HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Menteri Purbaya dan Mazhab Kuno Pertumbuhan

October 7, 2025 09:27
IMG_20251007_092516

Oleh : Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)

HATIPENA.COM – Pada saat hari pertama Purbaya Yudhi Sadewa diangkat sebagai Menteri Keuangan, sempat membuat masyarakat gaduh dengan pernyataanya yang dianggap serampangan, namun tidak lama kemudian justru berkebalikan, dalam pengamatan di sosial media banyak yang langsung menyukainya karena gimmick “nyablak”nya. Sehingga tidak banyak yang mencoba untuk mengkritik kebijakanya yang sebetulnya tetap berpedoman pada mashab lama : oreintasi pada pertumbuhan ekonomi semata.

Purbaya dengan latar belakang sebagai ekonom teknokratrik, dan mantan ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) membuatnya dianggap mampu mengendalikan fiskal secara profesional. Namun masalahnya, sepertinya manajemen fiskal yang hendak dibangun akan sekadar melanjutkan tradisi lama, yakni ekonomi yang dikelola dari atas, dengan rakyat sebagai objek kebijakan khas ekonom neo-klasikal.

Sejarah panjang ekonomi Indonesia menunjukkan satu pola berulang, pergantian menteri keuangan yang cukup kunci dalam menjalankan kewenangan kebijakan fiskal sesugguhnya tidak pernah merubah paradigma atau mashab lama. Kita sering mengganti figur, tapi tetap menegakkan ideologi lama, yakni kapitalisme yang merugikan rakyat banyak dan untungkan segelintir elite kaya. Ibarat sakit lama diberikan obat yang sama.

Dalam banyak pernyataannya, Purbaya menargetkan pertumbuhan ekonomi 6–8 persen. Mashab pertumbuhan, khas ekonom neo klasik ini dijadikan ukuran tunggal keberhasilan ekonomi rakyat. Padahal, pertumbuhan tanpa pemerataan hanya memperkuat ketimpangan lama.

Selama struktur ekonomi lama yang andalkan pertumbuhan ekonomi dengan tekankan peran besar pada ekonomi pasar yang andalkan topangan pada segelintir konglomerat, maka angka berapa pun tak akan berarti. Kita bahkan pernah tumbuh tinggi di masa Orde Baru, bahkan pernah mencapai angka 9,8 persen, hampir dua digit. Namun rakyat tetap miskin, dan demokrasi ekonomi, ekonomi konstitusi lenyap di balik slogan stabilitas.

Pernyataan utama Menteri Keuangan janjikan ekonomi akan segera cepat tumbuh. Namun dia tidak menguraikan ekonomi siapa yang tumbuh? Apakah petani, nelayan, dan usaha mikro memperoleh ruang hidup dalam pertumbuhan itu atau kembali menjadi milik segelintir pemilik modal besar yang dibiayai oleh uang rakyat melalui kebijakan fiskal?

200 Triliun Mengalir Kemana

Salah satu kebijakan awal Purbaya adalah perintah agar dana pemerintah sekitar 200 triliun rupiah yang selama ini diparkir di Bank Indonesia disalurkan ke bank-bank milik negara untuk memperluas kredit. Secara teknis, ini bisa mempercepat perputaran uang. Namun, dari sisi struktur ekonomi, kebijakan ini tentu bermasalah.

Bank tidak pernah netral. Ia adalah instrumen kapitalisme. Dalam praktiknya, yang paling cepat menyerap dana murah semacam itu adalah korporasi besar dan proyek-proyek pemerintah skala besar, bukan pelaku usaha ekonomi rakyat. Maka uang itu, alih-alih turun ke bawah, sudah pasti akan mengalir ke segelintir elite konglomerat.

Selera Purbaya walaupun terlihat agak berbeda dengan pendahulunya, tapi sesungguhnya tetap sebagai ekonom neo klasik penjaga kapitalisme. Hanya sepertinya dia memilih model orientasi kapitalisme negara (state-led capitalism) seperti di masa Orde Baru ketimbang kapitalisme pasar ( market-led capitalism) model paska reformasi yang memperlakukan rakyat sebagai angka, bukan pelaku utama pembangunan.

Dalam mashab ini, negara bertindak sebagai pemodal besar yang menyalurkan modal melalui lembaga finansial. Sementara itu rakyat dibiarkan menunggu tetesan dari atas dalam teori trickle-down economy yang sesungguhnya sudah lama terbukti gagal sejahterakan rakyat banyak.

Purbaya sepertinya lupa, bahwa bank umum telah macet sejak lama untuk membantu kelompok usaha mikro dan kecil. Data Kementerian UMKM terakhir tahun 2024 mencatat bahwa dari sekitar 64,5 juta pelaku usaha atau 99,6 persen di antaranya adalah usaha mikro dan kecil. Sementara 180 ribu atau 0,35 persen usaha kecil. Kemudian 0,05 persen usaha menengah, dan hanya 0,0006 persen atau sekitar 5.600 entitas yang bisa dikategorikan sebagai usaha besar.

Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2024 yaitu 61,07 persen dari 22.139 trilyun rupiah. UMKM juga menyerap tenaga kerja hingga 97 persen dari total tenaga kerja nasional, yaitu sekitar 117 juta orang.

