Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Menjadi Penulis: Arsitek Bahasa dan Jiwa Zaman dalam Sastra Indonesia

March 15, 2025 05:25
IMG-20250315-WA0015

Oleh: Rizal Tanjung

HATIPENA.COM – Menjadi penulis bukan sekadar pekerjaan; ini adalah panggilan jiwa yang melampaui batas profesi. Seorang penulis sejati adalah arsitek bahasa, penyulap dunia, dan pemahat realitas yang membangun jembatan antara pikiran dan hati manusia. Dalam konteks sastra Indonesia, peran ini bukan hanya tentang menciptakan karya, tetapi juga mengabadikan perasaan kolektif, mencerminkan realitas sosial, dan membentuk identitas bangsa melalui kata-kata.

Dari generasi ke generasi, Indonesia telah melahirkan penulis-penulis besar yang tidak hanya menulis, tetapi juga menggugat, merekam, dan membentuk peradaban. Dalam khazanah sastra Sumatera Barat, kita mengenal nama-nama seperti Hamka, A.A. Navis, Wisran Hadi, Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, dan banyak lagi. Mereka adalah pembangun fondasi sastra yang tidak hanya berbicara tentang adat dan budaya Minangkabau tetapi juga menembus batas-batas kebangsaan dengan pemikiran yang tajam dan karya yang mendalam.

Menulis sebagai Pengabdian: Tinta dari Sumsum Pengalaman

Dalam dunia sastra, menulis bukan sekadar merangkai kata-kata, tetapi sebuah pengabdian yang menuntut keterlibatan penuh dari pikiran dan hati. Hamka adalah contoh nyata bagaimana seorang penulis mengabdikan dirinya untuk sastra dan pemikiran keislaman. Dalam novelnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938), ia bukan hanya menghadirkan kisah cinta tragis antara Zainuddin dan Hayati, tetapi juga mengkritik ketatnya sistem adat Minangkabau yang membatasi kebebasan individu. Karya ini menjadi cerminan zaman dan masih terus relevan hingga sekarang.

Selain itu, Hamka juga menghasilkan novel Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) yang menyajikan kisah cinta penuh pengorbanan dalam bingkai nilai-nilai keislaman. Dengan gaya bahasa yang sederhana tetapi emosional, Hamka membawa pembaca pada perenungan mendalam tentang makna cinta, keikhlasan, dan takdir.

A.A. Navis, dengan Robohnya Surau Kami (1956), menghadirkan kritik sosial yang tajam terhadap masyarakat yang hanya fokus pada aspek ibadah personal tetapi mengabaikan tanggung jawab sosial. Karyanya mengguncang kesadaran banyak orang dan menjadi salah satu cerpen paling berpengaruh dalam sejarah sastra Indonesia. Dengan satire yang tajam, Navis mengajarkan bahwa agama bukan sekadar ritual, melainkan juga aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, Wisran Hadi, seorang sastrawan yang lebih banyak bergerak di dunia drama, menghadirkan kritik terhadap adat Minangkabau dalam karya-karyanya. Karyanya yang terkenal, Orang-orang Blanti (1983), menggambarkan bagaimana adat sering kali menjadi belenggu yang menghambat kebebasan individu. Dengan bahasa yang puitis dan penuh makna, Wisran Hadi menggugah kesadaran masyarakat untuk menafsirkan ulang nilai-nilai adat dalam konteks modern.

Menulis sebagai Kegilaan: Antara Pemujaan dan Kesalahpahaman

Jalan kepenulisan bukan untuk mereka yang lemah hati. Ia menuntut bentuk kegilaan—sebuah penyerahan diri yang indah dan sembrono. Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45 yang lahir di Medan, memahami hal ini lebih dari siapa pun. Puisinya yang penuh gairah dan gelora hidup, seperti Aku dan Krawang-Bekasi, menggambarkan sosok penulis yang tak hanya merayakan hidup, tetapi juga menantang kematian.

Namun, kegilaan ini sering kali membawa konsekuensi. Seorang penulis harus siap dipuja sekaligus dicerca. Wisran Hadi, dengan eksplorasinya yang berani dalam naskah drama dan novel-novelnya, menghadapi banyak kritik dari kalangan tradisionalis. A.A. Navis juga mengalami hal serupa ketika menyoroti hipokrisi masyarakat dalam karyanya.

Sastra sebagai Cermin Identitas dan Perubahan Sosial

Sastra tidak pernah lahir dalam kekosongan. Ia adalah cerminan zaman, potret perubahan sosial, dan rekaman konflik manusia dengan dunianya. Marah Rusli, dalam Sitti Nurbaya (1922), menggambarkan bagaimana adat perjodohan paksa membawa penderitaan bagi kaum perempuan. Novel ini menjadi tonggak penting dalam perkembangan sastra Indonesia, terutama dalam upaya menggugat tradisi yang menindas.

Abdul Muis, dalam Salah Asuhan (1928), memperlihatkan konflik budaya antara Barat dan Timur, antara modernitas dan tradisi. Novel ini menjadi refleksi dari gejolak sosial di era kolonial, di mana masyarakat pribumi mulai mempertanyakan identitas mereka dalam bayang-bayang pengaruh Eropa.

Idrus, seorang penulis kelahiran Padang, memperkenalkan gaya realisme yang tajam dalam cerpen-cerpennya, seperti dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948). Dengan gaya yang lugas dan tanpa basa-basi, Idrus menghadirkan realitas kehidupan pasca-kemerdekaan yang penuh dengan penderitaan dan ketidakpastian.

Membakar Keadaan yang Biasa-Biasa Saja: Menulis dengan Jiwa yang Dipertaruhkan

Seorang penulis sejati tidak menulis hanya untuk mengisi halaman kosong. Ia menulis untuk meninggalkan jejak pada waktu, untuk membakar keadaan yang biasa-biasa saja, untuk menantang pembaca agar berpikir lebih dalam, merasakan lebih kuat, dan memahami lebih luas.

Dari Hamka hingga A.A. Navis, dari Wisran Hadi hingga Idrus, para penulis Sumatera Barat telah membuktikan bahwa sastra adalah kekuatan yang mengalir melalui pikiran dan hati. Mereka menulis seolah-olah jiwa itu sendiri yang dipertaruhkan—karena, pada akhirnya, memang demikian.

Sastra bukan sekadar karya, tetapi sebuah warisan, sebuah api yang terus menyala dalam setiap generasi yang membaca dan menulis kembali dunia dengan caranya sendiri. Sumatera Barat, dengan kekayaan sastrawannya, telah memberikan kontribusi besar bagi sastra Indonesia. Dari roman klasik hingga kritik sosial, dari puisi hingga drama, warisan sastra dari ranah Minang terus menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.

Menjadi penulis bukan hanya tentang menulis. Ini adalah perjalanan menuju keabadian. (*)

2025.