan adalah bagian dari wisata,” ujar Prof. Raka dengan tawa kecil.

Memasuki shortcut Tibubeneng, kemacetan bukan lagi sekadar lambat. Kendaraan kami nyaris tak bergerak, jalanan sempit yang dipadati kendaraan membuat segalanya terasa menyesakkan.

Bak keong, mobil-mobil berjalan pelan dengan jarak yang hampir rapat. Ironisnya, ini bukan musim sekolah dan jam kerja, tetapi kemacetan tetap seperti ini. Libur sekolah mestinya lebih longgar.

Ketika akhirnya berbelok menujuJalan Pantai Batu Bolong, kepadatan sedikit terurai. Agak lega sedikit. Sampai di pantai Batu Bolong kami sempat berputar sejenak di areal parkir. Dari kejauhan tampak wisatawan bermain surfing, sebelum melanjutkan perjalanan ke Canggu hingga Petitenget.

Sepanjang jalan menuju Canggu, pemandangan yang dominan lalu lalang bule-bule muda. Terlihat nanyak yang mengendarai sepeda motor, baik pria maupun wanitanya.

Tidak sulit untuk memahami mengapa—Canggu telah menjadi pusat clubbing yang mendunia. Dari Atlas Beach Fest yang sedang naik daun hingga Fins Club yang terus ramai, kawasan ini penuh dengan hiruk-pikuk kehidupan pelancong dari belahan penjuru dunia.

Namun, ada yang terasa aneh, hampir paradoksal: Bali, yang katanya menjual pariwisata budaya, tampak kehilangan warna budaya Bali di sepanjang perjalanan ini.

Sawah-sawah yang dulu menghijau kini berganti menjadi kafe, vila, dan bangunan-bangunan komersial yang kebanyakan bukan berciri khas Bali, entah arsitektur dari negara mana yang mereka pergunakan.

Jika tak dikendalikan, tak diatur dengan baik, sepuluh tahun lagi mungkin sawah-sawah itu akan lenyap sepenuhnya.

Demikian juga jalanan yang sempit, tak lagi mampu menampung kendaraan yang terus memadati kawasan ini.

Kemacetan menjadi denyut yang memaksa—tapi sampai kapan orang akan menikmatinya?

Kami juga sempat singgah di Pantai Pererenan. Kondisi dan suasananya serupa dengan Batu Bolong, Canggu, hingga Petitenget.

Hiruk-pikuk yang didominasi wisatawan mancanegara, tapi dengan aura yang sama—kesan Bali perlahan memudar, tergantikan oleh ritme globalisasi yang tidak mengenal batas.

Hari itu, kemacetan masih kami nikmati karena sengaja mencarinya. Namun, Prof. Raka mengingatkan satu hal yang menggema di benak saya sepanjang perjalanan pulang.

“Sepuluh tahun lagi, ketika jalanan ini tetap sempit, ketika bangunan terus bertumbuh liar tanpa kendali, apa yang akan terjadi? Bukan tidak mungkin, pada akhirnya wisatawan akan jenuh, dan Canggu, seperti kawasan lain yang pernah berjaya, akan ditinggalkan. Untuk apa datang jika hanya mencari macet?”

Paradoks inilah yang kini melingkupi Bali. Kemacetan yang dulu dianggap bagian dari denyut hidup kini berubah menjadi ancaman.

Jika pariwisata budaya terus kehilangan esensinya, jika pembangunan dibiarkan tanpa arah, maka yang tersisa hanyalah kemacetan dan kenangan akan Bali yang pernah jaya.

Denpasar, 29 Januari 2025