Namun, ketika ditelusuri kontribusinya terhadap PDB, fakta yang muncul justru memprihatinkan. Usaha mikro dan kecil yang jumlahnya 99,6 persen pelaku usaha rakyat itu hanya menyumbang sekitar 18 persen dari PDB. Sementara 82 persen kue ekonomi nasional dikuasai oleh segelintir usaha besar dan menengah yang notabene adalah kepanjangan tangan pengusaha konglomerasi.

Bank Indonesia (BI) sejatinya sudah memiliki aturan porsi kredit minimal untuk UMKM. Regulasinya dari sejak 2018 minimal rasio kredit perbankkan hanya sebesar 20 persen untuk UMKM. Realisasinya selama 5 tahun terakhir hanya kurang lebih sebesar 20 persen dari total rasio kredit perbankkan sebagai pemenuhan syarat formalitas.

Dari angka tersebut, untuk usaha mikro dan kecil hanya sekitar 9 persen. Sisanya untuk usaha menengah yang kebanyakan perusahaan kepanjangan tangan usaha besar. Bandingkan misalnya dengan Korea Selatan yang porsinya hingga kurang lebih 50 an persen per tahun hanya untuk usaha kecil.

Untuk itu pun sebagian besar kredit kepada UMKM berbentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disubsidi bunga oleh negara. Artinya, tanpa subsidi negara, porsi pembiayaan ke sektor mikro kemungkinan jauh lebih rendah. Serapan KUR pun mentok di sekitar Rp 250 an triliun per tahun, angka yang stagnan beberapa tahun terakhir.

Dengan fakta ini, sulit berharap kucuran dana SAL ke bank BUMN akan secara otomatis bertransformasi menjadi kredit produktif untuk pelaku usaha mikro dan kecil. Lebih mungkin dana tersebut akan diarahkan ke proyek-proyek besar berskala nasional seperti pembiayaan ekspansi sawit, tambang nikel, atau proyek infrastruktur yang cenderung menumpuk pada kelompok usaha besar. Padahal SAL adalah uang hasil pajak dari rakyat.

Artinya, strategi menyalurkan dana SAL hanya lewat bank sudah pasti hanya akan meningkatan kesenjangan sosial ekonomi. Segelintir elite konglomerat akan semakin kaya dan kuat, sementara rakyat banyak hanya akan jadi penonton. Secara politik ini akan berakibat pada munculnya ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah.

Membangun komitmen kredit untuk UMKM tidak bisa lagi sekadar jargon. Tantangannya bukan hanya soal ketersediaan dana, tetapi soal keberpihakan politik dan keberanian mereformasi struktur ekonomi yang timpang. Selama 99,6 persen pelaku usaha rakyat hanya menguasai 18 persen kue ekonomi, maka pembangunan akan terus menciptakan ketimpangan baru.

Dana SAL yang digelontorkan ke bank BUMN seharusnya menjadi momentum untuk mengoreksi arah kebijakan. Negara akan terus menjadi pelayan konglomerasi, atau benar-benar berpihak pada rakyat. Pertanyaannya kini bukan lagi soal bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak.

Mandegnya Reformasi

Selera Purbaya sepertinya ketika bicara soal reformasi pajak juga belum menyentuh akar ketimpangan. Pajak progresif atas kekayaan bersih ( wealth tax) yang penting tidak dia prioritaskan.
Malahan yang terlihat dia bela mati matian adalah pabrik rokok besar.

Pabrik rokok raksasa yang telah menjadikan pemiliknya masuk deretan elite konglomerat superkaya dan atur urusan politik di repunlik ini yang dibela. Naiknya tarif cukai rokok yang bertujuan untuk mengerem konsumsi rokok dan melindungi anak anak bangsa ini justru yang dijadikan kambing hitam. Padahal selama ini pemilik pabrik ini juga telah lakukan transfer biaya atau menekan biaya bahan baku dan menekan ongkos buruh. Menteri Purbaya tidak membahas kerugian rakyat ini.

Negara masih ingin gencet yang lemah, ketimbang meminta pengertian yang kuat. Ketika APBN defisit, rakyat juga yang disuruh berhemat, bukan konglomerat yang diminta berbagi. Dalam sistem semacam ini, keadilan sosial yang dijanjikan UUD 1945 hanya tinggal retorika fiskal.

Hal yang lebih mengkhawatirkan, di tangan teknokrat ekonom neo klasik ini, ekonomi sering kali dipersempit menjadi urusan defisit, inflasi, dan angka neraca. Padahal, ekonomi adalah soal arah siapa yang memegang alat produksi, siapa yang menikmati nilai tambah, dan siapa yang menentukan kebijakan. Tanpa keberanian untuk menegakkan keadilan fiskal dan redistribusi ekonomi, kita hanya mempercantik wajah kapitalisme yang sama.

Kita tidak kekurangan sumber daya, yang kita kekurangan hanyalah keberanian untuk mengubah paradigma. Rakyat tidak butuh Menteri Keuangan yang sekadar pandai mengatur angka. Rakyat butuh menteri yang berani menata ulang struktur ekonomi agar berpihak kepada mereka yang paling kecil.

Ekonomi yang adil tidak lahir dari pertumbuhan, tetapi dari keberanian menegakkan kedaulatan ekonomi rakyat. Disitulah sejarah menunggu, apakah Purbaya akan menjadi arsitek keadilan, atau sekadar penjaga gerbang kapitalisme seperti pendahulunya. (*)

Jakarta, 6 Oktober 2025